Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal
Sunday, 24 April 2016
Berawal dari saling sapa
Islam dengan budaya lokal yang pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang
datang ke Nusantara. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan dengan terbentuknya
keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya
memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya
ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga
elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan
politik” di kemudian hari.
Di saat para pedagang dan kemunitas
muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis dan mendapatkan respon yang
cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa
kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi
(1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit
runtuh, daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Juwana,
Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah
kokoh dan makmur. Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat
Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan
kesultanan Demak yang pertama,
dengam membangun atas tradisi budaya
Hindu-Budhis dengan kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya
dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak
abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa yang
menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat.
Islam yang telah berinteraksi dengan
budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan
Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa
menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang
kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi
berbagai budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.
Persinggungan Islam di Jawa dengan
budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur
hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat
laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam
masih sulit diterima dan menembus
lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Penolakan raja
Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan
istana.
Untuk itu para dai agama Islam lebih
menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama
daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai
peningkatan budaya intelektual mereka.
Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para
Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya
tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga:
“... sebagai suatu perlambang dan suatu ide nyata, Sunan Kalijaga
mempertautkan Jawa yang Hindu dan Jawa yang Islam, dan di situlah terletak daya
tariknya, sama juga untuk kita maupun untuk orang lain. Apa pun sebenarnya yang
terjadi, ia dipandang sebagai jembatan antara dua peradaban tinggi, dua epos
sejarah, dan dua agama besar; yaitu Hinduisme-Budhaisme Majapahit yang di situ
ia dibesarkan, dan Mataram Islam yang ia kembangkan”.
(Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 542. Ia mengutip
pendapat Clifford Gertz dalam Islam
Observed (Chicago: The University of Chicago Press, 1975), hal. 25-9.
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena
perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan
Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeri
pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan
oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati
bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif
tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan
dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap
perilaku penduduknya. Siapapun yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan
karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan
dengan baik dan efektif.
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang
Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut
kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok
pesantren khususnya di daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen
tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya
dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya yang
berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.
Islam kejawen dipandang sebagai Islam
berkualitas rendah atau semi-Islam karena symbol Jawa lebih dominan daripada simbol Arab, mencampuradukan
Islam dengan berbagai keyakinan dan ekspresi lokal, serta orientasi
keagamaannya cenderung pada mistik dan panteistik. Islam istana juga memiliki
gambaran yang hampir sama berbeda dengan muslim sejati, yaitu kaum santri yang
dalam perilaku dan simbol keberagamaannya lebih bernuansa Arab meskipun pakaian
dan bahasa kesehariannya tetap Jawa.
Jika ditelusuri lebih jauh, pada masa
perumusan dan pelembagaan budaya Jawa (abad ke-19), hal terpenting yang dicatat
oleh MC. Ricklefs adalah pengaruh Islam yang besar pada wacana yang berkembang.
Islam, menurutnya, membentuk satu substansi utama dalam proses kebangkitan
budaya Jawa.
Bersama dengan tradisi Jawa pra-Islam
yang bersifat Hindu-Budhis. Islam memberikan landasan nilai dan etik bagi
bangunan sistem budaya Jawa yang dirumuskan. Islam dan ke-Jawa-an yang sering dianggap
bertentanggan, justru memperlihatkan satu kesesuaian yang harmonis. Keduanya
saling membentuk paradigma baru bagi kebangkitan budaya Jawa bersamaan dengan
perkembangan dan pelembagaan Islam secara intensif dalam kehidupan masyarakat.
Islam sebagai entitas yang hidup dan
dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena
persentuhannya dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan
berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing.
Dialektika
yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal normatif dengan
lokalitas-historis di mana dia hidup. Perbedaan keberagamaan Muslim Jawa
sesungguhnya bukan pada otentisitas, tetapi lebih pada cara pandang pemeluk
Muslim terhadap teks kitab suci agamanya. Tetaapi ketika saling menyapa ini
membentuk sikap akomodatif dan arif terhadap budaya lokal yang karena
kreativitas terbangun berbagai budaya yang terekspresikan dalam berbagai
dimensi kehidupan masyarakat Jawa.