-->

Memahami Norma Hukum di Indonesia

Memahami Norma Hukum di Indonesia
Share
Norma merupakan asal kata dari bahasa Inggris yang berasal dari istilah ‘norm’ dan istilah Yunaninya adalah ‘nomoi’ atau ‘nomos’ yang berarti hukum atau kaidah (qo’idah) dalam bahasa Arab.  Karena itu, judul buku Plato ‘Nomoi’ juga biasa diterjemahkan dengan kata “The Laws” dalam bahasa Inggris. Istilah kaidah atau qo’idah dalam bahasa Arab juga biasa dikonotasikan pengertiannya dengan hukum (singular) atau al-ahkam (plural). Karena itu, lima kaidah yang dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaidah wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam al-khamsah” atau kaidah yang lima.

Kaidah atau norma itu sebenarnya merupakan suatu pelembagaan atau institutionalisasi nilai-nilai yang diidealkan sebagai kebaikan, keluhuran, dan bahkan kemuliaan berhadapan dengan nilai-nilai yang dipandang buruk, tidak luhur, atau tidak mulia. Nilai-nilai baik dan buruk itu berisi keinginan dan harapan yang tercermin dalam perilaku setiap manusia. Nilai baik dan buruk itulah yang dilembagakan atau dikonkretisasikan dalam bentuk atau berupa norma atau kaidah perilaku dalam kehidupan bersama. Sebagaimana tercermin dalam pengertian tentang 'al-ahkam al-khamsah’ tersebut di atas, kaidah-kaidah perilaku itu dapat dibedakan dalam lima norma, yaitu wajib atau ‘obligattere’, haram atau ‘prohibere’, sunnah atau anjuran untuk melakukan, makruh atau anjuran untuk jangan melakukan, dan mubah atau kebolehan atau ‘permittere’.

Kelima norma tersebut, menurut Profesor Hazairin, dapat dibedakan dalam tiga jenis sistem norma, yaitu norma agama, norma hukum, dan norma kesusilaan. Norma agama mencakup kelima-lima kaidah itu sekaligus. Tetapi norma hukum hanya mencakup tiga kaidah saja, yaitu kaidah kewajiban (obligattere), kaidah larangan (haram), dan kaidah kebolehan atau (mubah). Sebaliknya, norma kesusilaan berisi tiga kaidah, yaitu kaidah kebolehan (mubah), kaidah anjuran untuk melakukan (sunnah), dan kaidah anjuran untuk tidak melakukan (makruh). Pengelompokan jenis kaidah yang lima (al-ahkam alkhamsah) menurut Profesor Hazairin tersebut dapat kita elaborasi lebih rinci dengan mengaitkannya dengan sistem norma yang dikembangkan dalam filsafat hukum dan politik yang selalu dinisbatkan berasal dari warisan tradisi Yunani kuno mengenai adanya tiga macam kaidah yang meliputi obligattere (kewajiban), permittere (kebolehan), dan prohibere (larangan) seperti diuraikan di atas.

Melihat tujuan hukum menurut para filosof hukum mencakup tujuan keadilan, tujuan kepastian, dan tujuan kemanfaatan. Karena itu, norma hukum harus berisi keadilan yang pasti dan kepastian yang adil, yang secara keseluruhan memberikan manfaat dan solusi bagi warga masyarakat dalam menghadapi dinamika kehidupan bersama. Oleh karena itu, kaidah hukum di samping berguna dan berkeadilan, juga harus bersifat pasti, formal, jelas, dan tidak boleh abu-abu, dan semua itu hanya ada pada kaidah wajib, haram, dan boleh. Menurut ajaran liberal, pada asal mulanya, semua hal merupakan kebolehan, kecuali oleh hukum tegas dinyatakan sebagai larangan atau kewajiban. Jika larangan dilanggar dan kewajiban tidak dijalankan sebagaimana mestinya, norma hukum menyediakan sistem sanksi yang tegas.

Namun, dalam implementasinya, sistem norma hukum itu sendiri memang tidak selalu diikuti oleh sistem sanksi. Itu sebabnya kita mendapati banyak sekali undang-undang yang tidak menentukan sistem sanksi sama sekali. Misalnya, undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, seperti UU tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di dalamnya tidak ditentukan ada sanksi karena sifat norma yang dituangkan di dalam undang-undang ini hanya bersifat mengatur dan membimbing pelaksanaan pemerintahan di ibukota Jakarta. Karena itu, dapat dikatakan bahwa substansi norma hukum, di samping ada yang bersifat memaksa (imperative), ada pula norma hukum yang hanya bersifat mengatur dan membimbing saja (directive). Dalam perumusan norma yang bersifat memaksa selalu ada sistem sanksi, baik berupa sanksi pidana, sanksi perdata, atau pun sanksi administrasi, dan bentuk-bentuk lainnya. Tetapi, dalam perumusan norma yang bersifat mengatur dan membimbing, kadang-kadang tidak disediakan ancaman sanksi sama sekali. Namun, hal itu tidak mengurangi makna normatif hukum yang berisi tiga jenis kaidah, yaitu wajib (obligattere), boleh (permittere), dan haram (prohibere).

Oleh karena itu, doktrin tentang norma hukum yang hanya berisi tiga macam kaidah kewajiban (obligattere), kebolehan (permittere), dan larangan (prohibere) patut dipertanyakan kembali. Ketiga sistem kaidah ini bersifat khas terkait dengan konsepsi mengenai bidang hukum pidana dan bidang hukum perdata. Kedua bidang hukum pidana dan perdata inilah yang menjadi cikal bakal mula-mula berkembangnya sistem hukum dalam sejarah umat manusia. Namun, dalam perkembangan sesudah abad ke-17, muncul kesadaran baru mengenai pentingnya bidang hukum tata usaha negara (hukum administrasi negara) dan bahkan hukum tata negara. Bahkan pada abad ke-19 muncul doktrin baru mengenai ide ‘rechtsstaat’ atau negara hukum yang dikaitkan dengan gagasan pelembagaan peradilan administrasi negara (administratieve rechtspraak) untuk maksud menyediakan mekanisme upaya hukum bagi warga guna menggugat para pejabat yang membuat keputusan-keputusan yang merugikan warga negara. Dengan berkembangnya sistem hukum administrasi negara dan hukum tata negara
dalam arti luas, pengertian mengenai keharusan mutlak adanya sanksi dalam perumusan norma
hukum menjadi berubah.

Karena itu, pendapat Profesor Dr. Hazairin sebagaimana dikemukakan di atas mengenai doktrin ‘al-ahkam al-khamsah’ itu perlu kita evalusasi kembali. Bahkan doktrin mengenai tiga kaidah obligattere (kewajiban), permittere (kebolehan), dan prohibere (larangan) yang kita warisi dari filsafat Yunani dan diterima luas dalam pemikiran filsafat hukum kontemporer dapat kita diskusikan kembali. Perumusan norma hukum sebagaimana tercermin dalam naskah-naskah Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, dan berbagai peraturan perundang-undangan sebagai dokumen hukum yang bersifat mengikat untuk umum tidak selalu berisi sistem sanksi yang bersifat memaksa. Ketegasan sifat memaksa yang terdapat dalam kaidah kewajiban dan kaidah larangan tidak selalu diikuti dengan sanksi yang konkrit. Sementara itu, kaidah kebolehan (permittere) yang terdapat dalam norma hukum sekali pun, dalam implementasinya, juga bersifat sangat dinamis, sehingga tidak dapat dipastikan secara mutlak tentang kebolehannya. Sesuatu yang boleh dilakukan, jika didorong oleh motif yang buruk (tekwade trouw) dapat berubah menjadi sesuatu yang jahat. Karena itu, dalam norma hukum juga dapat termuat adanya  nilai-nilai kaidah anjuran, seperti dalam sistem norma agama atau pun norma etika.

Dalam rumusan norma hukum dalam berbagai naskah peraturan perundang-undangan di zaman sekarang kita sering menemukan unsur-unsur nilai kaidah anjuran positif atau pun anjuran negatif itu. Dalam perkembangan dewasa ini, substansi sifat kaidah anjuran ini semakin banyak ditemukan dalam berbagai rumusan undang-undang, terutama dalam perumusan-perumusan norma yang menyangkut prinsip-prinsip mengarahkan (directive principles) atau prinsip-prinsip yang membimbing (guiding principles) yang bersifat abstrak. Misalnya pasal-pasal yang memuat asas dan prinsip-prinsip, semuanya tidak bersifat konkrit, sehingga tidak menentukan dengan pasti apakah berisi kaidah wajib atau larangan atau kebolehan. Contoh lain dapat pula kita temukan dalam Konstitusi Irlandia tahun 1937 yang kemudian dicontoh oleh Konstitusi India pada tahun 1946, yang secara khusus memuat ketentuan mengenai prinsip-prinsip haluan kebijakan negara (directive principles of state policy). Isinya bukanlah kewajiban, tetapi juga bukan larangan atau pun kebolehan.

Gagasan penyusunan prinsip-prinsip kebijakan Directive Principles of State Policy atau DPSP ini oleh kaum nasionalis Irlandia dalam naskah Konstitusi tahun 1937 dapat ditelusuri dari pengaruh Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 1776 (Declaration of Independence by the American Colonies) dan Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Hak-Hak Warga (Declaration of the Rights of Men and of Citizens) Revolusi Perancis 1789. Meskipun prinsip-prinsip penuntun dalam konstitusi tidak bersifat ‘enforceable’ di pengadilan, tetapi prinsip-prinsip konstitusional yang terkandung di dalamnya dipahami sebagai haluan negara yang menjadi kewajiban negara untuk mewujudkannya dengan sebaik baiknya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.

Dapat dikatakan bahwa di dalam rumusan-rumusan haluan negara (state policies) seperti tersebut terkandung unsur-unsur yang memang seharusnya diikuti, tetapi bukan sebagai kewajiban hukum yang konkrit dengan disertai oleh ancaman sanksi yang bersifat memaksa dan dapat ditegakkan di pengadilan (enforceable). Keharusan-keharusan tersebut dapat kita pandang sebagai anjuran-anjuran positif, yaitu anjuran agar prinsip-prinsip dimaksud dijadikan sebagai pegangan yang diwujudkan dalam praktik. Adanya anjuran positif itu dari sudut pandang yang berbeda, dapat pula dipandang sebagai anjuran negatif, sehingga oleh karena itu, dalam rumusan-rumusan norma hukum dewasa ini terkandung pula unsur-unsur kaidah anjuran seperti dalam norma agama dan norma etika sebagaimana diuraikan di atas.

Karena itu, anjuran-anjuran konstitusional tersebut dapat kita namakan sebagai sebagai etika konstitusi atau constitutional ethics yang dapat melengkapi pengertian konvensional yang biasa kita pahami selama ini tentang hukum konstitusi constitutional law atau hukum konstitusi. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar modern dapat kita pahami secara lebih luas, bukan saja sebagai sumber hukum konstitusi atau constitutional law, tetapi juga merupakan sumber etika konstitusi atau constitutional ethics. Sebagai suatu pengertian baru tentu belum banyak sarjana yang memahaminya. Karena itu, saya sependapat dengan pandangan ahli konstitusi Amerika Serikat Keith E. Whittington yang merekomendasikan pentingnya mengembangkan teori tentang constitutional ethics ini

Di samping itu, dalam perkembangan dewasa ini sistem norma etika juga mengalami perubahan yang sangat mendasar. Seperti pernah dialami oleh sistem norma hukum mulai abad ke 10 dalam sejarah Islam atau pun mulai sekitar abad ke-17 di Eropah dimana sistem norma hukum mengalami proses positivisasi, sistem norma etika dewasa ini mengalami proses positivisasi yang serupa. Proses positivisasi hukum terjadi karena sistem norma hukum pada saatnya memerlukan proses pelembagaan yang lebih konkrit melalui proses penuangan secara tertulis disertai dengan pelembagaan infra-struktur penegaknya. Karena itu, dalam sejarah Islam muncul pengertian-pengertian mengenai ‘qanun’ (perundang-undangan) sebagai pelengkap terhadap sistem norma hukum yang sebelumnya hanya tertuang dalam bentuk paham-paham fiqh yang bersifat ilmiah.

Sesudah pusat peradaban modern berpindah dari dunia Islam, pemikiran-pemikiran hukum terus berkembang di Eropa, dimulai dengan pelembagaan kitab-kitab hukum seperti Kode Sipil Napoleon, Kode Sipil Jerman, dan lain sebagainya. Kitab-kitab hukum tersebut diberlakukan secara resmi oleh otoritas negara dan didukung pula dengan sistem penegakan yang pasti melalui proses peradilan yang terlembagakan secara tersendiri dalam bentuk pengadilan-pengadilan yang bersifat otonom. Sekarang proses positivisasi yang sama sedang terjadi di bidang etika. Karena itu, mulai muncul pelbagai rumusan perundang-undangan yang berisi sebagian dari sistem norma etika itu. Misalnya, prinsip-prinsip kode etika dimuat dalam undang-undang untuk kemudian dirumuskan menjadi materi Kode Etik yang akan ditegakkan oleh lembaga penegak kode etik.

Oleh karena itu, dalam perkembangan dewasa ini, doktrin tentang al-ahkam alkhamsah sebagaimana dimaksud di atas, semuanya dapat termuat dalam perumusan norma hukum modern. Artinya, perumusan norma hukum dapat saja memuat semua kaidah yang lima tersebut, yaitu kaidah wajib (kewajiban) atau obligattere, kaidah larangan (haram) atau prohibere, kaidah kebolehan (mubah) atau permittere, kaidah anjuran positif (sunnah), maupun kaidah anjuran negatif (makruh).

Hal ini terjadi karena: pertama, karena perkembangan yang terjadi di bidang hukum administrasi dengan sistem sanksinya yang tersendiri atau bahkan tidak diharuskan dilengkapi dengan sistem sanksi sama sekali, karena sifat normanya yang hanya mengatur atau memberikan arah (directive and guiding principles). Kedua, karena perkembangan yang terjadi di bidang etika yang mulai semakin banyak dan luas diatur oleh atau dengan peraturan perundang-undang. Karena itu, perumusan norma hukum pun harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat norma etika yang diatur dan dijadikan sebagai objek pengaturan oleh undang-undang.

0 Response

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel