Hukum dan Keadilan
Tuesday, 4 July 2017
Comment
Tujuan
akhir hukum adalah keadilan. Oleh karena itu, segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan untuk menemukan sebuah sistem hukum yang
paling cocok dan sesuai dengan
prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil,
bila suatu hukum konkrit, yakni
undang-undang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang
hanya menjadi hukum bila memenuhi
prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum (Huijbers,
1995:70).
Sifat
adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum adalah karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk
hidup bersama yang baik dengan
mengaturnya secara adil. Dengan kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas suei pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab
mengapa keadilan menjadi unsur
konstitutif hukurn. Huijbers menambahkan alasan penunjang mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum:
- Pemerintah negara manapun selalu membela tindakan dengan memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya.
- Undang-undang yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan seringkali dianggap sebagai undang-undang yang telah usang dan tidak berlaku lagi.
- Dengan bertindak tidak adil, suatu pemerintahan sebenamya bertindak di luar wewenangnya yang tidak sah seeara hukum.
Konsekuensi
pandangan kontinental sistem tentang nilai keadilan: hukum adalah undang-undang
yang adil, adil merupakan unsur konstitutif
dari segala pengertian hukum, hanya peraturan yang adil yang disebut hukum:
- Hukum melebihi negara. Negara (pemerintah) tidak boleh membentuk hukum yang tidak adil. Lebih percaya pada prinsip-prinsip moral yang dimuat dalam undang-undang dari pada kebijaksanaan manusia dalam bentuk putusan-putusan hakim.
- Sikap kebanyakan orang terhadap hukum mencerminkan pengertian hukum ini, yaitu hukum sebagai moral hidup (norma ideal).
- Prinsip-prinsip pembentukan hukum (prinsip-prinsip keadilan) bersifat etis, maka hukum sebagai keseluruhan mewajibkan secara batiniah.
Ungkapan
tersebut sejalan dengan komentar Khan (1978:7),
Professor and Head Department of
Political Science Univesity of Sind: Every state has undertaken to
eradicate the scourges of ignorance
disease, squalor, hunger and every type of injustice from among its citizens so
that everybody may pursue a happy life in a Free way.
Dari
ungkapan terse but tergambar sebuah pengertian, bahwa tujuan akhir hukum
berupa keadilan harus dicapai melalui sebuah institusi legal dan independen
dalam sebuah negara. Hal tersebut menunjukkan pentingnya mewujudkan
keadilan bagi setiap warga negara (manusia) sebagai orientasi
hukum. Terutama setelah perang dunia kedua, seringkali akibat pengalaman
pahit yang ditinggalkan kaum Nazi yarig menyalahgunakan
kekuasaannya untuk membentuk undang-undang yang melanggar
norma-norma keadilan, makin banyak orang yang sampai pada keyakinan
bahwa hukum harus berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan,untuk
dapat dipandang sebagai hukum. Bila tidak, maka hukum hanya
pantas disebut sebagai tindakan kekerasan belaka
(Huijbers, 1995: 71).
Dalam
bidang hukum, keadilan menjadi tugas hukum atau merupakan kegunaan
hukum. Keadilan yang menjadi tugas hukum merupakan hasil penyerasian atau
keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Secara
ideal kepastian hukum merupakan pencerminan azas tidak merugikan orang lain,
sedangkan kesebandingan hukum merupakan pencerminan azas bertindak sebanding. Oleh
karena keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum
merupakan inti penegakan hukum, maka penegakan hukum sesungguhnya dipengaruhi
oleh:
- Hukum itu sendiri
- Kepribadian penegak hukum
- Fasilitas kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
- Taraf kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat
- Kebudayaan yang dianut masyarakat. (Soekanto, 1988: 29).
Penegakan
hukum bukan tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai
dengan penegakan hukum, padahal tujuan akhimya adalah keadilan .
Pemyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang hidup di
masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan
merupakan proses yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan. Naminem Laedere semata bukanlah
keadilan, demikian pula Suum
Cuique Tribuere yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan.
Keadilan bergerak di atara dua kutub tersebut. Pada suatu ketika
keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain, keadilan
lebih condong pada kutub lainnya.
Keadilan
yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah
pada
saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat
netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual
atau sensitif, maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian
tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orangorang
dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Para
sarjana Inggris dan Amerika dalam memegang prinsip keadilan lebih banyak
diwarnai dengan filsafat empirisme dan pragmatisme. Pada intinya pandangan ini
beranggapan bahwa kebenaran berasal dari penga laman dan
praktek hidup. Karenanya yang diutamakan dalam menangani hukum adalah hubungan
dengan realitas hidup, bukan dengan prinsip-prinsip
abstrak tentang keadilan. Oleh karena itu adil dan tidak adil tidak
terpengaruh oleh pengertian tentang hukum, tetapi lebih banyak diwarnai oleh
realitas pragmatis. Konsekuensi pandangan ini adalah:
- Pada prinsipnya hukum tidak melebi hi negara (yang diangga sama dengan rakyat). Hukum adalah sarana pemerintah untuk mengatur masyarakat secara adi!, tidak ada instansi yang lebih tinggi dari hukum. Karena kemungkinan dari ketidakadilan tetap ada, diharapkan bahwa dalam praktik hukum keyakinan-keyakinan rakyat dan kebijaksanaan para hakim menghindari penyimpangan yang terlalu besar.
- Hukum adalah apa yang berlaku de facto. dan itulah akhirnya tidak lain daripada keputusan hakim dan juri rakyat. Sementara rakyat juga menyadari bahwa hukum tak lain dari apa yang telah ditentukan.
- Menurut aliran empirisme, hukum sebagai sistem tidak rnewajibkan secara batiniah, sebab tidak dipandang sebagai bagian tugas etis manusia. Hukum harus ditaati sebab ada sanksi bagi pelanggaran berupa hukuman, sedangkan ketaatan secara batiniah lebih banyak di sebabkan oleh keyakinan agama. (Huijbers, 1995: 70).
Seorang
filsuf hukum Amerika Latin Louis Recasens Siches mengatakan bahwa di satu
sisi kepastian dan keamanan merupakan tujuan primer dan mendesak bagi
hukum, di lain sisi keadilan harus diusahakan oleh para pembuat hukum sebagai
tujuan akhir yang lebih jauh. Hukum tidak dilahirkan untuk
manusia karena alasan ingin memberikan upeti atau penghormatan
kepada teori keadilan, tetapi untuk memenuhi urgensi yang tidak
bisa dihindarkan bagi keamanan dan kepastian kehidupan sosia!.
Pertanyaan tentang sebab musabab. manusia membuat hukum tidak dijawab dalam struktur
teori keadilan, akan tetapi dalam sebuah nilai yang lebih rendah, keamanan
adalah sesuatu yang lebih cocok bagi manusia (Muslehuddin, 1991: 38).
Bodenheimer
(Muslehuddin, 1991 :38) mengatakan, "ada keraguan serius", apakah
sistem sosial yang memenuhi syarat-syarat kepastian aturan atau hukum bisa
efektif tanpa kehadiran unsur yang substansial yaitu keadilan. Jika
rasa keadilan sebagian besar masyarakat dihina dan diperkosa oleh sebuah sistem
yang mengaku hukum untuk menegakkan kondisi-kond isi hidup yang sesuai dengan
aturan, maka otoritas publik akan mengalami kesulitan dalam menjaga
sistem hukum melawan usaha-usaha subversif.
Orang-orang
tidak akan bertahan lama menghadapi sebuah tatanan yang mereka rasa sama sekali
tidak sesuai dan tidak masuk akal. Pemerintah yang
mempertahankan aturan semacam itu akan terjerat
dalam kesulitan-kesulitan serius dalam pelaksanaannya. Artinya , sebuah tatanan
yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada
landasan yang tidak aman dan berbahaya. Sebagaimana diungkapkan John
Dickinson "Kita tidak hanya membutuhkan sebuah sistem peraturan umum yang
bercampur baur, tetapi aturan yang berdasarkan pada
prinsip keadilan." (Muslehuddin, 1991: 38)
0 Response
Post a Comment