-->

Akulturasi Islam Dengan Budaya Lokal

Akulturasi Islam Dengan  Budaya Lokal
Share
Berawal dari saling sapa Islam dengan budaya lokal yang pertama dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang ke Nusantara. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan dengan terbentuknya keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan “kekuatan politik” di kemudian hari.
Di saat para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis dan mendapatkan respon yang cukup besar sehingga memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara. Setelah Majapahit runtuh, daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Juwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur. Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan kesultanan  Demak yang pertama, dengam  membangun atas tradisi budaya Hindu-Budhis dengan kuat sehingga peradaban yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa yang menunjukkan dimensi spiritual mistik yang kuat.
Islam yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan kembali dengan  budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis) terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.
Persinggungan Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit) mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas hasilnya. Budaya Islam masih sulit  diterima dan menembus lingkungan budaya Jawa istana yang telah canggih dan halus itu. Penolakan raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk lingkungan istana.
Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka.
Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga:
“... sebagai suatu perlambang dan suatu ide nyata, Sunan Kalijaga mempertautkan Jawa yang Hindu dan Jawa yang Islam, dan di situlah terletak daya tariknya, sama juga untuk kita maupun untuk orang lain. Apa pun sebenarnya yang terjadi, ia dipandang sebagai jembatan antara dua peradaban tinggi, dua epos sejarah, dan dua agama besar; yaitu Hinduisme-Budhaisme Majapahit yang di situ ia dibesarkan, dan Mataram Islam yang ia kembangkan”.
(Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 542. Ia mengutip pendapat Clifford Gertz dalam Islam Observed (Chicago: The University of Chicago Press, 1975), hal. 25-9.
Demoralisasi yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba damai dan rukun. Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya. Siapapun yang ingin sukses di Jawa ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir utara belum mampu menghilangkan semua  unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih murni.
Islam kejawen dipandang sebagai Islam berkualitas rendah atau semi-Islam karena symbol Jawa  lebih dominan daripada simbol Arab, mencampuradukan Islam dengan berbagai keyakinan dan ekspresi lokal, serta orientasi keagamaannya cenderung pada mistik dan panteistik. Islam istana juga memiliki gambaran yang hampir sama berbeda dengan muslim sejati, yaitu kaum santri yang dalam perilaku dan simbol keberagamaannya lebih bernuansa Arab meskipun pakaian dan bahasa kesehariannya tetap Jawa.
Jika ditelusuri lebih jauh, pada masa perumusan dan pelembagaan budaya Jawa (abad ke-19), hal terpenting yang dicatat oleh MC. Ricklefs adalah pengaruh Islam yang besar pada wacana yang berkembang. Islam, menurutnya, membentuk satu substansi utama dalam proses kebangkitan budaya Jawa.
Bersama dengan tradisi Jawa pra-Islam yang bersifat Hindu-Budhis. Islam memberikan landasan nilai dan etik bagi bangunan sistem budaya Jawa yang dirumuskan. Islam dan ke-Jawa-an yang sering dianggap bertentanggan, justru memperlihatkan satu kesesuaian yang harmonis. Keduanya saling membentuk paradigma baru bagi kebangkitan budaya Jawa bersamaan dengan perkembangan dan pelembagaan Islam secara intensif dalam kehidupan masyarakat.
Islam sebagai entitas yang hidup dan dinamis, ia terus berkembang, baik karena perjalanan usianya maupun karena persentuhannya dengan berbagai budaya dan tradisi. Islam harus didefinisikan berdasarkan suara umat Islam itu sendiri sesuai dengan konteks budayanya masing-masing.
Dialektika yang dinamis selalu terjadi antara Islam dalam kategori universal normatif dengan lokalitas-historis di mana dia hidup. Perbedaan keberagamaan Muslim Jawa sesungguhnya bukan pada otentisitas, tetapi lebih pada cara pandang pemeluk Muslim terhadap teks kitab suci agamanya. Tetaapi ketika saling menyapa ini membentuk sikap akomodatif dan arif terhadap budaya lokal yang karena kreativitas terbangun berbagai budaya yang terekspresikan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat Jawa.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel