Konsep Keadilan
Monday, 3 July 2017
Comment
Kompasiana.com |
Berbicara
mengenai keadilan, kiranya perlu meninjau berbagai teori para ahli. Salah
satunya adalah Plato. Muslehuddin di dalam bukunya Philosophy of Islamic Law and Orientalists, menyebutkan pandangan
Plato sebagai berikut:
In his view, justice consists in a
harmonious relation, between the various parts of the social organism . Every citizen must do his
duty in his appointed place and do the
thing for which his nature is best
suited (Muslehuddin, 1986 : 42).
Dalam
mengartikan keadilan, Plato sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik
yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme
sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan
sifat alamiahnya.
Pendapat
Plato tersebut merupakan pemyataan kelas, maka keadilan Platonis berarti bahwa para
anggota setiap masyarakat harus menyelesaikan pekerjaan masing-rnasing dan
tidak boleh mencampuri urusan anggota kelas lain. Pembuat peraturan harus
menempatkan dengan jelas posisi setiap kelompok masyarakat di mana dan situasi bagaimana
yang cocok untuk seseorang. Pendapat tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa
manusia bukanlah suatu jiwa yang terisolir dan bebas melakukan apa saja yang
dikehendakinya, tetapi manusia adalah jiwa yang terikat dengan peraturan dan
tatanan universal yang harus menundukkan keinginan pribadinya kepada organik
kolektif.
Dari
sini terkesan pemahaman bahwa, keadilan dalam konsep Plato sangat terkait
dengan peran dan fungsi individu dalam masyarakat. Idealisme keadilan akan
tereapai bila dalam kehidupan semua unsur masyarakat berupa individu dapat
menempatkan dirinya pada proporsi masing-rnasing dan bertanggung jawab penuh
terhadap tugas yang diemban, selanjutnya tidak dapat meneampuri urusan dan
tugas kelompok lain. Kesan lainnya adalah Plato membentuk manusia dalam kotak-kotak
kelompok (rasis), peran suatu kelompok tidak dapat menyeberang ke kelompok
lain. Keadilan hanya akan terwujud manakala manusia menyadari status sosial dan
tugasnya sebagai delegasi kelompoknya sendiri.
Lain
halnya dengan Aristoteles, menurutnya keadilan berisi suatu unsur kesamaan,
bahwa semua benda-benda yang ada di alam ini dibagi seeara rata yang
pelaksanaannya dikontrol oleh hukum. Dalam pandangan Aristoteles keadilan
dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, keadilan
distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya
memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip
kesamaan proporsional. Kedua,
keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara
distribusi ini melawan serangan-serangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada
prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali status quo dengan cara
mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi
atas miliknya yang hilang (Muslehuddin, 1991: 36).
Aristoteles
dalam mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikan benda tertentu.
Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles adalah ketika semua unsur masyarakat
mendapat bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh
Aristoteles dipandang sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepernilikan
suatu barang (materi).
Pandangan
Aristoteles tersebut di satu sisi ditolak oleh seorang filsuf Kontemporer William
K. Frankena, pandangan Aristoteles tentang keadilan sebagai pembagian sama rata
adalah sisi yang ditolak, sedangkan pandangan yang diterima Frankena adalah
keadilan merupakan distribusi barang, akan tetapi distribusi yang adil bukan hanya
distribusi sama rata, akan tetapi berbeda dalam keadaan tertentu juga merupakan
keadilan, Pendapat Frankena selengkapnya sebagai mana dikutip Feinberg:
Like most other write rs, Frankena
beg ins b)' accepting Aristotle's formal pr inciple ofj ustice, that relevantly
similar cases should be
treated similarly, but Frankena devotes more attention than Aristotle did to
the selection of a material principle of distribution. He agrees with Aristotle that the essence of
distrib utive of injustice is arbitrary
discriminat ion between relevan tly similar cases, but disagree over which characteristics are relevantly similar and which
discrim ina tions are arbitrary, aligning
himself with Aristotle old ad
versaries, the equalita rian democrats (Feinberg (ed)., 1975: 214).
Sedangkan
Herbert Spencer mengartikan keadilan adalah kebebasan. Setiap orang bebas melakukan
apa yang ia inginkan asal tidak mengganggu orang lain (Muslehuddin, 199 1: 36).
Pandangan ini sangat kontras bila d ihadapkan dengan pandangan Plato. Kebebasan
individualis adalah sesuatu yang sangat dihindari oleh Plato, sementara Herbert
Spencer sebaliknya, keadilan justru berangkat dari kebebasan individu.
Sedangkan kesamaannya terletak pada pengertian tidak dapat mengganggu
kepentingan orang lain. Artinya, kebebasan individu yang ditawarkan oleh Spencer
tetap pada asumsi bahwa manusia hidup berdampingan dengan manusia lain,
sehingga setiap tindakan harus mengacu pada dua pertimbangan, yaitu
pertimbangan kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain sebagai bentuk perhatian
kolektif.
Kelsen
adalah tokoh yang berusaha mereduksi sejumlah teori keadilan menjadi dua pola dasar,
Rasional dan Metafisik. Tipe rasional sebagai tipe yang berusaha menjawab
pertanyaan tentang keadilan dengan cara mendefinisikannya dalam suatu pola
ilmiah atau quasi ilmiah. Dalam memecahkan persoalan keadilan tipe rasional
berlandaskan pada akal. Pola ini diwakili oleh Aristoteles. Sedangkan tipe Metafisik
merupakan realisasi sesuatu yang diarahkan ke dunia lain di balik pengalaman
manusia. Pola ini diwakili oleh Plato. Dalam pandangan Dewey keadilan tidak dapat
didefinisikan, ia merupakan idealisme yang tidak rasional (Muslehuddin, 1991:
37).
Menurut
John Rawls kebebasan: dan kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti teori
keadilan. Rawls menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaam seharusnya tidak
dikorbankan demi manfaat sosial atau ekonomi, betapapun besarnya manfaat yang
dapat diperoleh dari sudut itu. Rawls percaya bahwa suatu perlakuan yang sama
bagi semua anggota masyarakat yang terakomodasi dalam keadilan formal atau juga
disebut keadilan regulatif, sesungguhnya mengandung pengakuan akan kebebasan
dan kesamaan bagi semua orang (Rawls, 1971: 59).
Teori
keadilan Rawls yang disebut prinsip-prinsip pertarna keadilan itu, bertolak
dari suatu konsep keadilan yang lebih umum yang dirumuskannya sebagai berikut:
All social values-liberty and opportunity,
income and wealth, and the bases ofse lf-respect-rare to be distributed equally
unless and unequal distribution of any, or all, of these values is to
everyone's advantage (Rawls, 1971: 62).
Ada
dua hal yang penting dapat dicatat sehubungan dengan konsep keadilan umum tersebut. Pertama,
kebebasan ditempatkan sejajar dengan
nilai-nilai lainnya, dan dengan itu juga konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap kebebasan. Hal ini berbeda dengan konsep keadilan Rawls
yang berakar pada prinsip hak dan
bukan pada prinsip manfaat. Kedua,
keadilan tidak selalu berarti semua
orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama; keadilan tidak selalu berarti semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan
perbedaan-perbedaan penting yang secara
objektif ada pad a setiap individu; ketidaksamaan dalam distribusi nilai-nilai
sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu ditempuh demi menjamin dan mernbawa manfaat bagi semua orang. Rawls memberikan tempat dan menghargai
hak setiap orang untuk menikmati
suatu hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling tidak beruntung.
Berlandaskan
dari prinsip umum tersebut di atas , Rawls merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai
berikut:
First, each person is to have an
equal right to the most extensive basic liberty compatible with similar liberty
for others; Second, social and economic inequlities are to be range so that
they are both (a) reasonable expected to be to every one's advantage, and (b)
attached to positions and offices open to all (Rawls , 1971:
60)
Menurut
Rawls, kekuatan dalam keadilan dalam arti Fairness justru terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan
sejauh juga memberikan keuntungan
bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan. Ini merupakan
dua tuntutan dasar yang dipenuhi dan dengan
demikian juga membedakan secara tegas konsep
keadilan sebagai Fairness dari teori-teori yang dirumuskan dalam nafas intuisionisme dalam cakrawala
teologis.
Untuk
terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya serial order. Dengan
pengaturan seperti itu, Rawls menegaskan
bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak dapat ditukar dengan keuntungan sosial dan ekonomis. Ini berarti prinsip keadilan yang kedua hanya bisa
mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan yang pertama telah dipenuhi.
Artinya penerapan dan pelaksanaan
prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan
dengan prinsip keadilan yang pertama. Dengan demikian hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep keadilan memiliki priroritas utama atas
keuntungan sosial dan ekonomis.
Soekanto
menyebut dua kutub citra keadilan yang harus melekat dalam setiap tindakan yang
hendak dikatakan sebagai tindakan adil.
Pertama, Naminem Laedere, yakni
"jangan merugikan orang lain",
secara luas azas ini berarti "Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain
mengalaminya". Kedua , Suum Cuique
Tribuere, yakni "bertindaklah sebanding". Secara luas azas ini berarti "Apa yang boleh anda
dapat, biarkanlah orang lain berusaha mendapatkannya"
(Soekanto, 1988: 28). Azas pertama merupakan sendi equality yang ditujukan kepada umum sebagai azas pergaulan hidup.
Sedangkan azas kedua merupakan azas equality
yang diarahkan pada penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang
memang tidak sama.
Di
balik pengertian keadilan ter sebut, para filsuf hukum kemasyarakatan telah
merumuskan teori keadilan tidak dalam istilah-istilah yang mutlak, tetapi
berkaitan dengan peradaban. Nietzsche memahami keadilan sebagai kebenaran dari
orang yang kuat. Sementara Hobbes mengemukakan konsep yang lain tentang
keadilan. Keadilan adalah apabila perjanjian dilaksanakan sebagaimana mestinya
(Muslehuddin, 1991: 170). Lain lagi pendapat Dewey (Muslehuddin, 1991 :78),
baginya keadilan tidak dapat digambarkan dalam pengertian yang terbatas. Keadilan
adalah kebaikan yang tidak berubah-ubah, bahkan persaingan adalah wajar dan
adil dalam kapitalisme kompetitif individualistik. Akhirnya Freidmann
(Muslehuddin, 1991 :79) mengomentari, bahwa kegagalan standar keadilan selama
ini adalah akibat kesalahan standar dasar pembentuk keadilan itu. Standar
keadilan yang mutlak adalah keadilan dengan dasar agama.
Prinsip
keadilan barn dapat dikatakan bersifat universal jika dapat mencakup semua persoalan
keadilan sosial dan individual yang muncul. Universal dalam penerapannya mempunyai
alii tuntutantuntutannya harus berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Dapat diuniversalkan
dalam arti harus menjadi prinsip yang universalitas penerimaannya dapat dikembangkan
seluruh warga masyarakat. Agar dapat dikernbangkan dan membimbing tindakan
warga masyarakat, maka prinsip-prinsip tersebut harus dapat diumumkan dan
dimengerti setiap orang. Masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang
berlainan mengalami kontlik atas kepentingan mereka, maka prinsipprinsip
keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi
perselisihan masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh
masyarakat akan menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata
"setuju", tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mengikat
dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut.
Dengan demikian seseorang kemudian mempertimbangkan "biaya
psikologis" yang harus ditanggung dalam memenuhi kompensasi kesepakatan pengikat
gerak sosial dan individual tersebut.
Konsep
keadilan, bahkan konsep kepastian dan kebenaran akan selalu berevolusi, oleh
karena itu keadilan harus mampu melakukan interaksi sirkular dengan
perkembangan ilmu-ilmu lain, antara lain teologi, ideologi, dan teknologi.
Perkembangan keadilan di Barat misalnya, konsep keadilan yang pada mulanya
sifatnya mytological, pada masa ini keadilan hanya terdapat pada para dewa.
Aristoteles dan Plato kemudian mengembangkan konsep keadilan tersebut menjadi
intelektual rasional. Keadilan kemudian dikaitkan dengan institusi dan
kolektifitas kehidupan manusia. Perubahan konsep keadilan dari waktu ke waktu
lebih banyak terjadi pada dataran operasional, sedangkan sifatnya selalu statis
dan politis. Dari konsep perubahan dan dengan berpegang pada konsep
"hak" kemudian dikembangkan diferensiasi jenis keadilan. Tantangan utama
dalam pembentukan prinsip keadilan di zaman sekarang ini adalah bagaimana
meneari eelah di antara benturan liberalisme dan sosialisme, terutama yang
menyangkut perkembangan ekonomi, sehingga keadilan menjadi erat kaitannya
dengan ekonomi. Artinya konsep prinsip keadilan menjadi sangat majemuk karena
bisa berbentuk konsep teologis, konsep etis, konsep hukum, konsep politik, konsep
sosiologis, dan konsep ekonomi.
0 Response
Post a Comment