Islam Dalam Mengakomodasi Mitos Jawa
Sunday, 24 April 2016
Ketika membicarakan dialog Islam dengan Jawa
pasti akan bermunculan mitologi Jawa yang itu sangat beragam dan banyak
jumlahnya. Masing-masing mitos ada pendukungnya yang bersifat lokal. Misalnya
mitos Kanjeng Ratu Kidul, Ki Ageng Sela, Gunung Tangkuban Prahu, dan Jaka
Seger. Masing-masing mitos biasanya diwariskan secara turun temurun dan memuat
nilai-nilai budi pekerti yang dilestarikan oleh pemiliknya.
Dalam simbolisasi Islam ini tidaklah
jauh berbeda dengan agama lain di manapun, jika memang dimungkinkan pemahaman
simbol-simbol itu menuju makna yang sama. Akan tetapi, Islam memiliki kelebihan
di atas yang lain karena secara inheren mengandung kelengkapan untuk
memungkinkan pemahaman simbol-simbol itu secara lebih jauh lebih bebas dari
mitologi. Dalam penafsiran ilmu antropologi tentang mitos dan mitologi, terkait
kenisbian makna sesuai dengan kelompok masyarakat yang mendukungnya. Sebagai
penyederhanaan keterangan tentang kosmos dan sejarah, mitos memiliki fungsi memasok
masyarakat dengan kesadaran makna dan tujuan hidup yang amat penting. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa
sistem mitologi dan bentuk-bentuk tertentu.
Di Jawa atau Indonesia terdapat aliran
kebatinan yang bersifat mistik, akultis, teosofis, serta etis. Kebatinan
merupakan bentuk usaha untuk mewujudkan dan menghayati nilai-nilai dan
kenyataan ruhani dalam diri manusia serta alamnya dan membawa orang kepada
penemuan kenyataan hidup sejati serta pencapaian budi luhur dan kesempurnaan
hidup.
Sifat-sifat kebatinan masyarakat Jawa
sebagaimana yang dikemukakan A. Mukti Ali dalam bukunya Soesilo, Kejawen: Philosofi & Perilaku
(Jakarta: Yusula, 2004), meliputi:
1.
Bersifat batin; orang
kebatinan meremehkan segala penilaian duniawi yang seringkali mementingkan
kedudukan dan peran manusia yang sebenarnya karena kurang memahami al-Qur’an
mereka berpegang pada kitab-kita lain yang lebih memuaskan kecenderungan mereka
akan hidup ruhani.
2.
Bersifat subjektif, yaitu
mementingkan rasa atau pengalaman ruhani. Sifat ini timbul, mungkin disebabkan
oleh kekurangpahaman mereka terhadap ajaran agama, tidak melihat keinginan
mentaati ajaran agama maupun keimanan kepada wahyu yang disampaikan lewat
orang.
3.
Sifat keaslian; untuk
melawan pembaharuan, mereka mengutamakan gaya hidup dan kesopanan Timur. Untuk
melawan ibadah agama dalam bahasa, simbol, dan sikap badan yang asing mereka
mengutamakan ungkapan gaya asli karena ungkapan ini dirasakan lebih mesra dan
mengena.
4.
Memiliki hubungan yang erat
antara para warganya, dengan pertemuan berkala dan memiliki pandangan hidup
yang sama dan pemimpin yang kharismatik.
5.
Faktor ahklak dan budi
luhur. Mereka menyerukan kesusilaan yang asli, kesederhanaan nenek moyang
dengan semboyan “budi luhur dan sepi ing
pamrih” untuk memberantas demoralisasi, korupsi, dan lainnya.
Seperti pendapat A. Mukti Ali tersebut,
sosiolog dan ahli hukum adat Universitas Gajah Mada memberikan pengertian
kebatinan pada empat unsur penting, yaitu: budi pekerti luhur, amal saleh, moral
dan akhlak atau etika, atau filsafat tingkah-laku, mendalami filsafat “Sangkan Paraning Dumadi” atau
metafisika, senang terhadap ilmu gaib atau kanuragan atau okultisme, dan manunggaling kawula gusti atau
mistikisme.
Memperhatikan sifat dan unsur tersebut
berarti kebatinan bukan agama. Kebatinan merupakan bentuk usaha terus menerus
sehingga manusia dapat dekat kepada Tuhan dengan laku batin yang selalu diikuti
dengan mengurangi kenikmatan duniawi,
menahan nafsu, dan selalu ingat dengan sang khalik.
Aliran kebatinan Jawa yang mendasarkan
keyakinan dan ajarannya dengan al-Qur’an dan Hadis, meskipun mereka kurang
menguasainya maka mereka masuk kategori beragama Islam atau Islam Jawi.
Terkait dengan mitos dan perilaku
kejawen, para santri di Jawa menciptakan simbol-simbol, sekalipun tidak semua
simbol mempunyai kadar kekayaan makna yang sama. Pembentukan simbol berjalan
terus, di masa lampau tradisi besar Isam yang rasional dan historis ternyata
tidak mampu membendung pembentukan mitologi Islam, termasuk di Jawa. Cerita para
wali misalnya, adalah lebih merupakan mitos daripada sejarah. Jin dalam konsep Islam
telah begitu diperkaya ketika menjadi jin dalam konteks masyarakat Jawa. Muslim
Jawa yang santri juga memiliki kepercayaan mistik dan berbau klenik atau
kejawen saat bersinggungan dengan kepercayaan lokal seperti kekuatan magis
keris, tombak, Nyi Roro Kidul, dan kepercayaan mistik lainnya.
Kecenderungan sikap mistik tersebut
disebabkan karena orang Jawa sebagian besar adalah para petani pedesaan (rural peasant)
yang memiliki ketergantungan dan kedekatan dengan alam oleh masyarakat
tradisional mengakibatkan munculnya anggapan bahwa perubahan harus dapat
diamati dengan jelas. Perubahan harus melalui siklus yang telah mapan, di luar
siklus itu perubahan bisa berakibat
terjadinya ketidak selarasan (disharmoni) dan ketidak sinambungan
(diskontinuitas) kosmos, yakni kosmos yang dicita-citakan (das sollen), bila
kenyataan memang belum mencapai keadaan yang diinginkan adalah perkara lain.
Untuk itu diperlukan mitos sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkeseimbangan
yang tidak berubah (status quo), dan mungkin sebagai apologi kegagalan mereka mencapai
keadaan yang dicita-citakan.
Mitos pada dasarnya merupakan sikap
pandang yang terbentuk secara empiris, terhadap berbagai fenomena kehidupan dan
alam. Mitos merupakan media yang mengakomodasikan harapan (das sollen) dan
kenyataan (das sein), sekaligus sebagai pengatur (regulator) perilaku masyarakat
dan anggotanya. Terkait dengan perubahan, orang Jawa bisa menerima dengan
perlahan, tanpa paksaan dan berbenturan dengan nilai-nilai paling esensi.
Dengan penjiwaan terhadap kearifan lokal
atau tradisional tersebut, masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang
tahan sengsara atau menderita, disaat mereka mendapatkan perlakuan represif dan
tidak adil dari orang-orang yang kuat, mereka diam dan tidak mengadakan reaksi,
mereka lebih senang diam daripada bereaksi yang berbuntut pada disharmoni
sosial. Salah satu semboyan mereka adalah wani
ngalah, dhuwur wekasane.
Di samping itu, masyarakat ini lebih
mementingkan kehidupan sosial yang harmoni dan rukun, meskipun terkadang hanya
sebatas lahiriah. Mereka terlihat tunduk dan diam meski hati berkobar dengan
kemarahan yang membara.
Namun karena lama terpendam tanpa disalurkan,
kemarahan dan dendam itu bisa meledak sehingga mengejutkan semua pihak. Apalagi
ada pihak yang mampu mengeksploitasi kepercayaan ini. Emosi masyarakat mudah untuk
dibakar dan digerakkan sehingga dia mau untuk melakukan pembangkangan dan
pemberontakan terhadap penguasa yang dianggap otoriter dan dzalim serta tindak
kekerasan kepada orang yang tidak disenanginya. Oleh karena itu, muncullah
suatu hal yang paradoks, padahal masyarakat Jawa sering dikenal dengan
masyarakat yang ramah dan murah senyum, berperangi halus, tetapi bertindak
seakan tidak mengenal kemanusiaan dan peradaban.
Disini
pesantren yang berakulturasi dengan tradisi Jawa memiliki ciri mempertahankan
nilai harmonitas yang harus tetap menunjuk adanya jaminan kebebasan bagi setiap
anggota sosial untuk menyampaikan aspirasinya secara terbuka. Jika demikian maka
harmonitas yang berkembang di masyarakat adalah harmonitas yang didasari rasa keadilan,
kemerdekaan, pemerataan, dan hak-hak asasi manusia yang dihormati dengan baik.