Memahami Norma Hukum di Indonesia
Tuesday, 17 January 2017
Comment
Norma merupakan asal kata dari bahasa
Inggris yang berasal dari istilah ‘norm’ dan
istilah Yunaninya adalah ‘nomoi’ atau ‘nomos’ yang berarti hukum atau kaidah (qo’idah) dalam bahasa Arab. Karena itu,
judul buku Plato ‘Nomoi’ juga biasa diterjemahkan dengan kata “The Laws” dalam bahasa Inggris. Istilah kaidah
atau qo’idah dalam bahasa Arab juga biasa
dikonotasikan pengertiannya dengan hukum (singular) atau al-ahkam (plural). Karena itu, lima kaidah yang
dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaidah wajib, haram, sunnah, makruh,
dan mubah biasa juga disebut sebagai “al-ahkam
al-khamsah” atau kaidah yang
lima.
Kaidah atau norma itu sebenarnya merupakan
suatu pelembagaan atau institutionalisasi nilai-nilai yang diidealkan sebagai
kebaikan, keluhuran, dan bahkan kemuliaan berhadapan dengan nilai-nilai yang
dipandang buruk, tidak luhur, atau tidak mulia. Nilai-nilai baik dan buruk itu
berisi keinginan dan harapan yang tercermin dalam perilaku setiap manusia.
Nilai baik dan buruk itulah yang dilembagakan atau dikonkretisasikan dalam
bentuk atau berupa norma atau kaidah perilaku dalam kehidupan bersama.
Sebagaimana tercermin dalam pengertian tentang 'al-ahkam al-khamsah’ tersebut di atas, kaidah-kaidah
perilaku itu dapat dibedakan dalam lima norma, yaitu wajib atau ‘obligattere’, haram atau ‘prohibere’, sunnah atau
anjuran untuk melakukan, makruh atau anjuran untuk jangan melakukan, dan mubah
atau kebolehan atau ‘permittere’.
Kelima norma tersebut, menurut Profesor
Hazairin, dapat dibedakan dalam tiga jenis sistem norma, yaitu norma agama,
norma hukum, dan norma kesusilaan. Norma agama mencakup kelima-lima kaidah itu sekaligus.
Tetapi norma hukum hanya mencakup tiga kaidah saja, yaitu kaidah kewajiban (obligattere), kaidah
larangan (haram), dan kaidah kebolehan atau (mubah). Sebaliknya, norma
kesusilaan berisi tiga kaidah, yaitu kaidah kebolehan (mubah), kaidah anjuran
untuk melakukan (sunnah), dan kaidah anjuran untuk tidak melakukan (makruh).
Pengelompokan jenis kaidah yang lima (al-ahkam alkhamsah) menurut Profesor
Hazairin tersebut dapat kita elaborasi lebih rinci dengan mengaitkannya dengan
sistem norma yang dikembangkan dalam filsafat hukum dan politik yang selalu
dinisbatkan berasal dari warisan tradisi Yunani kuno mengenai adanya tiga macam
kaidah yang meliputi obligattere (kewajiban), permittere (kebolehan), dan prohibere (larangan)
seperti diuraikan di atas.
Melihat tujuan hukum menurut para filosof
hukum mencakup tujuan keadilan, tujuan kepastian, dan tujuan kemanfaatan.
Karena itu, norma hukum harus berisi keadilan yang pasti dan kepastian yang
adil, yang secara keseluruhan memberikan manfaat dan solusi bagi warga
masyarakat dalam menghadapi dinamika kehidupan bersama. Oleh karena itu, kaidah
hukum di samping berguna dan berkeadilan, juga harus bersifat pasti, formal,
jelas, dan tidak boleh abu-abu, dan semua itu hanya ada pada kaidah wajib,
haram, dan boleh. Menurut ajaran liberal, pada asal mulanya, semua hal
merupakan kebolehan, kecuali oleh hukum tegas dinyatakan sebagai larangan atau
kewajiban. Jika larangan dilanggar dan kewajiban tidak dijalankan sebagaimana
mestinya, norma hukum menyediakan sistem sanksi yang tegas.
Namun, dalam implementasinya, sistem norma
hukum itu sendiri memang tidak selalu diikuti oleh sistem sanksi. Itu sebabnya
kita mendapati banyak sekali undang-undang yang tidak menentukan sistem sanksi
sama sekali. Misalnya, undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan
daerah, seperti UU tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di dalamnya tidak
ditentukan ada sanksi karena sifat norma yang dituangkan di dalam undang-undang
ini hanya bersifat mengatur dan membimbing pelaksanaan pemerintahan di ibukota
Jakarta. Karena itu, dapat dikatakan bahwa substansi norma hukum, di samping
ada yang bersifat memaksa (imperative), ada pula norma hukum yang
hanya bersifat mengatur dan membimbing saja (directive).
Dalam perumusan norma yang bersifat memaksa selalu ada sistem sanksi, baik
berupa sanksi pidana, sanksi perdata, atau pun sanksi administrasi, dan
bentuk-bentuk lainnya. Tetapi, dalam perumusan norma yang bersifat mengatur dan
membimbing, kadang-kadang tidak disediakan ancaman sanksi sama sekali. Namun,
hal itu tidak mengurangi makna normatif hukum yang berisi tiga jenis kaidah,
yaitu wajib (obligattere),
boleh (permittere), dan
haram (prohibere).
Oleh karena itu, doktrin tentang norma
hukum yang hanya berisi tiga macam kaidah kewajiban (obligattere), kebolehan (permittere), dan larangan (prohibere) patut dipertanyakan kembali. Ketiga
sistem kaidah ini bersifat khas terkait dengan konsepsi mengenai bidang hukum
pidana dan bidang hukum perdata. Kedua bidang hukum pidana dan perdata inilah
yang menjadi cikal bakal mula-mula berkembangnya sistem hukum dalam sejarah
umat manusia. Namun, dalam perkembangan sesudah abad ke-17, muncul kesadaran
baru mengenai pentingnya bidang hukum tata usaha negara (hukum administrasi
negara) dan bahkan hukum tata negara. Bahkan pada abad ke-19 muncul doktrin
baru mengenai ide ‘rechtsstaat’ atau negara hukum yang dikaitkan
dengan gagasan pelembagaan peradilan administrasi negara (administratieve rechtspraak) untuk maksud menyediakan mekanisme
upaya hukum bagi warga guna menggugat para pejabat yang membuat
keputusan-keputusan yang merugikan warga negara. Dengan berkembangnya sistem
hukum administrasi negara dan hukum tata negara
dalam arti luas, pengertian mengenai
keharusan mutlak adanya sanksi dalam perumusan norma
hukum menjadi berubah.
Karena itu, pendapat Profesor Dr. Hazairin
sebagaimana dikemukakan di atas mengenai doktrin ‘al-ahkam al-khamsah’ itu perlu kita evalusasi kembali.
Bahkan doktrin mengenai tiga kaidah obligattere (kewajiban), permittere (kebolehan),
dan prohibere (larangan) yang kita warisi dari filsafat Yunani
dan diterima luas dalam pemikiran filsafat hukum kontemporer dapat kita
diskusikan kembali. Perumusan norma hukum sebagaimana tercermin dalam
naskah-naskah Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, dan berbagai peraturan
perundang-undangan sebagai dokumen hukum yang bersifat mengikat untuk umum
tidak selalu berisi sistem sanksi yang bersifat memaksa. Ketegasan sifat
memaksa yang terdapat dalam kaidah kewajiban dan kaidah larangan tidak selalu
diikuti dengan sanksi yang konkrit. Sementara itu, kaidah kebolehan (permittere) yang terdapat dalam norma hukum sekali
pun, dalam implementasinya, juga bersifat sangat dinamis, sehingga tidak dapat
dipastikan secara mutlak tentang kebolehannya. Sesuatu yang boleh dilakukan,
jika didorong oleh motif yang buruk (tekwade
trouw) dapat berubah menjadi
sesuatu yang jahat. Karena itu, dalam norma hukum juga dapat termuat adanya
nilai-nilai kaidah anjuran, seperti dalam sistem norma agama atau pun
norma etika.
Dalam rumusan norma hukum dalam berbagai
naskah peraturan perundang-undangan di zaman sekarang kita sering menemukan
unsur-unsur nilai kaidah anjuran positif atau pun anjuran negatif itu. Dalam
perkembangan dewasa ini, substansi sifat kaidah anjuran ini semakin banyak
ditemukan dalam berbagai rumusan undang-undang, terutama dalam
perumusan-perumusan norma yang menyangkut prinsip-prinsip mengarahkan (directive principles) atau prinsip-prinsip yang membimbing (guiding principles) yang bersifat abstrak. Misalnya
pasal-pasal yang memuat asas dan prinsip-prinsip, semuanya tidak bersifat
konkrit, sehingga tidak menentukan dengan pasti apakah berisi kaidah wajib atau
larangan atau kebolehan. Contoh lain dapat pula kita temukan dalam Konstitusi
Irlandia tahun 1937 yang kemudian dicontoh oleh Konstitusi India pada tahun
1946, yang secara khusus memuat ketentuan mengenai prinsip-prinsip haluan
kebijakan negara (directive
principles of state policy). Isinya bukanlah kewajiban, tetapi juga bukan
larangan atau pun kebolehan.
Gagasan penyusunan prinsip-prinsip
kebijakan Directive Principles
of State Policy atau DPSP ini oleh kaum nasionalis Irlandia dalam
naskah Konstitusi tahun 1937 dapat ditelusuri dari pengaruh Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat 1776 (Declaration
of Independence by the American Colonies) dan Deklarasi Hak-Hak Manusia
dan Hak-Hak Warga (Declaration
of the Rights of Men and of Citizens) Revolusi Perancis 1789. Meskipun
prinsip-prinsip penuntun dalam konstitusi tidak bersifat ‘enforceable’ di pengadilan, tetapi prinsip-prinsip
konstitusional yang terkandung di dalamnya dipahami sebagai haluan negara yang
menjadi kewajiban negara untuk mewujudkannya dengan sebaik baiknya dalam
praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.
Dapat dikatakan bahwa di dalam
rumusan-rumusan haluan negara (state
policies) seperti tersebut
terkandung unsur-unsur yang memang seharusnya diikuti, tetapi bukan sebagai
kewajiban hukum yang konkrit dengan disertai oleh ancaman sanksi yang bersifat
memaksa dan dapat ditegakkan di pengadilan (enforceable).
Keharusan-keharusan tersebut dapat kita pandang sebagai anjuran-anjuran
positif, yaitu anjuran agar prinsip-prinsip dimaksud dijadikan sebagai pegangan
yang diwujudkan dalam praktik. Adanya anjuran positif itu dari sudut pandang
yang berbeda, dapat pula dipandang sebagai anjuran negatif, sehingga oleh karena
itu, dalam rumusan-rumusan norma hukum dewasa ini terkandung pula unsur-unsur kaidah
anjuran seperti dalam norma agama dan norma etika sebagaimana diuraikan di
atas.
Karena itu, anjuran-anjuran konstitusional
tersebut dapat kita namakan sebagai sebagai etika konstitusi atau constitutional ethics yang
dapat melengkapi pengertian konvensional yang biasa kita pahami selama ini
tentang hukum konstitusi constitutional
law atau hukum konstitusi. Dengan demikian, Undang-Undang Dasar modern
dapat kita pahami secara lebih luas, bukan saja sebagai sumber hukum konstitusi
atau constitutional law,
tetapi juga merupakan sumber etika konstitusi atau constitutional ethics. Sebagai
suatu pengertian baru tentu belum banyak sarjana yang memahaminya. Karena itu,
saya sependapat dengan pandangan ahli konstitusi Amerika Serikat Keith E.
Whittington yang merekomendasikan pentingnya mengembangkan teori tentang constitutional ethics ini
Di samping itu, dalam perkembangan dewasa
ini sistem norma etika juga mengalami perubahan yang sangat mendasar. Seperti
pernah dialami oleh sistem norma hukum mulai abad ke 10 dalam sejarah Islam
atau pun mulai sekitar abad ke-17 di Eropah dimana sistem norma hukum mengalami
proses positivisasi, sistem norma etika dewasa ini mengalami proses positivisasi
yang serupa. Proses positivisasi hukum terjadi karena sistem norma hukum pada
saatnya memerlukan proses pelembagaan yang lebih konkrit melalui proses
penuangan secara tertulis disertai dengan pelembagaan infra-struktur
penegaknya. Karena itu, dalam sejarah Islam muncul pengertian-pengertian
mengenai ‘qanun’ (perundang-undangan) sebagai pelengkap terhadap sistem norma
hukum yang sebelumnya hanya tertuang dalam bentuk paham-paham fiqh yang
bersifat ilmiah.
Sesudah pusat peradaban modern berpindah
dari dunia Islam, pemikiran-pemikiran hukum terus berkembang di Eropa, dimulai
dengan pelembagaan kitab-kitab hukum seperti Kode Sipil Napoleon, Kode Sipil
Jerman, dan lain sebagainya. Kitab-kitab hukum tersebut diberlakukan secara
resmi oleh otoritas negara dan didukung pula dengan sistem penegakan yang pasti
melalui proses peradilan yang terlembagakan secara tersendiri dalam bentuk
pengadilan-pengadilan yang bersifat otonom. Sekarang proses positivisasi yang
sama sedang terjadi di bidang etika. Karena itu, mulai muncul pelbagai rumusan
perundang-undangan yang berisi sebagian dari sistem norma etika itu. Misalnya,
prinsip-prinsip kode etika dimuat dalam undang-undang untuk kemudian dirumuskan
menjadi materi Kode Etik yang akan ditegakkan oleh lembaga penegak kode etik.
Oleh karena itu, dalam perkembangan dewasa
ini, doktrin tentang al-ahkam
alkhamsah sebagaimana
dimaksud di atas, semuanya dapat termuat dalam perumusan norma hukum modern.
Artinya, perumusan norma hukum dapat saja memuat semua kaidah yang lima
tersebut, yaitu kaidah wajib (kewajiban) atau obligattere,
kaidah larangan (haram) atau prohibere, kaidah
kebolehan (mubah) atau permittere, kaidah
anjuran positif (sunnah), maupun kaidah anjuran negatif (makruh).
Hal ini terjadi karena: pertama,
karena perkembangan yang terjadi di bidang hukum administrasi dengan sistem
sanksinya yang tersendiri atau bahkan tidak diharuskan dilengkapi dengan sistem
sanksi sama sekali, karena sifat normanya yang hanya mengatur atau memberikan
arah (directive and guiding
principles). Kedua, karena perkembangan yang terjadi di bidang etika yang
mulai semakin banyak dan luas diatur oleh atau dengan peraturan
perundang-undang. Karena itu, perumusan norma hukum pun harus menyesuaikan diri
dengan sifat-sifat norma etika yang diatur dan dijadikan sebagai objek
pengaturan oleh undang-undang.
0 Response
Post a Comment