-->

Memahami Kembali Relasi Antar Norma Hukum Dari Norma Etika Dan Norma Agama

Memahami Kembali Relasi Antar Norma Hukum Dari Norma Etika Dan Norma Agama
Share
Dalam sistem penyelenggaraan kekuasaan negara, kedudukan hukum tidak dapat ditawar-tawar harus ditempatkan dalam posisi sebagai panglima. Norma agama dan norma etika bahkan dipahami tidak lah lebih tinggi kedudukannya daripada hukum. Agama dan etika harus tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang dilambangkan dalam posisi tertinggi pada konstitusi yang disebut sebagai ‘the highest law”. Karena itu, hukum agama, kaidah-kaidah etika yang dianut oleh warga masyarakat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, karena konstitusi negara merupakan hukum yang paling tinggi kedudukannya dalam suatu negara. Cara pandang demikian inilah pada umumnya dianut oleh para sarjana hukum dari dulu sampai sekarang. Di Indonesia sendiri dewasa ini dapat dikatakan lebih dari sarjana hukum terbiasa dengan cara berpikir demikian, yaitu memperlakukan norma hukum sebagai kaidah yang paling tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Daya cengkeram paham positivisme hukum sudah sangat kuat pengaruhnya di dunia pendidikan hukum kita sejak dari zaman Hindia Belanda.

Paham positivistik bahkan mempengaruhi cara para sarjana hukum dalam memahami hukum yang seolah hanya dilihat sebagai teks-teks tanpa jiwa. Hukum biasa dipahami hanya dengan pendekatan grammatical reading dengan memperdebatkan titik dan koma. Konstitusi negara juga biasa dipahami dengan pendekatan tekstual tanpa mempertimbangkan pentingnya pendekatan moral and philosophical reading. Tanpa disadari, mahkamah konstitusi juga dapat berkembang menjadi sekedar mahkamah undang-undang dasar, jikalau para hakimnya terlalu kaku dalam memahami ide dan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi dengan pendekatan posivistik yang mengutamakan teks tanpa konteks. Hukum dan konstitusi dipahami sebagai sarana yang membatasi dan bahkan menghambat kebebasan, bukan sarana yang membebaskan dan memerdekakan manusia Indonesia dari penjajahan. Orang bekerja karena hukum, karena peraturan, rule-driven, bukan karena misi dan kemuliaan tujuan yang hendak dicapai dan diwujudkan (mission-driven). Jika peraturan tidak mengatur dan memberikan perintah, maka orang cenderung tidak bekerja.

Sebaliknya, jikalau peraturan menentukan, meskipun ternyata tujuan yang hendak dicapai sudah terwujud di depan mata, maka kegiatan tetap harus dilakukan semata-mata karena peraturan menentukan demikian. Akibatnya, hidup menjadi kaku. Manusia berubah menjadi robot tanpa jiwa. Orang bekerja atau tidak bekerja semata-mata karena aturan dan karena tersedia tidaknya anggaran yang sudah ditentukan menurut peraturan. Hukum berubah fungsinya bukan lagi sebagai pendorong kemajuan tetapi malah menjadi penghambat kemajuan. Hukum tidak lagi membebaskan manusia dari penjajahan dan ketidakadilan, tetapi berubah menjadi mengungkung hidup kita menjadi tidak merdeka untuk berkreatifitas untuk membangun peradaban. Padahal UUD 1945 yang disusun dan kemudian disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 justru diniatkan untuk menjadi konstitusi pembebasan bangsa dari penjajahan. Bahkan, dalam kalimat atau alinea pertama pembukaan undang-undang dasar yang berasal dari naskah Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (sebelum Indonesia merdeka) dinyatakan “Bahwa sesungguhnya, kemerdekaan itu ialah hak hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.

Artinya, UUD 1945 tidak lain merupakan konstitusi pembebasan (liberating constitution), bukan konstitusi yang sekedar membatasi kekuasaan, apalagi yang hanya dipahami dalam perspektif yang sangat formalistik, kaku, tekstualis, dan positivistis yang tanpa roh etika keadilan dan etika konstitusi (constitutional ethics). Pancasila merupakan sumber hukum dan sekaligus sumber etika. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat kandungan norma hukum konstitusi (constitutional law) dan sekaligus norma etika konstitusi (constitutional ethics) secara sekaligus.
Masalahnya sekarang, di masa kini, bagaimanakah sebaiknya kita membangun dan memahami pola hubungan atau relasi yang ideal antara sistem norma hukum, norma, etika, dan norma agama itu? Apakah cara pandang para sarjana hukum yang menempatkan hukum pada posisi tertinggi masih dapat dipertahankan? Lihatlah bagaimana para ulama, pendeta dan rohaniawan lainnya memandang etika dan agama pada posisi yang lebih tinggi daripada hukum. Hukum negara bagi para tokoh-tokoh agama justru tidak boleh bertentangan dengan hukumhukum agama, sehingga karena itu norma agamalah yang dianggap paling tinggi, bukan norma hukum.

Jika kedua pandangan ini dipertentangkan, secara mudah orang dapat berkesimpulan bahwa kedua cara pandang tersebut sama-sama bias. Para sarjana hukum tentu saja bias dan berusaha untuk memelihara kesombongannya sendiri dengan hanya mengakui hukum sebagai panglima kehidupan, bukan agama ataupun etika. Doktrin hukum yang diyakini benar selama selama ini adalah prinsip “the rule of law, not of man” sebagai ciri utama negara hukum atau rechtsstaat. Sebaliknya para rohaniawan atau agamawan sudah tentu akan menempatkan kaidah agama dalam posisi tertinggi, bukan hukum.

Perdebatan mengenai kaidah mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah itu terjadi karena berkembang-luasnya upaya untuk memisahkan secara kaku sistem norma hukum itu sendiri dari sistem norma agama dan etika. Namun dalam perkembangan di zaman sekarang, muncul praktik-praktik baru yang justru memberikan gambaran yang berbeda mengenai pola hubungan atau relasi ideal di antara ketiga sistem norma tersebut, terutama antara sistem norma hukum dan sistem norma etika. Di zaman sekarang, banyak bukti menunjukkan bahwa kedua sistem norma ini tidak dapat lagi dipahami terpisah sama sekali satu dengan yang lain. Sistem hukum yang selama ini dipercaya dan dijadikan tumpuan harapan yang dinilai paling handal untuk menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terbukti makin memperlihatkan keterbatasannya. Pidana mati yang semula dianggap sebagai solusi semakin dinilai tidak manusiawi, sedangkan pidana penjara yang dijadikan andalan semakin tidak efektif dalam mencapai tujuan mulianya untuk resosialisasi. Dimana-mana penjara penuh dan jumlah serta jenis kejahatan terus berkembang biak semakin tidak teratasi.

Karena itu, pertama, muncul pemikiran baru bahwa hubungan antara sistem norma hukum dan etika tidak boleh dipisahkan tetapi haruslah bersifat sinergis, saling menopang, dan saling melengkapi. Jika keduanya dipisahkan secara ekstrim seperti yang terjadi selama ini sebagai akibatnya kakunya cara pandang positivisme dalam sejarah, keduanya dan bahkan ketiga sistem norma hukum, etika, dan agama akan berjalan sendiri-sendiri dengan segala kelemahan dan kelebihannya masing-masing yang sudah terbukti bersifat terbatas.

Kompleksitas kehidupan umat manusia di zaman modern dan post modern terbukti sangat rumit dan tidak dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri hanya oleh sistem norma hukum, sistem etika, atau bahkan dalam arti yang sempit hanya sistem norma ‘agama’ saja. Dalam kenyataan praktiknya, ketiga sistem norma itu sama-sama berurusan dengan kualitas prilaku manusia yang dianggap ideal, sehingga oleh karena pemisahan formalistik dan positivistik yang terjadi selama ini, ketiganya sering saling berbenturan atau bahkan sengaja dibentur-benturkan satu sama lain untuk maksud yang bersifat tidak seimbang dalam memberikan perlakuan kepada ketiganya dengan lebih mengutamakan sistem norma hukum daripada yang lain.

Sekarang, baru disadari bahwa ternyata sistem norma hukum tidak dapat lagi diharapkan sebagai andalan satu-satunya, sehingga oleh sebab itu harus mulai disinergikan secara seimbang dengan sistem norma etika dan bahkan sisrtem norma agama. Ketiganya tetap harus dibedakan dan tidak boleh dicampuradukkan pengertian-pengertiannya. Tetapi ketiganya jangan dipisahkan atau apalagi dipertentangkan.

Kadang-kadang memang kita temukan kasus dimana penilaian kita tentang keadilan saling berbenturan satu dengan yang lain. Misalnya, kita dihadapkan pada pilihan antara mengutamakan keadilan hukum (gerechttigkei, legal justice) atau kepastian hukum (rechtssicherheit, rechtszekerheid, legal certainty and predictability). Dalam keadaan yang demikian keputusan harus diambil dengan mempertimbangkan faktor tujuan ketiga, yaitu kemanfaatan hukum (zweckbigkeit, legal purpose atau legal utility) untuk memberikan solusi yang berguna bagi kehidupan bersama sesuai dengan doktrin tentang tiga tujuan hukum yang dikenal luas dalam filsafat hukum.

Jika dalam satu kasus ternyata norma hukum bertentangan dengan norma etika atau norma agama, maka solusinya adalah pada kemuliaan tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pasti ada pilihan yang dapat dinilai paling tepat dalam semua situasi yang sulit untuk mengambil keputusan terbaik. Namun, konflik nilai atau pertentangan-pertentangan normatif seperti ini haruslah dilihat dan dipecahkan secara kasus demi kasus, tidak boleh dijadikan maxim yang diberlakukan umum. Konflik-konflik antar norma itu juga bukanlah sesuatu yang harus diidealkan tetapi harus diselesaikan secara setempat dan sewaktu-waktu dengan pendekatan kasus per kasus. Kadang-kadang hukum yang harus diutamakan, tetapi kadang-kadang etika yang mesti dikedepankan.

Perbedaan perlakuan dalam kasus demi kasus kadang-kadang dapat dipolakan secara umum, misalnya, untuk kasus-kasus yang terkait di bidang keperdataan yang seringkali harus lebih diutamakan adalah pendekatan formalistik. Demi kepentingan nilai-nilai keadilan yang lebih luas, sistem norma hukum dengan asas kepastian harus lebih diutamakan daripada norma etika dan prinsip keadilan yang lebih sempit. Karena itu, dalam proses pembuktian di pengadilan, biasa diterima luas adanya doktrin tentang pembuktian formil versus pembuktian materiel. Di bidang hukum pidana proses pembuktiannya harus bersifat materiel, tetapi dibidang hukum perdata harus bersifat formil. Dalam urusan kepemiluan, perkara-perkara yang terkait membutuhkan kepastian jadwal waktu, sehingga oleh sebab itu, peradilan dalam urusan kepemiliuan (electoral justice) harus dipandang sebagai salah satu bentuk atau jenis peradilan cepat (speedy trial) yang prosesnya cukup dilakukan dengan pendekatan kepastian hukum yang adil dan dengan asas pembuktian formil saja. Meskipun secara teoritis, asas pembuktian materiel lebih dimuliakan tetapi pengadilan tidak perlu mempersulit diri sendiri dengan sok-sok melakukan pembuktian materiel dengan akibat beban perkara tidak tertangani dengan baik dan kualitas putusan menjadi terbengkalai yang pada gilirannya justru membebani negara sebagai keseluruhan.

Kedua, hubungan ideal di antara keduanya bukanlah bersifat atas-bawah, tetapi – dalam pendapat saya justru harus dipahami bersifat luar dalam. Hukum tidak dapat lagi dipahami sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada sistem etika. Konstitusi adalah hukum tertinggi, tetapi di dalamnya bukan hanya berisi nilai-nilai hukum atau constitutional law, tetapi harus pula dipahami sebagai dokumen yang berisi nilai-nilai etika atau constitutional ethics yang juga sama tingginya dengan constitutional law.

Hukum dapat diibaratkan sebagai jasad, sedangkan etika adalah roh atau jiwanya. Hukum adalah bentuk, sedangkan etika adalah esensi. Karena itu, hukum tidak boleh dipisahkan dari rohnya, yaitu keadilan. Karena itu, penegakan hukum harus seimbang tanpa melupakan keadilan. Dalam praktik, berapa banyak peraturan ditegakkan oleh para petugas penegakan hukum tetapi yang ditegakkan itu bukanlah keadilan. Hukum haruslah dipahami dalam keseimbangan antara pengertian-pengertian tentang peraturan dan keadilan. Para sarjana hukum dan akademisi hukum diharapkan benar-benar menjadi hukum, bukan sekedar sarjana peraturan. Setiap Sarjana Hukum mampu menangkap, memahami, dan menghayati nilainilai keadilan yang esensiel yang terkandung dalam aneka teks-teks peraturan perundang-undangan.

Ketiga, etika haruslah dipandang lebih luas cakupan dan jangkauannya daripada hukum. Sesuatu perbuiatan yang melanggar hukum sudah pasti dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang juga melanggar etika. Tetapi sesuatu perbuatan yang melanggar etika, belum tentu merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Karena itu, pengadilan hukum tidak dapat menilai putusan pengadilan etika, karena penilaian tentang etika berada di luar jangkaun hukum dan berada dalam ranah peradilan etika. Misalnya, seorang pegawai negeri diberhentikan oleh atasannya dengan keputusan tata usaha negara berdasarkan hasil persidangan majelis kehormatan sebagai institusi penegak kode etik yang menilai bahwa yang bersangkutan terbukti melanggar kode etik dengan kategori sangat berat. Jika persoalan ini dibawa ke pengadilan tata usaha negara sebagai institusi peradilan hukum, maka kesimpulannya belum tentu dinyatakan sebagai pelanggaran hukum, meskipun institusi penegak kode etik sebagai lembaga peradilan etik menyatakannya sebagai pelanggaran etik dengan kategori sangat berat. Karena itu, keputusan tata usaha negara yang melaksanakan putusan peradilan etika tidak mungkin dibawa ke ranah hukum dengan memberikan kewenangan kepada pengadilan tata usaha negara untuk menilai keputusan tata usaha negara yang menjalankan putusan peradilan etik tersebut ataupun apalagi untuk menilai materi putusan institusi peradilan etika tersebut.

Bahkan, keempat, di samping lebih luas, etika juga ibarat samudera yang luas, tempat hukum sebagai kapal keadilan dapat berlayar lepas. Samudera tentu sangat luas terbentang, tetapi lebih daripada itu, samudera yang luas itu juga harus dipahami sebagai tempat kapal hukum itu mengapung kokoh untuk mewujudkan impian keadilan dalam kehidupan. Karena itu, Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969)  pernah menyatakan, “In a civilized life, law floats in a sea of ethics. Each is indispensable to civilization. Without law, we should be at the mercy of the least scrupulous; without ethics, law could not exist”. (Di dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudera etika. Tanpa hukum, ibarat kita menyerahkan hidup pada belas kasihan orang yang paling tidak berhati-hati; sedangkan tanpa etika, hukum tidak akan ada).

Artinya, sistem norma hukum itu bukan saja tidak dapat dipisahkan dari etika, tetapi bahkan tumbuh dan tegak berfungsinya hukum itu dengan baik hanya dapat terjadi jika ia ditopang dan didukung oleh bekerja sistem norma etika dalam kehidupan masyarakat yang berkeadaban. Keduanya merupakan keniscayaan untuk peradaban. (Tanpa hukum, hidup kita akan tergantung kepada belas kasihan hidup etika; tanpa etika, hukum tidak akan ada). Karena itu, keadilan juga tidak dapat dipisahkan dari keberadaban. Itulah sebabnya the founding leaders Indonesia merumuskan sila kedua Pancasila dengan perkataan “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” yang ditulis langsung sesudah sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Peradaban suatu bangsa selalu membutuhkan sinergi antara nilai-nilai ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan prinsip keadilan yang diimpikan dalam sila kedua dalam hubungan yang serasi antara tiga serangkai nilai, yaitu ketuhanan, keadilan, dan keadaban.

Selain itu, dalam perkembangan di zaman sekarang, sistem norma etika juga tengah mengalami perubahan yang pesat seperti yang pernah dialami oleh sistem norma hukum. Kecenderungan yang pernah dialami oleh sistem norma hukum dalam sejarah, yaitu munculnya arus kebutuhan untuk melakukan upaya posivisasi hukum juga sedang dialami oleh sistem norma etika, terutama di abad ke-21 ini. Ini terlihat pada kecenderungan munculnya kebutuhan di mana-mana di seluruh dunia untuk mengembangkan infrastruktur etik, terutama di dunia bisnis dan di lingkungan jabatan-jabatan publik dengan cara menuliskan naskah-naskah kode etik dan kode perilaku dengan didukung oleh pembentukan institusi-institusi penegakan kode etik dan kode perilaku itu secara resmi dalam sistem administrasi pemerintahan negara. Karena itu, jika dulu norma hukum (legal norms) secara tegas dibedakan dari norma etik (ethical norms) semata-mata dari sifat memaksa dalam proses keberlakuan atau pemberlakuannya, yaitu bahwa ‘legal norm is imposed from without’, sedangkan ‘ethical norm is imposed from within’, maka dewasa ini pembedaan demikian tidak lagi bersifat mutlak.

Dalam perkembangan dewasa ini, harus dicatat bahwa pembedaan antara daya paksa dari dalam versus dari luar itu juga berkembang dari waktu ke waktu. Sistem infrastruktur etik yang dibahas panjang lebar dalam buku ini memperlihatkan kenyataan bahwa pengertian bahwa norma etika semata-mata hanya bersifat ‘imposed from within’ sudah tidak memadai lagi.

Di seluruh dunia dewasa ini, berkembang luas kebutuhan untuk membangun infrastruktur kode etik dan institusi penegak kode etik secara melembaga yang dapat memaksakan berlakunya dengan pengenaan sanksi yang konkrit bagi para pelanggar kode etik. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri sesuai keputusan Sidang Umum tahun 1996 yang lalu, justru merekomendasikan agar semua negara anggota PBB membangun apa yang dinamakan “ethics infra structure in public offices”, infrastruktur etik untuk jabatan-jabatan publik. Untuk itu, maka pengaturan-pengaturan tentang kode etik dan prosedur penegakan kode etik itu mulai dituangkan secara resmi dalam bentuk undang-undang atau peraturan lain yang bersifat mengikat untuk umum, sehingga nilai-nilai etika dan perilaku ideal dimaksud dapat ditegakkan dengan efektif atas dukungan kekuasaan negara.

Yang diatur dalam perundang-undangan itupun tidak hanya berkenaan dengan prosedur penegakannya tetapi juga mengenai sebagian materi etika itu sendiri, sekurang-kurangnya mengenai prinsip-prinsip nilai yang bersifat umum dan abstrak. Meskipun materi kode etik masih tetap dirumuskan bersama oleh para subjek yang mengikatkan diri untuk tunduk kepada kode etik tersebut, tetapi sebagian materi dan prosedurnya berasal dari materi undang-undang atau peraturan perundang-undangan resmi, sehingga sistem norma etik juga ditopang oleh sistem norma hukum. Setidaknya kita dapat membedakan, seperti dalam sistem norma hukum, yaitu adanya etika materiel dan etika formil seperti dalam hukum dikenal adanya hukum materiel dan hukum formil. Etika materiel dapat disebut sebagai etika primer, sedangkan etika formil merupakan etika sekunder. Karena itu, seperti sanksi hukum, sistem norma sanksi etik juga dapat dipaksakan dari luar kesadaran sendiri, yaitu oleh institusi penegaknya yang bersifat independen dan otoritatif. Meskipun demikian, tentu sifat sanksi ketiga norma agama, hukum, dan etika tersebut tetap dapat dibedakan antara dua jenis sanksi itu. Sanksi ketiga jenis norma itu tetap dapat dibedakan antara sanksi yang dijatuhkan dari dalam kesadaran sendiri (imposed from within) dan sanksi yang dikenakan dari luar kesadaran sendiri (imposed from without).

Semua ini dapat kita namakan sebagai perkembangan etika positif dalam artinya munculnya upaya untuk melakukan positivisasi sistem norma etika, seperti yang sudah biasa kita kenal dengan istilah hukum positif yang berkembang atas pengaruh positivisme hukum dimasa lalu. Artinya, cara pandang positivisme tersebut, di samping banyak dampak negatifnya, juga banyak kegunaannya bagi perkembangan hukum dan juga etika. Karena itu, perkembangan etika positif  yang digambarkan di atas juga muncul sebagai akibat pengaruh positif aliran pikiran posivisme.

Dulu sistem norma hukum pada mulanya juga tidak ditulis secara resmi dan diberlakukan oleh kekuasaan negara, sampai saatnya muncul kebutuhan untuk menuliskannya dan diberlakukan secara resmi oleh kekuasaan negara dalam bentuk perundang-undangan. Inilah yang dipahami dalam sejarah dengan pengertian peraturan perundang-undangan.


Pengalaman yang yang sama dewasa ini juga sedang dialami oleh sistem norma etika. Semula norma etika itu dipahami sebagai sesuatu sistem norma yang hidup dalam pergaulan bermasyarakat tanpa membutuhkan penuangan resmi dalam bentuk tulisan. Tetapi, lama kelamaan muncul kebutuhan untuk menuliskannya dalam bentuk kode etik dan kode perilaku, dan bahkan dimulai pada akhir abad ke-20 muncul lagi kebutuhan untuk membentuk infrastruktur kelembagaan yang berfungsi sebagai penegak kode etika dan kode perilaku tersebut, sekaligus sebagai institusi pemberi sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Inilah gejala yang dinamakan sebagai positivisasi sistem etika, seperti yang pernah dialami oleh sistem norma hukum di masa lalu karena pengaruh yang luas dari aliran positivisme hukum. Dengan kata lain, terlepas dari berbagai kelemahan dari cara pandang positivisme hukum itu, logika positivisme juga ada gunanya, baik untuk perkembangan hukum maupun dewasa ini untuk perkembangan sistem etika publik.

1 Response to "Memahami Kembali Relasi Antar Norma Hukum Dari Norma Etika Dan Norma Agama"

  1. Apakah ini review dari sebuah buku atau tulisan sendiri. Jika review mohon info apa judul bukunya. Tks

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel