Memahami Kembali Relasi Antar Norma Hukum Dari Norma Etika Dan Norma Agama
Tuesday, 17 January 2017
1 Comment
![Memahami Kembali Relasi Antar Norma Hukum Dari Norma Etika Dan Norma Agama Memahami Kembali Relasi Antar Norma Hukum Dari Norma Etika Dan Norma Agama](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcqk1ji55bWlxq0FFSwKPUjAQmqCslgRmymMpw59R3NcXFx57Ykrv535ayDEnesjubUbC_-y8nuUIjnptwtas_fQTKa40SVAAzh_A_V-kZPlAPWFbVKbphuqXujDIRePWgjo3FZGaynas/w600/Norma+Hukum.jpg)
Dalam sistem
penyelenggaraan kekuasaan negara, kedudukan hukum tidak dapat ditawar-tawar
harus ditempatkan dalam posisi sebagai panglima. Norma agama dan norma etika bahkan
dipahami tidak lah lebih tinggi kedudukannya daripada hukum. Agama dan etika harus
tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang dilambangkan dalam posisi
tertinggi pada konstitusi yang disebut sebagai ‘the highest law”. Karena itu,
hukum agama, kaidah-kaidah etika yang dianut oleh warga masyarakat tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi, karena konstitusi negara merupakan hukum yang
paling tinggi kedudukannya dalam suatu negara. Cara pandang demikian inilah
pada umumnya dianut oleh para sarjana hukum dari dulu sampai sekarang. Di
Indonesia sendiri dewasa ini dapat dikatakan lebih dari sarjana hukum terbiasa
dengan cara berpikir demikian, yaitu memperlakukan norma hukum sebagai kaidah
yang paling tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Daya
cengkeram paham positivisme hukum sudah sangat kuat pengaruhnya di dunia pendidikan
hukum kita sejak dari zaman Hindia Belanda.
Paham positivistik
bahkan mempengaruhi cara para sarjana hukum dalam memahami hukum yang seolah
hanya dilihat sebagai teks-teks tanpa jiwa. Hukum biasa dipahami hanya dengan
pendekatan grammatical reading dengan
memperdebatkan titik dan koma. Konstitusi negara juga biasa dipahami dengan
pendekatan tekstual tanpa mempertimbangkan pentingnya pendekatan moral and philosophical reading. Tanpa
disadari, mahkamah konstitusi juga dapat berkembang menjadi sekedar mahkamah
undang-undang dasar, jikalau para hakimnya terlalu kaku dalam memahami ide dan
nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi dengan pendekatan posivistik yang
mengutamakan teks tanpa konteks. Hukum dan konstitusi dipahami sebagai sarana
yang membatasi dan bahkan menghambat kebebasan, bukan sarana yang membebaskan
dan memerdekakan manusia Indonesia dari penjajahan. Orang bekerja karena hukum,
karena peraturan, rule-driven, bukan
karena misi dan kemuliaan tujuan yang hendak dicapai dan diwujudkan (mission-driven). Jika peraturan tidak
mengatur dan memberikan perintah, maka orang cenderung tidak bekerja.
Sebaliknya, jikalau
peraturan menentukan, meskipun ternyata tujuan yang hendak dicapai sudah
terwujud di depan mata, maka kegiatan tetap harus dilakukan semata-mata karena peraturan
menentukan demikian. Akibatnya, hidup menjadi kaku. Manusia berubah menjadi
robot tanpa jiwa. Orang bekerja atau tidak bekerja semata-mata karena aturan
dan karena tersedia tidaknya anggaran yang sudah ditentukan menurut peraturan.
Hukum berubah fungsinya bukan lagi sebagai pendorong kemajuan tetapi malah
menjadi penghambat kemajuan. Hukum tidak lagi membebaskan manusia dari penjajahan
dan ketidakadilan, tetapi berubah menjadi mengungkung hidup kita menjadi tidak
merdeka untuk berkreatifitas untuk membangun peradaban. Padahal UUD 1945 yang
disusun dan kemudian disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 justru diniatkan
untuk menjadi konstitusi pembebasan bangsa dari penjajahan. Bahkan, dalam
kalimat atau alinea pertama pembukaan undang-undang dasar yang berasal dari naskah
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (sebelum Indonesia merdeka) dinyatakan “Bahwa sesungguhnya, kemerdekaan itu ialah
hak hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Artinya, UUD 1945 tidak
lain merupakan konstitusi pembebasan (liberating
constitution), bukan konstitusi yang sekedar membatasi kekuasaan, apalagi
yang hanya dipahami dalam perspektif
yang sangat formalistik, kaku, tekstualis, dan positivistis yang tanpa roh etika keadilan dan etika konstitusi
(constitutional ethics). Pancasila
merupakan sumber hukum dan sekaligus
sumber etika. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat
kandungan norma hukum konstitusi (constitutional
law) dan sekaligus norma etika
konstitusi (constitutional ethics) secara
sekaligus.
Masalahnya sekarang, di
masa kini, bagaimanakah sebaiknya kita membangun dan memahami pola hubungan
atau relasi yang ideal antara sistem norma hukum, norma, etika, dan norma agama
itu? Apakah cara pandang para sarjana hukum yang menempatkan hukum pada posisi
tertinggi masih dapat dipertahankan? Lihatlah bagaimana para ulama, pendeta dan
rohaniawan lainnya memandang etika dan agama pada posisi yang lebih tinggi
daripada hukum. Hukum negara bagi para tokoh-tokoh agama justru tidak boleh
bertentangan dengan hukumhukum agama, sehingga karena itu norma agamalah yang
dianggap paling tinggi, bukan norma hukum.
Jika kedua pandangan
ini dipertentangkan, secara mudah orang dapat berkesimpulan bahwa kedua cara
pandang tersebut sama-sama bias. Para sarjana hukum tentu saja bias dan berusaha
untuk memelihara kesombongannya sendiri dengan hanya mengakui hukum sebagai panglima
kehidupan, bukan agama ataupun etika. Doktrin hukum yang diyakini benar selama selama
ini adalah prinsip “the rule of law, not
of man” sebagai ciri utama negara hukum atau rechtsstaat. Sebaliknya para rohaniawan atau agamawan sudah tentu
akan menempatkan kaidah agama dalam posisi tertinggi, bukan hukum.
Perdebatan mengenai kaidah
mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah itu terjadi karena
berkembang-luasnya upaya untuk memisahkan secara kaku sistem norma hukum itu sendiri
dari sistem norma agama dan etika. Namun dalam perkembangan di zaman sekarang,
muncul praktik-praktik baru yang justru memberikan gambaran yang berbeda
mengenai pola hubungan atau relasi ideal di antara ketiga sistem norma
tersebut, terutama antara sistem norma hukum dan sistem norma etika. Di zaman
sekarang, banyak bukti menunjukkan bahwa kedua sistem norma ini tidak dapat
lagi dipahami terpisah sama sekali satu dengan yang lain. Sistem hukum yang
selama ini dipercaya dan dijadikan tumpuan harapan yang dinilai paling handal
untuk menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, terbukti makin memperlihatkan keterbatasannya. Pidana mati yang
semula dianggap sebagai solusi semakin dinilai tidak manusiawi, sedangkan pidana
penjara yang dijadikan andalan semakin tidak efektif dalam mencapai tujuan
mulianya untuk resosialisasi. Dimana-mana penjara penuh dan jumlah serta jenis
kejahatan terus berkembang biak semakin tidak teratasi.
Karena itu, pertama, muncul pemikiran baru bahwa
hubungan antara sistem norma hukum dan etika tidak boleh dipisahkan tetapi
haruslah bersifat sinergis, saling menopang, dan saling melengkapi. Jika
keduanya dipisahkan secara ekstrim seperti yang terjadi selama ini sebagai
akibatnya kakunya cara pandang positivisme dalam sejarah, keduanya dan bahkan ketiga
sistem norma hukum, etika, dan agama akan berjalan sendiri-sendiri dengan
segala kelemahan dan kelebihannya masing-masing yang sudah terbukti bersifat
terbatas.
Kompleksitas kehidupan
umat manusia di zaman modern dan post modern terbukti sangat rumit dan tidak
dapat diselesaikan secara sendiri-sendiri hanya oleh sistem norma hukum, sistem
etika, atau bahkan dalam arti yang sempit hanya sistem norma ‘agama’ saja. Dalam
kenyataan praktiknya, ketiga sistem norma itu sama-sama berurusan dengan
kualitas prilaku manusia yang dianggap ideal, sehingga oleh karena pemisahan
formalistik dan positivistik yang terjadi selama ini, ketiganya sering saling
berbenturan atau bahkan sengaja dibentur-benturkan satu sama lain untuk maksud
yang bersifat tidak seimbang dalam memberikan perlakuan kepada ketiganya dengan
lebih mengutamakan sistem norma hukum daripada yang lain.
Sekarang, baru disadari
bahwa ternyata sistem norma hukum tidak dapat lagi diharapkan sebagai andalan
satu-satunya, sehingga oleh sebab itu harus mulai disinergikan secara seimbang
dengan sistem norma etika dan bahkan sisrtem norma agama. Ketiganya tetap harus
dibedakan dan tidak boleh dicampuradukkan pengertian-pengertiannya. Tetapi ketiganya
jangan dipisahkan atau apalagi dipertentangkan.
Kadang-kadang memang
kita temukan kasus dimana penilaian kita tentang keadilan saling berbenturan
satu dengan yang lain. Misalnya, kita dihadapkan pada pilihan antara mengutamakan
keadilan hukum (gerechttigkei, legal
justice) atau kepastian hukum (rechtssicherheit,
rechtszekerheid, legal certainty and predictability). Dalam keadaan yang demikian
keputusan harus diambil dengan mempertimbangkan faktor tujuan ketiga, yaitu kemanfaatan
hukum (zweckbigkeit, legal purpose atau legal utility) untuk memberikan solusi yang
berguna bagi kehidupan bersama sesuai dengan doktrin tentang tiga tujuan hukum
yang dikenal luas dalam filsafat hukum.
Jika dalam satu kasus
ternyata norma hukum bertentangan dengan norma etika atau norma agama, maka
solusinya adalah pada kemuliaan tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pasti
ada pilihan yang dapat dinilai paling tepat dalam semua situasi yang sulit
untuk mengambil keputusan terbaik. Namun, konflik nilai atau pertentangan-pertentangan
normatif seperti ini haruslah dilihat dan dipecahkan secara kasus demi kasus, tidak
boleh dijadikan maxim yang diberlakukan umum. Konflik-konflik antar norma itu
juga bukanlah sesuatu yang harus diidealkan tetapi harus diselesaikan secara
setempat dan sewaktu-waktu dengan pendekatan kasus per kasus. Kadang-kadang
hukum yang harus diutamakan, tetapi kadang-kadang etika yang mesti
dikedepankan.
Perbedaan perlakuan
dalam kasus demi kasus kadang-kadang dapat dipolakan secara umum, misalnya,
untuk kasus-kasus yang terkait di bidang keperdataan yang seringkali harus lebih
diutamakan adalah pendekatan formalistik. Demi kepentingan nilai-nilai keadilan
yang lebih luas, sistem norma hukum dengan asas kepastian harus lebih diutamakan
daripada norma etika dan prinsip keadilan yang lebih sempit. Karena itu, dalam
proses pembuktian di pengadilan, biasa diterima luas adanya doktrin tentang
pembuktian formil versus pembuktian materiel. Di bidang hukum pidana proses
pembuktiannya harus bersifat materiel, tetapi dibidang hukum perdata harus
bersifat formil. Dalam urusan kepemiluan, perkara-perkara yang terkait
membutuhkan kepastian jadwal waktu, sehingga oleh sebab itu, peradilan dalam urusan
kepemiliuan (electoral justice) harus
dipandang sebagai salah satu bentuk atau jenis peradilan cepat (speedy trial) yang prosesnya cukup
dilakukan dengan pendekatan kepastian hukum yang adil dan dengan asas
pembuktian formil saja. Meskipun secara teoritis, asas pembuktian materiel
lebih dimuliakan tetapi pengadilan tidak perlu mempersulit diri sendiri dengan
sok-sok melakukan pembuktian materiel dengan akibat beban perkara tidak
tertangani dengan baik dan kualitas putusan menjadi terbengkalai yang pada
gilirannya justru membebani negara sebagai keseluruhan.
Kedua,
hubungan ideal di antara keduanya bukanlah bersifat atas-bawah, tetapi – dalam
pendapat saya justru harus dipahami bersifat luar dalam. Hukum tidak dapat lagi
dipahami sebagai sesuatu yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada sistem
etika. Konstitusi adalah hukum tertinggi, tetapi di dalamnya bukan hanya berisi
nilai-nilai hukum atau constitutional law,
tetapi harus pula dipahami sebagai dokumen yang berisi nilai-nilai etika atau constitutional ethics yang juga sama
tingginya dengan constitutional law.
Hukum dapat diibaratkan
sebagai jasad, sedangkan etika adalah roh atau jiwanya. Hukum adalah bentuk, sedangkan
etika adalah esensi. Karena itu, hukum tidak boleh dipisahkan dari rohnya,
yaitu keadilan. Karena itu, penegakan hukum harus seimbang tanpa melupakan
keadilan. Dalam praktik, berapa banyak peraturan ditegakkan oleh para petugas
penegakan hukum tetapi yang ditegakkan itu bukanlah keadilan. Hukum haruslah dipahami
dalam keseimbangan antara pengertian-pengertian tentang peraturan dan keadilan.
Para sarjana hukum dan akademisi hukum diharapkan benar-benar menjadi hukum,
bukan sekedar sarjana peraturan. Setiap Sarjana Hukum mampu menangkap, memahami,
dan menghayati nilainilai keadilan yang esensiel yang terkandung dalam aneka
teks-teks peraturan perundang-undangan.
Ketiga,
etika haruslah dipandang lebih luas cakupan dan jangkauannya daripada hukum. Sesuatu
perbuiatan yang melanggar hukum sudah pasti dapat dikategorikan sebagai
perbuatan yang juga melanggar etika. Tetapi sesuatu perbuatan yang melanggar
etika, belum tentu merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Karena itu, pengadilan
hukum tidak dapat menilai putusan pengadilan etika, karena penilaian tentang
etika berada di luar jangkaun hukum dan berada dalam ranah peradilan etika.
Misalnya, seorang pegawai negeri diberhentikan oleh atasannya dengan keputusan
tata usaha negara berdasarkan hasil persidangan majelis kehormatan sebagai
institusi penegak kode etik yang menilai bahwa yang bersangkutan terbukti
melanggar kode etik dengan kategori sangat berat. Jika persoalan ini dibawa ke
pengadilan tata usaha negara sebagai institusi peradilan hukum, maka kesimpulannya
belum tentu dinyatakan sebagai pelanggaran hukum, meskipun institusi penegak
kode etik sebagai lembaga peradilan etik menyatakannya sebagai pelanggaran etik
dengan kategori sangat berat. Karena itu, keputusan tata usaha negara yang
melaksanakan putusan peradilan etika tidak mungkin dibawa ke ranah hukum dengan
memberikan kewenangan kepada pengadilan tata usaha negara untuk menilai keputusan
tata usaha negara yang menjalankan putusan peradilan etik tersebut ataupun
apalagi untuk menilai materi putusan institusi peradilan etika tersebut.
Bahkan, keempat, di samping lebih luas, etika
juga ibarat samudera yang luas, tempat hukum sebagai kapal keadilan dapat
berlayar lepas. Samudera tentu sangat luas terbentang, tetapi lebih daripada
itu, samudera yang luas itu juga harus dipahami sebagai tempat kapal hukum itu
mengapung kokoh untuk mewujudkan impian keadilan dalam kehidupan. Karena itu, Earl
Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) pernah menyatakan, “In a civilized life, law floats in a sea of ethics. Each is
indispensable to civilization. Without law, we should be at the mercy of the
least scrupulous; without ethics, law could not exist”. (Di dalam kehidupan
yang beradab, hukum mengapung di atas samudera etika. Tanpa hukum, ibarat kita menyerahkan
hidup pada belas kasihan orang yang paling tidak berhati-hati; sedangkan tanpa etika,
hukum tidak akan ada).
Artinya, sistem norma
hukum itu bukan saja tidak dapat dipisahkan dari etika, tetapi bahkan tumbuh
dan tegak berfungsinya hukum itu dengan baik hanya dapat terjadi jika ia ditopang
dan didukung oleh bekerja sistem norma etika dalam kehidupan masyarakat yang berkeadaban.
Keduanya merupakan keniscayaan untuk peradaban. (Tanpa hukum, hidup kita akan
tergantung kepada belas kasihan hidup etika; tanpa etika, hukum tidak akan
ada). Karena itu, keadilan juga tidak dapat dipisahkan dari keberadaban. Itulah
sebabnya the founding leaders Indonesia
merumuskan sila kedua Pancasila dengan perkataan “Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab” yang ditulis langsung sesudah sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Peradaban suatu bangsa selalu membutuhkan sinergi antara nilai-nilai ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan prinsip keadilan yang diimpikan dalam sila
kedua dalam hubungan yang serasi antara tiga serangkai nilai, yaitu ketuhanan,
keadilan, dan keadaban.
Selain itu, dalam
perkembangan di zaman sekarang, sistem norma etika juga tengah mengalami
perubahan yang pesat seperti yang pernah dialami oleh sistem norma hukum. Kecenderungan
yang pernah dialami oleh sistem norma hukum dalam sejarah, yaitu munculnya arus
kebutuhan untuk melakukan upaya posivisasi hukum juga sedang dialami oleh
sistem norma etika, terutama di abad ke-21 ini. Ini terlihat pada kecenderungan
munculnya kebutuhan di mana-mana di seluruh dunia untuk mengembangkan infrastruktur
etik, terutama di dunia bisnis dan di lingkungan jabatan-jabatan publik dengan cara
menuliskan naskah-naskah kode etik dan kode perilaku dengan didukung oleh
pembentukan institusi-institusi penegakan kode etik dan kode perilaku itu
secara resmi dalam sistem administrasi pemerintahan negara. Karena itu, jika
dulu norma hukum (legal norms) secara
tegas dibedakan dari norma etik (ethical
norms) semata-mata dari sifat memaksa dalam proses keberlakuan atau
pemberlakuannya, yaitu bahwa ‘legal norm
is imposed from without’, sedangkan ‘ethical
norm is imposed from within’, maka dewasa ini pembedaan demikian tidak lagi
bersifat mutlak.
Dalam perkembangan
dewasa ini, harus dicatat bahwa pembedaan antara daya paksa dari dalam versus
dari luar itu juga berkembang dari waktu ke waktu. Sistem infrastruktur etik yang
dibahas panjang lebar dalam buku ini memperlihatkan kenyataan bahwa pengertian bahwa
norma etika semata-mata hanya bersifat ‘imposed
from within’ sudah tidak memadai lagi.
Di seluruh dunia dewasa
ini, berkembang luas kebutuhan untuk membangun infrastruktur kode etik dan
institusi penegak kode etik secara melembaga yang dapat memaksakan berlakunya
dengan pengenaan sanksi yang konkrit bagi para pelanggar kode etik. Bahkan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri sesuai keputusan Sidang Umum tahun 1996 yang lalu, justru
merekomendasikan agar semua negara anggota PBB membangun apa yang dinamakan “ethics infra structure in public offices”,
infrastruktur etik untuk jabatan-jabatan publik. Untuk itu, maka
pengaturan-pengaturan tentang kode etik dan prosedur penegakan kode etik itu mulai
dituangkan secara resmi dalam bentuk undang-undang atau peraturan lain yang
bersifat mengikat untuk umum, sehingga nilai-nilai etika dan perilaku ideal
dimaksud dapat ditegakkan dengan efektif atas dukungan kekuasaan negara.
Yang diatur dalam
perundang-undangan itupun tidak hanya berkenaan dengan prosedur penegakannya
tetapi juga mengenai sebagian materi etika itu sendiri, sekurang-kurangnya mengenai
prinsip-prinsip nilai yang bersifat umum dan abstrak. Meskipun materi kode etik
masih tetap dirumuskan bersama oleh para subjek yang mengikatkan diri untuk
tunduk kepada kode etik tersebut, tetapi sebagian materi dan prosedurnya berasal
dari materi undang-undang atau peraturan perundang-undangan resmi, sehingga
sistem norma etik juga ditopang oleh sistem norma hukum. Setidaknya kita dapat
membedakan, seperti dalam sistem norma hukum, yaitu adanya etika materiel dan
etika formil seperti dalam hukum dikenal adanya hukum materiel dan hukum
formil. Etika materiel dapat disebut sebagai etika primer, sedangkan etika formil
merupakan etika sekunder. Karena itu, seperti sanksi hukum, sistem norma sanksi
etik juga dapat dipaksakan dari luar kesadaran sendiri, yaitu oleh institusi
penegaknya yang bersifat independen dan otoritatif. Meskipun demikian, tentu
sifat sanksi ketiga norma agama, hukum, dan etika tersebut tetap dapat
dibedakan antara dua jenis sanksi itu. Sanksi ketiga jenis norma itu tetap
dapat dibedakan antara sanksi yang dijatuhkan dari dalam kesadaran sendiri (imposed from within) dan sanksi yang
dikenakan dari luar kesadaran sendiri (imposed
from without).
Semua ini dapat kita
namakan sebagai perkembangan etika positif dalam artinya munculnya upaya untuk
melakukan positivisasi sistem norma etika, seperti yang sudah biasa kita
kenal dengan istilah hukum positif yang berkembang atas pengaruh positivisme
hukum dimasa lalu. Artinya, cara pandang positivisme tersebut, di samping
banyak dampak negatifnya, juga banyak kegunaannya bagi
perkembangan hukum dan juga etika. Karena itu, perkembangan etika positif yang digambarkan
di atas juga muncul sebagai akibat pengaruh positif aliran pikiran posivisme.
Dulu sistem
norma hukum pada mulanya juga tidak ditulis secara resmi dan diberlakukan oleh
kekuasaan
negara, sampai saatnya muncul kebutuhan untuk menuliskannya dan diberlakukan
secara
resmi oleh kekuasaan negara dalam bentuk perundang-undangan. Inilah yang
dipahami
dalam
sejarah dengan pengertian peraturan perundang-undangan.
Pengalaman yang yang sama dewasa ini
juga sedang dialami oleh sistem norma etika. Semula
norma etika itu dipahami sebagai sesuatu sistem norma yang hidup dalam pergaulan
bermasyarakat
tanpa membutuhkan penuangan resmi dalam bentuk tulisan. Tetapi, lama
kelamaan
muncul kebutuhan untuk menuliskannya dalam bentuk kode etik dan kode perilaku,
dan
bahkan dimulai pada akhir abad ke-20 muncul lagi kebutuhan untuk membentuk
infrastruktur kelembagaan yang berfungsi sebagai penegak kode etika dan kode
perilaku tersebut, sekaligus sebagai institusi pemberi
sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Inilah gejala yang dinamakan sebagai
positivisasi sistem etika, seperti yang pernah dialami oleh sistem norma
hukum
di masa lalu karena pengaruh yang luas dari aliran positivisme hukum. Dengan
kata
lain, terlepas dari berbagai kelemahan dari cara pandang positivisme hukum itu,
logika
positivisme
juga ada gunanya, baik untuk perkembangan hukum maupun dewasa ini untuk
perkembangan
sistem etika publik.
Apakah ini review dari sebuah buku atau tulisan sendiri. Jika review mohon info apa judul bukunya. Tks
ReplyDelete