Islam Dalam Mengakomodasi Mitos Jawa
Thursday, 7 September 2017
1 Comment
Ketika membicarakan dialog
Islam dengan Jawa pasti akan bermunculan mitologi Jawa yang itu sangat beragam
dan banyak jumlahnya. Masing-masing mitos ada pendukungnya yang bersifat lokal.
Misalnya mitos Kanjeng Ratu Kidul, Ki Ageng Sela, Gunung Tangkuban Prahu, dan
Jaka Seger. Masing-masing mitos biasanya diwariskan secara turun temurun dan
memuat nilai-nilai budi pekerti yang dilestarikan oleh pemiliknya.
Dalam simbolisasi Islam ini
tidaklah jauh berbeda dengan agama lain di manapun, jika memang dimungkinkan
pemahaman simbol-simbol itu menuju makna yang sama. Akan tetapi, Islam memiliki
kelebihan di atas yang lain karena secara inheren mengandung kelengkapan untuk
memungkinkan pemahaman simbol-simbol itu secara lebih jauh lebih bebas dari
mitologi. Dalam penafsiran ilmu antropologi tentang mitos dan mitologi, terkait
kenisbian makna sesuai dengan kelompok masyarakat yang mendukungnya. Sebagai
penyederhanaan keterangan tentang kosmos dan sejarah, mitos memiliki fungsi memasok
masyarakat dengan kesadaran makna dan tujuan hidup yang amat penting. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa
sistem mitologi dan bentuk-bentuk tertentu.
Di Jawa atau Indonesia
terdapat aliran kebatinan yang bersifat mistik, akultis, teosofis, serta etis.
Kebatinan merupakan bentuk usaha untuk mewujudkan dan menghayati nilai-nilai
dan kenyataan ruhani dalam diri manusia serta alamnya dan membawa orang kepada
penemuan kenyataan hidup sejati serta pencapaian budi luhur dan kesempurnaan
hidup.
Sifat-sifat kebatinan
masyarakat Jawa sebagaimana yang dikemukakan A. Mukti Ali dalam bukunya
Soesilo, Kejawen: Philosofi &
Perilaku (Jakarta: Yusula, 2004), meliputi:
1.
Bersifat
batin; orang kebatinan meremehkan segala penilaian duniawi yang seringkali
mementingkan kedudukan dan peran manusia yang sebenarnya karena kurang memahami
al-Qur’an mereka berpegang pada kitab-kita lain yang lebih memuaskan
kecenderungan mereka akan hidup ruhani.
2.
Bersifat
subjektif, yaitu mementingkan rasa atau pengalaman ruhani. Sifat ini timbul,
mungkin disebabkan oleh kekurangpahaman mereka terhadap ajaran agama, tidak
melihat keinginan mentaati ajaran agama maupun keimanan kepada wahyu yang
disampaikan lewat orang.
3.
Sifat
keaslian; untuk melawan pembaharuan, mereka mengutamakan gaya hidup dan
kesopanan Timur. Untuk melawan ibadah agama dalam bahasa, simbol, dan sikap
badan yang asing mereka mengutamakan ungkapan gaya asli karena ungkapan ini
dirasakan lebih mesra dan mengena.
4.
Memiliki
hubungan yang erat antara para warganya, dengan pertemuan berkala dan memiliki
pandangan hidup yang sama dan pemimpin yang kharismatik.
5.
Faktor
ahklak dan budi luhur. Mereka menyerukan kesusilaan yang asli, kesederhanaan
nenek moyang dengan semboyan “budi luhur
dan sepi ing pamrih” untuk memberantas demoralisasi, korupsi, dan lainnya.
Seperti pendapat A. Mukti
Ali tersebut, sosiolog dan ahli hukum adat Universitas Gajah Mada memberikan
pengertian kebatinan pada empat unsur penting, yaitu: budi pekerti luhur, amal
saleh, moral dan akhlak atau etika, atau filsafat tingkah-laku, mendalami
filsafat “Sangkan Paraning Dumadi”
atau metafisika, senang terhadap ilmu gaib atau kanuragan atau okultisme, dan manunggaling kawula gusti atau
mistikisme.
Memperhatikan sifat dan
unsur tersebut berarti kebatinan bukan agama. Kebatinan merupakan bentuk usaha
terus menerus sehingga manusia dapat dekat kepada Tuhan dengan laku batin yang
selalu diikuti dengan mengurangi kenikmatan duniawi, menahan nafsu, dan selalu ingat dengan sang
khalik.
Aliran kebatinan Jawa yang
mendasarkan keyakinan dan ajarannya dengan al-Qur’an dan Hadis, meskipun mereka
kurang menguasainya maka mereka masuk kategori beragama Islam atau Islam Jawi.
Terkait dengan mitos dan
perilaku kejawen, para santri di Jawa menciptakan simbol-simbol, sekalipun
tidak semua simbol mempunyai kadar kekayaan makna yang sama. Pembentukan simbol
berjalan terus, di masa lampau tradisi besar Isam yang rasional dan historis
ternyata tidak mampu membendung pembentukan mitologi Islam, termasuk di Jawa. Cerita
para wali misalnya, adalah lebih merupakan mitos daripada sejarah. Jin dalam
konsep Islam telah begitu diperkaya ketika menjadi jin dalam konteks masyarakat
Jawa. Muslim Jawa yang santri juga memiliki kepercayaan mistik dan berbau
klenik atau kejawen saat bersinggungan dengan kepercayaan lokal seperti
kekuatan magis keris, tombak, Nyi Roro Kidul, dan kepercayaan mistik lainnya.
Kecenderungan sikap mistik
tersebut disebabkan karena orang Jawa sebagian besar adalah para petani
pedesaan (rural peasant) yang memiliki ketergantungan dan kedekatan dengan alam
oleh masyarakat tradisional mengakibatkan munculnya anggapan bahwa perubahan
harus dapat diamati dengan jelas. Perubahan harus melalui siklus yang telah
mapan, di luar siklus itu perubahan bisa berakibat terjadinya ketidak selarasan (disharmoni)
dan ketidak sinambungan (diskontinuitas) kosmos, yakni kosmos yang
dicita-citakan (das sollen), bila kenyataan memang belum mencapai keadaan yang diinginkan
adalah perkara lain. Untuk itu diperlukan mitos sebagai upaya legitimasi
terhadap keadaan berkeseimbangan yang tidak berubah (status quo), dan mungkin sebagai
apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang dicita-citakan.
Mitos pada dasarnya merupakan
sikap pandang yang terbentuk secara empiris, terhadap berbagai fenomena
kehidupan dan alam. Mitos merupakan media yang mengakomodasikan harapan (das
sollen) dan kenyataan (das sein), sekaligus sebagai pengatur (regulator)
perilaku masyarakat dan anggotanya. Terkait dengan perubahan, orang Jawa bisa menerima
dengan perlahan, tanpa paksaan dan berbenturan dengan nilai-nilai paling
esensi.
Dengan penjiwaan terhadap
kearifan lokal atau tradisional tersebut, masyarakat Jawa dikenal sebagai
masyarakat yang tahan sengsara atau menderita, disaat mereka mendapatkan
perlakuan represif dan tidak adil dari orang-orang yang kuat, mereka diam dan
tidak mengadakan reaksi, mereka lebih senang diam daripada bereaksi yang
berbuntut pada disharmoni sosial. Salah satu semboyan mereka adalah wani ngalah, dhuwur wekasane.
Di samping itu, masyarakat
ini lebih mementingkan kehidupan sosial yang harmoni dan rukun, meskipun
terkadang hanya sebatas lahiriah. Mereka terlihat tunduk dan diam meski hati berkobar
dengan kemarahan yang membara.
Namun karena lama terpendam
tanpa disalurkan, kemarahan dan dendam itu bisa meledak sehingga mengejutkan
semua pihak. Apalagi ada pihak yang mampu mengeksploitasi kepercayaan ini.
Emosi masyarakat mudah untuk dibakar dan digerakkan sehingga dia mau untuk
melakukan pembangkangan dan pemberontakan terhadap penguasa yang dianggap
otoriter dan dzalim serta tindak kekerasan kepada orang yang tidak
disenanginya. Oleh karena itu, muncullah suatu hal yang paradoks, padahal masyarakat
Jawa sering dikenal dengan masyarakat yang ramah dan murah senyum, berperangi
halus, tetapi bertindak seakan tidak mengenal kemanusiaan dan peradaban.
Disini pesantren yang
berakulturasi dengan tradisi Jawa memiliki ciri mempertahankan nilai harmonitas yang harus
tetap menunjuk adanya jaminan kebebasan bagi setiap anggota sosial untuk
menyampaikan aspirasinya secara terbuka. Jika demikian maka harmonitas yang berkembang
di masyarakat adalah harmonitas yang didasari rasa keadilan, kemerdekaan,
pemerataan, dan hak-hak asasi manusia yang dihormati dengan baik.
Kalau panjenengan tau, mitos2 itu kadang berguna utk perkembangan Ilmu Pengetahuan
ReplyDeleteSeperti beberapa waktu terakhir, peneliti sedang melakukan riset patahan lembang yg bisa menghancurkan Bandung. Peneliti mencoba menggali cerita soal Sangkuriang untuk mencari info sebaran patahan ini.
.