-->

Pendidikan Perempuan Dalam Meningkatkan Kesadaran Kritis dan Kualitas Diri

Pendidikan Perempuan Dalam Meningkatkan Kesadaran Kritis dan Kualitas Diri
Share
Pendidikan sebelum kemerdekaan, hanya dapat dinikmati oleh  kaum perempuan dari kalangan bangsawan. Seperti dikemukakan oleh Stuers, pada masa kolonial Belanda hanya ada beberapa orang perempuan, khususnya dari kelompok masyarakat bangsawan, yang telah mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan formal, sementara kelompok lainnya hanya mendapat pendidikan nonformal dan buta huruf. Hal tersebut didasarkan pada pendapat. Dwijo Sewojo seorang instruktur sekolah pendidikan guru di Yogyakarta yang menyatakan bahwa masyarakat Jawa pada masa kolonial Belanda dibedakan menjadi empat kelas dengan status perempuan yang berbeda-beda, yaitu golongan miskin, golongan menengah, golongan santri, dan golongan priyayi.
Pertama, para perempuan golongan miskin tidak mendapat pendidikan. Mereka belajar melakukan pekerjaan di sawah dan menjual hasilnya. Kadang-kadang mereka belajar menjahit, hidup sangat keras, tetapi mereka cukup bebas. Kedua, para perempuan golongan menengah (cukup mampu) juga tidak bersekolah dan mereka belajar melakukan pekerjaan rumah. Mereka biasanya menikah pada usia antara 12-15 tahun. Setelah menikah mereka membantu suaminya di sawah atau berdagang. Mereka diperlakukan dengan baik oleh suaminya karena mereka sebenarnya dapat menafkahi kehidupannya sendiri. Ketiga, para perempuan golongan santri tidak bersekolah, tetapi mereka mendapat pelajaran agama di rumah. Mereka biasanya mulai menikah sejak usia lima belas tahun. Para perempuan golongan ini begitu dihargai suaminya karena secara umum mereka memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan para perempuan di golongan sebelumnya. Keempat, beberapa perempuan dari golongan (priyayi) bangsawan belajar di sekolah dasar. Namun, sejak usia 12 tahun mereka dipingit dan hanya melakukan sedikit pekerjaan karena telah memiliki banyak pembantu. Setelah memasuki usia 15 atau 16 tahun mereka menikah dan kembali melanjutkan kehidupan mereka  yang terkekang dan tanpa kesibukan.
 
Dari uraian tersebut tampak bahwa sebagian besar perempuan pada masa sebelum kemerdekaan belum mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan. Di samping itu, pada saat itu juga terdapat dua model pendidikan perempuan, yaitu pendidikan formal di sekolah yang dinikmati  perempuan bangsawan dan pendidikan nonformal yang dinikmati perempuan santri. Perempuan kalangan santri hanya mendapat pelajaran agama di rumah agar mereka dapat melaksanakan ibadah agama yang menjadi kewajibannya dan mengajarkannya kepada anak-anaknya.
 
Keadaan itulah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan dari sejumlah tokoh, yang dilanjutkan dengan diselenggarakannya sejumlah lembaga pendidikan baik yang formal maupun yang nonformal untuk mendidik kaum perempuan. Hingga saat ini semua perempuan sudah dapat bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi lagi dan dimanapun ia inginkan maka ia dapat bersekolah.
 
Dengan sekarang ini yang mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam pendidikan dan mengembangkan potensi dirinya yang akan mendukung perannya dimasyarakat, karena kaum perempuan memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai manusia. Kualitas tersebut dapat dilihat dari perubahan cara berfikir dan bersikap yang mencerminkan adanya kesadaran akan kemampuan atau identitas dirinya. Setelah menjalani proses pembelajaran melalui pendidikan, diasumsikan seorang perempuan akan menjadi pribadi yang memiliki kesadaran mengenai identitas dirinya sebagai manusia yang merdeka. Dalam hal ini pendidikan merupakan proses pemerdekaan atau kesadaran akan kebebasan manusia yang memiliki potensi-potensi tertentu dalam hidupnya berhadapan dengan alam sekitarnya. Selanjutnya, kesadaran tersebut menjadi dasar untuk mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
 
Pandangan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kesadaran kritis dan kualitas diri kaum perempuan sehingga perempuan memiliki kesadaran mengenai identitas sesuai dengan pandangan pendidikan feminis seperti dikemukakan oleh  Yanti Muchtar, yang menyatakan, dalam konteks masyarakat dunia yang masih didominasi oleh ideologi patriarkat, pendidikan feminis yang bertujuan membangun kesadaran kritis dan aksi-aksi transformatif perempuan menjadi krusial posisinya dalam memberdayakan perempuan. Hal ini karena pendidikan feminis akan membantu perempuan untuk meredefinisikan dan merekonstruksi pola hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan yang selama ini timpang menjadi lebih adil, yang akan menjadi pondasi utama bagi perempuan untuk mewujudkan hak-hak asasinya.
 
Dari uraian tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan akan menyadarkan perempuan akan identitas dirinya sebagai manusia yang merdeka, memiliki hak-hak asasi yang harus dihargai, dan memiliki kesetaraan gender. Di samping itu, pendidikan juga memungkinkan perempuan untuk mengembangkan potensi dirinya yang berhubungan dengan pengetahuan dan keterampilan yang akan mendukung dirinya dalam menjalani kehidupannya dan mengamalkannya kepada masyarakat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel