-->

Check And Balances System Dan Penerapannya Di Indonesia

Check And Balances System Dan Penerapannya Di Indonesia
Share
Check And Balances System Dan Penerapannya Di Indonesia
Oleh: M. Rofiq

A.      Pendahuluan
Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia pada mulanya hidup dalam suasana bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Omnium contra omnes tercipta karna kondisi alamiah dimana manusia hidup dalam situasi pranegara, jauh dari pemahaman tentang moral, institusi dan undang-undang.[1] Hal inilah yang menurutnya mendorong manusia untuk mendirikan sebuah negara.
Sejak zaman dahulu, Motivasi paling umum yang mendorong manusia untuk hidup dalam suatu negara adalah motivasi untuk menikmati kehidupan yang lebih baik. Negara menjadi wadah untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini terbukti dengan perkembangan pengorganisasian negara mulai dari nachwachatersataat atau negara penjaga malam sampai pada doktrin walfare state atau negara kesejahteraan yang menganjurkan tanggungjawab lebih kepada negara untuk mengurusi kesejahteraan sosial.[2]
Dalam menjalankan sebuah negara, dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan untuk menjaga kestabilan negara. Sistem pemerintahan digunakan untuk menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Di dalamnya terdapat sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan negara. Menurut Carl J. Friedrich sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergatungan antara bagian bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keselurahannya itu.[3]
Apabila berbicara tentang sistem pemerintahan pada dasarnya adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara dalam menjalankan keuasaan negara itu, dalam  rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat. Sedangkan konsepsi awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri  kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment” (1960) yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke membagi kekuasaan  negara  menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan Federatif (federatif power). Selanjutnya oleh Montesquieu pemikiran John Locke diteruskan dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu:[4]
a.    Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat undang- undang;
b.    Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana undang- undang;
c.    Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk menghakimi.
Panadngan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion of power di zaman sesudahnya. Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mrncampuri urusan masing-masing. Kekuasan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif.
Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan  prinsip checks and balances.
Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum diadakan amandemen terhadap UUD 1945 tidak mengenal check and balances, menurut Ni’matul Huda, secara substantif UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan, yang mana UUD memberikan kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden.[5] Hal tersebut yang kemudian memunculkan rezim orde lama dan orde baru yang dianggap otoritarian. Sedangkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen ke-empat UUD 1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu Presiden juga mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang- undang dan turut serta dalam pembahasan rancangan undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).[6]
Sistem check and balance mulai diterapkan dalam setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan lainnya. Sehingga kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga tinggi lainnya.
Tujuan dari pemisahan kekuasaan tersebut adalah untuk menghindari menumpuknya kekuasaan negara pada satu organ yang dapat meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan perkembangan ketatanegaraan dimana pemisahan kekuasaan tidak dilakukan secara murni dan telah berkembang pada pembagian kekuasaan dengan diiringi checks and balances, menurut hemat penulis, hal tersebut merupakan upaya untuk menghindari terjadinya praktek birokrasi atau tirani. Karena itu yang dibutuhkan adalah:
  1. Suatu distribusi kekuasaan (agar tidak berada dalam hanya satu tangan saja). Hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian “trias politica” atau “distribution of power”;
  2. Suatu keseimbangan kekuasaan (agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani). Hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian “balances”; dan
  3. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain (agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan). Hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian “checks”.[7]
Dalam hal ini, agar terjadi suatu keseimbangan (balances) tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengecek cabang pemerintahan lainnya, tetapi harus saling melakukan pengecekan satu sama lain. Jadi penerapan teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dan teori checks and balances merupakan suatu sarana agar demokrasi dan negara hukum dapat berjalan. Kedua teori tersebut juga dijalankan dengan mensyaratkan adanya pengaturan yang tegas dalam konstitusi, sehingga sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjalankan kekuasaan sesuai dengan hukum. Dengan demikian, teori trias politika dan teori checks and balances dijadikan sebagai doktrin inti dari suatu negara hukum.

B.       PRINSIP CHECKS AND BALANCES
Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balances sebagai sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif yang didesain untuk mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan yang lain. Secara konseptual, prinsip check and balance dimaksudkan agar tidak terjadi overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara sehingga kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Namun demikian, kelemahan dari pelaksanaan mekanisme check and balance merupakan teori tanpa ujung, saling mengontrol dan berputar.
Dengan mendasarkan pada spektrum pelaksanaannya, prinsip checks and balances dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yakni:
  1. Pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan tertentu;
  2. Pelaksanaan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan.
Secara etimologis, checks and balances memiliki dua suku kata, yakni checks dan balances. Komponen pertama mengandung arti adanya hak untuk ikut memeriksa, menilai, mengawasi atau mencari informasi dan konfirmasi terhadap suatu keadaan (the right to check); sedangkan komponen kedua merujuk pada alat untuk mencari keseimbangan (the means to actively balance out imbalances). Instrumen ini dinilai sangat penting mengingat secara alamiah manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung menyalahgunakan, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).
Secara tersirat dapat ditangkap bahwa esensi pokok dari prinsip checks and balances ini adalah menjamin adanya kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan negara sekaligus menghindari terjadinya interaksi atau campur tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya. Dengan kata lain, inti gagasan demokrasi konstitusional adalah menciptakan keseimbangan dalam interaksi sosial politik. Namun, upaya menciptakan keseimbangan tersebut tidak dilakukan dengan melemahkan fungsi, mengurangi independensi, atau atau mengkooptasi kewenangan lembaga lain yang justru akan mengganggu kinerja lembaga yang bersangkutan.
Dengan demikian, checks and balances sesungguhnya bukanlah tujuan dari penyelenggaraan entitas politik bernama negara (nation-state). Konsep ini lebih merupakan elemen pemerintahan demokratis untuk mewujudkan cita-cita besar membangun sosok pemerintahan yang demokratis (democratic and egalitarian), bersih dan kuat (good and strong), serta mendorong perwujudan good society, melalui penyempurnaan tata hubungan kerja yang sejajar dan harmonis diantara pilar-pilar kekuasaan dalam negara.
Dalam rangka mewujudkan tujuan besar tersebut, maka penerapan checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan harus memperhatikan prinsip non-dichotomy (tidak berpikir dualistis atau memisahkan secara tegas fungsi pilar-pilar kekuasaan); mendorong terbentuknya team-building (semangat korps atau jiwa korsa); serta systemic and comprehensive (mencakup semua aspek dan seluruh pihak atau stakeholders).
Hakikat dari prinsip checks and balances diatas adalah bahwa semestinya tidak ada lagi sekat-sekat psikologis, kultural maupun struktural yang memisahkan kekuasaan Legislatif-Eksekutif -Yudikatif, atau cabang kekuasaan lainnya. Diantara poros-poros kekuasaan tadi, terdapat saling keterhubungan (interconnectedness), saling ketergantungan (interdependence) dan irisan (intercourse) yang erat satu sama lain.
Hal ini berarti sistem checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan menghindari tindakan-tindakan hegemonik, tiranik dan sentralisasi kekuasaan. Sistem ini mencegah terjadinya overlapping antar kewenangan yang ada.[8] Begitu pula dengan pendapat Jimly Asshiddiqie adanya sistem checks and balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan negara yang menduduki jabatan dalam lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.[9]
Walaupun implementasi checks and balances menjanjikan manfaat yang luar biasa besar, namun hal tersebut tidak muncul dengan tiba-tiba. Dalam hal ini, ada beberapa prasayarat atau prakondisi yang memungkinkan berkembangnya checks and balances tadi secara optimal. Adapun prasyarat yang dibutuhkan paling tidak meliputi empat aspek sebagai berikut:
  1. Proses demokratisasi dari tingkat pusat hingga ke daerah tidak terputus. Artinya, kesadaran untuk secara terus menerus melakukan perbaikan baik dari kalangan politisi, birokrat maupun masyarakat luas, perlu dibina secara berkelanjutan pada berbagai jenjangnya.
  2. Adanya pemahaman konsep politik kenegaraan dan kepemerintahan yang bulat dari segenap pelaku atau penyelenggara negara. Pada saat yang sama, dibutuhkan pula adanya kedewasaan politik kalangan birokrasi dan penegak hukum, bahkan juga kalangan masyarakat pada umumnya.
  3. Adanya pemahaman fungsi dan peranan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seimbang (asymmetric information) serta tata hubungan kerja dinamis dan produktif diantara poros-poros kekuasaan tersebut. Adanya kecurigaan atau kekurangpercayaan antar aparat pemegang kekuasaan menunjukkan adanya ketimpangan dalam pola komunikasi antar pemegang kekuasaan tersebut.
  4. Adanya kesadaran penuh untuk memangku hak dan kewajiban masing-masing secara terbuka dan bertanggungjawab untuk mewujudkan cita-cita tertinggi pembentukan negara, yakni mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat.

C.      PENERAPANNYA DI INDONESIA
Dengan mendasarkan pada spektrum pelaksanaannya, prinsip checks and balances yang diklasifikasikan menjadi dua macam tadi yakni pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan tertentu dan pelaksanaan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan dapat digambarkan dalam penjelasan sebagi berikut.
Pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan legislatif di Indonesia dapat dilihat dalam mekanisme hubungan antara MPR, DPR dan DPD. Berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” terlihat bahwa kedaulatan dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri dengan dasar konstitusi. Ketentuan tersebut menghilangkan lembaga tertinggi negara sebelumnya, yaitu MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances).
Selain menghilangkan supremasi MPR, amandemen UUD 1945 telah melahirkan lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili kepentingan daerah di level nasional. Meskipun pelaksanaan di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan, secara konseptual keberadaan DPD dimaksudkan untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) di internal lembaga legislatif itu sendiri.
Dalam hal fungsi legislasi misalnya, DPD memiliki kewenangan yang sangat terbatas bila dibandingkan dengan superioritas kewenangan DPR. Setidaknya fungsi legislasi DPD hanya terbatas pada dua hal. Pertama, DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Saldi Isra mengatakan bahwa frasa ”ikut membahas” dalam Pasal 22D ayat (1) posisi DPD menjadi tidak sebanding dengan DPR yang membahas dan mengambil persetujuan bersama dengan presiden. Lebih lanjut Saldi Isra mengatakan; Dengan kewenangan yang begitu terbatas, DPD tidak dapat dikatakan mempunyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi legislasi harus dilihat swecara utuh, yaitu dimuali dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undang-undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan adanya pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR. Tidak hanya itu, Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan bahwa fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR. Dengan menggunakan cara berpikir a contratio, sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang hanya dapat mengajukan dan membahas rancangan undang-undang bidang tertentu sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945, DPD tidak mempunyai fungsi legislasi. Hal tersebut memberi kesan bahwa DPD hanyalah lembaga sempalan dalam kekuasaan legislatif. Artinya, secara kelembagaan DPD dan DPR memang terlihat sejajar, namun secara fungsional DPD tersubordinasikan oleh kekuatan DPR yang memiliki superioritas jauh melebihi DPD.
Adapun mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan bisa dilihat pula dari hubungan lembaga eksekutif dan legislatif. Patut dicatat bahwa dalam ranah eksekutif dengan penerapan sistem presidensial, mekanisme checks and balances telah dilembagakan dalam institusi suprastruktur politik, yaitu pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif yang masing-masing dipegang oleh presiden dan lembaga legislatif. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat lewat pemilu. Selain itu, meskipun parlemen berfungsi sebagai pemegang kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, presiden tetap memiliki hak mengajukan RUU serta membahas RUU bersama DPR untuk kemudian dilakukan persetujuan bersama.
Dalam hubungannya dengan parlemen, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan hanya dapat dijatuhkan oleh parlemen jika diikuti alasan-alasan khusus dan dengan mekanisme yang khusus pula. Untuk memberikan jaminan checks and balances antara eksekutif dan legislatif, konstitusi memberikan panduan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Bila dicermati lebih jauh aturan konstitusional kekuasaan eksekutif dan legislatif, menurut hemat penulis checks and balances antara antara kedua cabang kekuasaan tersebut tidaklah berimbang. Meskipun posisi DPR dan presiden ditempatkan sejajar, DPR tetap saja lebih dominan ketimbang Presiden. Hal ini dapat dilihat dari aspek pembubaran DPR dan impeachment presiden. Parlemen Indonesia (MPR yang terdiri dari anggota DPR dan DPD) dapat memberhentikan presiden yang dalam masa jabatannya. Sebaliknya, presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 7C UUD 1945 bahwa ‘Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR’.
Dominasi dan supremasi DPR dapat pula dilihat dari penyusunan dan pembentukan undang-undang. Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” Pasal 20 ayat (1) tersebut mengatur jelas soal tugas dan kekuasaan DPR. Sayangnya, pasal ini menjadi rancu dengan adanya rumusan Pasal 20 ayat (2), ”Setiap undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.” Selanjutnya, Pasal 20 ayat (5) menyatakan bahwa; ”Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
Rumusan pasal 20 ayat (5) tersebut dapat dimaknai bahwa presiden tidak dapat berbuat banyak dalam mengesahkan undang-undang yang telah disepakati bersama, karena tanpa pengesahan presiden rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Di sinilah terlihat prinsip checks and balances antara presiden dengan DPR kurang berimbang.
Prinsip checks and balances antar lembaga negara yang lebih berimbang dapat dilihat pada hubungan antara kekuasaan legislatif dan yudikatif. Jika Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang” maka untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan (checks and balances) difungsikanlah Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu pemegang kekuasaan yudikatif yang kewenangannya salah satunya adalah meninjau apakah undang-undang yang telah dibuat bertentangan dengan konstitusi atau UUD. Kewenangan tersebut dikenal pula dengan istilah judicial review.
Prinsip checks and balances antar lembaga negara (cabang-cabang kekuasaan) dapat pula dilihat dalam hal peran lembaga yudikatif yakni MK ketika DPR ingin menjatuhkan presiden (impeachment). Proses pemberhentian presiden dimulai dengan permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum dimaksud berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Pemberhentian juga bisa dimintakan bila DPR berpendapat presiden/wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Proses impeachment selanjutnya adalah di MPR. Sidang pemberhentian itu harus dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR. Presiden baru dinyatakan berhenti bila minimal 2/3 dari anggota MPR yang hadir menyetujuinya. Dalam proses di MPR ini, yang merupakan proses terakhir, presiden/wakil presiden diberi kesempatan untuk membela diri. Kesimpulannya, proses impeachment di Indonesia dimulai dari proses politik, lalu berlanjut menjadi proses hukum, dan kemudian ditutup dengan proses politik juga. Pengaturan ini dimaksudkan agar sejauh mungkin terhindarkan praktek sewenang-wenang dalam hal pemberhentian presiden dan mewujudkan prinsip checks and balances itu sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, ketiga cabang kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kedudukan yang sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Namun demikian, diharapkan tidak terjadi persaingan atau perselisihan yang mengarah pada tindakan saling menjegal antar lembaga tinggi negara yang didasari kepentingan individu atau kelompoknya. Bila hal itu terjadi tentunya akan merusak dan menghambat jalannya pemerintahan secara umum dan akan menyimpang dari tujuan negara.
Tentunya penerapan Check And Balances di Indonesia pasti akan ada hambatanya sebagaimana berikut ini sejumlah kasus dari terdegradasinya prinsip checks and balances di Indonesia yang menjadi sorotan publik yang ada kenyataanya, mulai ada ketegangan dan kekacauan hubungan antar lembaga negara yang diakibatkan lembaga negara tersebut merasa memiliki kekuatan yang sama. Sebagai contoh ialah beberapa polemik pertama kasus UU Pilkada antara DPR dan Presiden. Pada tanggal 26 September 2014, DPR mengesahkan UndangUndang Pilkada yang baru. Dalam putusan yang diambil melalui voting atau pemunggutan suara, fraksi pendukung Pilkada lewat DPRD, yakni fraksi PAN, PPP, Gerindra, PKS dan Golkar unggul dengan 256 suara. Fraksi lain pendukung Pilkada Lansung kalah dengan 135 suara. Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk membatalkan Undang-Undang Pilkada yang baru dan mempertahankan Pilkada Langsung dengan perbaikan.
Kasus kedua DPR melawan Presiden yang melibatkan unsur dari Polri dengan KPK, yang diberi julukan oleh masyarakat yaitu cicak melawan buaya. Kasus terakhir ini seputar pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dan kasus kriminalisasi Abraham Samad dan Bambang Widjajanto. Pada berita Nasional Kompas, Jimly mengatakan, “saat ini KPK tidak bisa melanjutkan kasus Budi Gunawan karena kasasinya ditolak. Sementara KPK juga tak bisa mengajukan peninjauan kembali. Sehingga untuk sementara waktu, kasus Budi Gunawan berhenti. Dalam kondisi seperti ini, Polri, kata Jimly, harusnya melepaskan Bambang dan Abraham dari jerat ancaman pidana. Pasalnya, penetapan dua pimpinan KPK non-aktif sebagai tersangka tidak terlepas dari penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Budi Gunawan.”
Selanjutnya kasus ketiga antara Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Antara ketiga lembaga ini selalu terdapat selisih pendapat, dimulai dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang mengajukan judicial review ke MK tentang keikutsertaan KY dalam rekruitmen calon hakim. Selain itu ditambah dengan kasus “MA memutuskan menolak rekomendasi KY terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim Sarpin Rizaldy.” 6 Di sisi lain hakim MK tak mau diawasi KY. Dengan suara bulat, kesembilan hakim konstitusi berpendapat bahwa mereka tidak termasuk objek pemeriksaan Komisi Yudisial.7 Gesekan-gesekan ini seharusnya tidak terjadi jika prinsip checks and balances dimaknai dan dilaksanakan dengan benar. Ketegangan antar lembaga negara tersebut tidak pelak ujungnya akan merugikan masyarakat.
Apabila prinsip checks and balances tidak dijalankan dengan baik, maka ada kemungkinan akan terjadi tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan salah satu pemegang kekuasaan negara karena tidak ada batas kekuasaan dan tidak ada pengontrolnya. Kemungkinan lain yang timbul adalah adanya intervensi atau bahkan saling melemahkan antar cabang kekuasaan negara. Bila hal itu terjadi, akan dapat menimbulkan suasana chaos, terjadi pelanggaran hak-hak rakyat dan pemerintahan yang tidak stabil yang justru merugikan negara. Oleh karena itu, dengan penerapan prinsip checks and balances maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.


*Disampaikan dalam diskusi rutinanan PMII Rayon "Radikal" Al Faruq UIN Malang



[1]Otto Gusti Madung, Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus Filosofis (Ledalero: Maumere, 2013, Cet. Pertama), h. 34.
[2]Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara  Pasca Reformasi (Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, Cet. Kedua), h. 2.
[3]Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD1945 (Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Kedua), h. 147.
[4]Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 13.
[5]Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 98.
[6]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 184.
[7]Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat) (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), h. 124.
[8]A. Fickar Hadjar ed. al, Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (Jakarta: KRHN dan Kemitraan, 2003), h. 4.
[9]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 74


5 Responses to "Check And Balances System Dan Penerapannya Di Indonesia"

  1. Isi materinya Bagus dan sangat membantu

    ReplyDelete
  2. Sama-sama... semoga bisa membantu dan menjadi teman sejati untuk selamanya

    ReplyDelete
  3. Boleh tau artikel ini dirilis kapan untuk sumber referensi? Terima kasih sebelumnya

    ReplyDelete
  4. Maaf sebelumnya, tulisan ini kami posting pada tanggal 2 Februari 2017

    ReplyDelete
  5. Artikelnya bagus dan membantu sekali tugas sekolah saya

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel