-->

Islam Dalam Mengakomodasi Mitos Jawa

Islam Dalam Mengakomodasi Mitos Jawa
Share
 
      Ketika membicarakan dialog Islam dengan Jawa pasti akan bermunculan mitologi Jawa yang itu sangat beragam dan banyak jumlahnya. Masing-masing mitos ada pendukungnya yang bersifat lokal. Misalnya mitos Kanjeng Ratu Kidul, Ki Ageng Sela, Gunung Tangkuban Prahu, dan Jaka Seger. Masing-masing mitos biasanya diwariskan secara turun temurun dan memuat nilai-nilai budi pekerti yang dilestarikan oleh pemiliknya.
Dalam simbolisasi Islam ini tidaklah jauh berbeda dengan agama lain di manapun, jika memang dimungkinkan pemahaman simbol-simbol itu menuju makna yang sama. Akan tetapi, Islam memiliki kelebihan di atas yang lain karena secara inheren mengandung kelengkapan untuk memungkinkan pemahaman simbol-simbol itu secara lebih jauh lebih bebas dari mitologi. Dalam penafsiran ilmu antropologi tentang mitos dan mitologi, terkait kenisbian makna sesuai dengan kelompok masyarakat yang mendukungnya. Sebagai penyederhanaan keterangan tentang kosmos dan sejarah, mitos memiliki fungsi memasok masyarakat dengan kesadaran makna dan tujuan hidup yang amat penting. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa sistem mitologi dan bentuk-bentuk tertentu.
Di Jawa atau Indonesia terdapat aliran kebatinan yang bersifat mistik, akultis, teosofis, serta etis. Kebatinan merupakan bentuk usaha untuk mewujudkan dan menghayati nilai-nilai dan kenyataan ruhani dalam diri manusia serta alamnya dan membawa orang kepada penemuan kenyataan hidup sejati serta pencapaian budi luhur dan kesempurnaan hidup.
Sifat-sifat kebatinan masyarakat Jawa sebagaimana yang dikemukakan A. Mukti Ali dalam bukunya Soesilo, Kejawen: Philosofi & Perilaku (Jakarta: Yusula, 2004), meliputi:
1.      Bersifat batin; orang kebatinan meremehkan segala penilaian duniawi yang seringkali mementingkan kedudukan dan peran manusia yang sebenarnya karena kurang memahami al-Qur’an mereka berpegang pada kitab-kita lain yang lebih memuaskan kecenderungan mereka akan hidup ruhani.
2.      Bersifat subjektif, yaitu mementingkan rasa atau pengalaman ruhani. Sifat ini timbul, mungkin disebabkan oleh kekurangpahaman mereka terhadap ajaran agama, tidak melihat keinginan mentaati ajaran agama maupun keimanan kepada wahyu yang disampaikan lewat orang.
3.      Sifat keaslian; untuk melawan pembaharuan, mereka mengutamakan gaya hidup dan kesopanan Timur. Untuk melawan ibadah agama dalam bahasa, simbol, dan sikap badan yang asing mereka mengutamakan ungkapan gaya asli karena ungkapan ini dirasakan lebih mesra dan mengena.
4.      Memiliki hubungan yang erat antara para warganya, dengan pertemuan berkala dan memiliki pandangan hidup yang sama dan pemimpin yang kharismatik.
5.      Faktor ahklak dan budi luhur. Mereka menyerukan kesusilaan yang asli, kesederhanaan nenek moyang dengan semboyan “budi luhur dan sepi ing pamrih” untuk memberantas demoralisasi, korupsi, dan lainnya.
Seperti pendapat A. Mukti Ali tersebut, sosiolog dan ahli hukum adat Universitas Gajah Mada memberikan pengertian kebatinan pada empat unsur penting, yaitu: budi pekerti luhur, amal saleh, moral dan akhlak atau etika, atau filsafat tingkah-laku, mendalami filsafat “Sangkan Paraning Dumadi” atau metafisika, senang terhadap ilmu gaib atau kanuragan atau okultisme, dan manunggaling kawula gusti atau mistikisme.
Memperhatikan sifat dan unsur tersebut berarti kebatinan bukan agama. Kebatinan merupakan bentuk usaha terus menerus sehingga manusia dapat dekat kepada Tuhan dengan laku batin yang selalu diikuti dengan mengurangi kenikmatan duniawi,  menahan nafsu, dan selalu ingat dengan sang khalik.
Aliran kebatinan Jawa yang mendasarkan keyakinan dan ajarannya dengan al-Qur’an dan Hadis, meskipun mereka kurang menguasainya maka mereka masuk kategori beragama Islam atau Islam Jawi.
Terkait dengan mitos dan perilaku kejawen, para santri di Jawa menciptakan simbol-simbol, sekalipun tidak semua simbol mempunyai kadar kekayaan makna yang sama. Pembentukan simbol berjalan terus, di masa lampau tradisi besar Isam yang rasional dan historis ternyata tidak mampu membendung pembentukan mitologi Islam, termasuk di Jawa. Cerita para wali misalnya, adalah lebih merupakan mitos daripada sejarah. Jin dalam konsep Islam telah begitu diperkaya ketika menjadi jin dalam konteks masyarakat Jawa. Muslim Jawa yang santri juga memiliki kepercayaan mistik dan berbau klenik atau kejawen saat bersinggungan dengan kepercayaan lokal seperti kekuatan magis keris, tombak, Nyi Roro Kidul, dan kepercayaan mistik lainnya.
Kecenderungan sikap mistik tersebut disebabkan karena orang Jawa sebagian besar adalah para petani pedesaan (rural peasant) yang memiliki ketergantungan dan kedekatan dengan alam oleh masyarakat tradisional mengakibatkan munculnya anggapan bahwa perubahan harus dapat diamati dengan jelas. Perubahan harus melalui siklus yang telah mapan, di luar siklus itu perubahan bisa  berakibat terjadinya ketidak selarasan (disharmoni) dan ketidak sinambungan (diskontinuitas) kosmos, yakni kosmos yang dicita-citakan (das sollen), bila kenyataan memang belum mencapai keadaan yang diinginkan adalah perkara lain. Untuk itu diperlukan mitos sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkeseimbangan yang tidak berubah (status quo), dan mungkin sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang dicita-citakan.
Mitos pada dasarnya merupakan sikap pandang yang terbentuk secara empiris, terhadap berbagai fenomena kehidupan dan alam. Mitos merupakan media yang mengakomodasikan harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein), sekaligus sebagai pengatur (regulator) perilaku masyarakat dan anggotanya. Terkait dengan perubahan, orang Jawa bisa menerima dengan perlahan, tanpa paksaan dan berbenturan dengan nilai-nilai paling esensi.
Dengan penjiwaan terhadap kearifan lokal atau tradisional tersebut, masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang tahan sengsara atau menderita, disaat mereka mendapatkan perlakuan represif dan tidak adil dari orang-orang yang kuat, mereka diam dan tidak mengadakan reaksi, mereka lebih senang diam daripada bereaksi yang berbuntut pada disharmoni sosial. Salah satu semboyan mereka adalah wani ngalah, dhuwur wekasane.
Di samping itu, masyarakat ini lebih mementingkan kehidupan sosial yang harmoni dan rukun, meskipun terkadang hanya sebatas lahiriah. Mereka terlihat tunduk dan diam meski hati berkobar dengan kemarahan yang membara.
Namun karena lama terpendam tanpa disalurkan, kemarahan dan dendam itu bisa meledak sehingga mengejutkan semua pihak. Apalagi ada pihak yang mampu mengeksploitasi kepercayaan ini. Emosi masyarakat mudah untuk dibakar dan digerakkan sehingga dia mau untuk melakukan pembangkangan dan pemberontakan terhadap penguasa yang dianggap otoriter dan dzalim serta tindak kekerasan kepada orang yang tidak disenanginya. Oleh karena itu, muncullah suatu hal yang paradoks, padahal masyarakat Jawa sering dikenal dengan masyarakat yang ramah dan murah senyum, berperangi halus, tetapi bertindak seakan tidak mengenal kemanusiaan dan peradaban. 
Disini pesantren yang berakulturasi dengan tradisi Jawa memiliki ciri mempertahankan nilai harmonitas yang harus tetap menunjuk adanya jaminan kebebasan bagi setiap anggota sosial untuk menyampaikan aspirasinya secara terbuka. Jika demikian maka harmonitas yang berkembang di masyarakat adalah harmonitas yang didasari rasa keadilan, kemerdekaan, pemerataan, dan hak-hak asasi manusia yang dihormati dengan baik.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel