Persaingan Global: Institusi Keluarga dalam Pembangunan Karakter Bangsa
Wednesday, 19 October 2016
Pertentangan ideologi yang mewarnai peradaban manusia abad milenium ini intinya adalah berkutat pada bagaimana membuat suatu tatanan politik dunia yang dapat mendatangkan kesejahteraan manusia. Banyak pakar mengatakan setelah ambruknya sistem komunisme yang diawali oleh runtuhnya negara pelopor komunisme (Uni Soviet) persaingan antar ideologi telah berakhir, dan beralih kepada persaingan antar peradaban.
Dalam iklim globalisasi, persaingan ekonomi antar negara adalah persaingan antar negara yang menerapkan sistem pasar bebas (free market), tetapi wacana yang berkembang adalah: sistem pasar bebas yang seperti apa? Michael Porter (1990) mengatakan bahwa faktor budaya, nilai-nilai berlaku, dan ciri khas watak masyarakat suatu negara sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonominya. Banyak sekali pakar internasional yang mengatakan bahwa kunci sukses keberhasilan suatu negara sangat ditentukan oleh sejauh mana suatu negara mempunyai budaya yang kondusif untuk bisa maju (contohnya Franke, Hostede, dan Bond). Faktor budaya yang dicerminkan oleh karakter dan perilaku masyarakatnya, sering disebut “modal sosial” (social capital) kemajuan sebuah negara.
Konsep “modal sosial” ini pertama kali diperkenalkan oleh Francis Fukuyama (Trust: The Social Virtues, and the Creation of Prosperity) yang menguraikan ciri budaya sebuah masyarakat yang mempunyai keunggulan dalam persaingan global. Dalam bukunya ini Fukuyama menekankan persaingan yang ada dewasa ini bukan persaingan antar sistem ideologi, tetapi persaingan antar negara bersistem pasar bebas yang mempunyai social capital tinggi (high trust society), dan negara yang mempunyai modal sosial rendah (low trust society) yang tentunya akan kalah dalam persaingan. Negara yang mempunyai modal sosial tinggi adalah masyarakat yang mempunyai rasa kebersamaan tinggi, rasa saling percaya (baik vertikal maupun horizontal), serta rendahnya tingkat konflik. Selanjutnya dikatakan bahwa ini bisa terwujud kalau masing-masing individu menjunjung tinggi kebersamaan, loyalitas, kejujuran, dan menjalankan kewajibannya.
Ciri khas karakter masyarakat yang menjadi faktor penentu keberhasilan suatu negara juga diulas oleh Lester Thurow dalam Head To Head yang membandingkan sistem kapitalisme Amerika dan Inggris, yang disebutnya individualistic capitalism, dengan sistem kapitalisme Jepang dan Jerman (communitarian capitalism). Thurow mengunggulkan sistem communitarian capitalism karena ciri karakter manusianya adalah self-denial, yaitu hemat, kerja keras, kebersamaan tinggi, dan loyalitas, yang dianggap kondusif untuk mempunyai daya saing.
Berbicara mengenai pentingnya faktor budaya yang mencerminkan karakter moral masyarakatnya, kita boleh bertanya, apakah bangsa Indonesia mempunyai ciri khas karakter yang seperti diungkapkan di atas? Melihat kondisi Indonesia yang sedang mengalami krisis multi-dimensi ini, banyak yang mengatakan bahwa masalah terbesar yang dihadapi Indonesia adalah masalah moral. Apabila ini tidak kita perhatikan dan dicarikan solusinya secara cepat dan tepat, maka tampaknya sangat sulit bagi Indonesia untuk bangkit, terutama mengingat era pasar bebas yang sudah semakin dekat.
Kalau kita berbicara masalah karakter bangsa, maka ini akan menyentuh aspek pendidikan dan sosialisasi individu sejak dilahirkan sampai dewasa. Institusi keluarga dan pranata sosial yang ada (sekolah, agama, budaya) menjadi hal yang penting untuk diperhatikan agar penanaman moral individu dapat terlaksana. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Lord Channing bahwa “The great hope of society is individual character” (Harapan besar masyarakat adalah kualitas akhlak setiap individu).
Salah satu teori dalam ilmu sosiologi tentang pentingnya institusi keluarga dalam menentukan maju atau tidaknya sebuah bangsa, yaitu “family is the fundamental unit of society” (keluarga adalah unit yang penting sekali dalam masyarakat). Artinya kalau institusi keluarga sebagai fondasi lemah, maka “bangunan” masyarakat juga akan lemah. Menurut teori tersebut, masalah-masalah yang terdapat dalam masyarakat seperti kemiskinan, kekerasan yang merajalela, dan segala macam kebobrokan sosial, adalah cerminan dari tidak kokohnya institusi keluarga.
Pembangunan karakter berkaitan dengan pembentukan kepribadian individu-individu sejak dini dari dalam keluarga, dan sekolah. Peran keluarga dalam pendidikan, sosialisasi, dan penananam nilai kepada anak adalah sangat besar. Keluarga kokoh adalah keluarga yang dapat menciptakan generasi-generasi penerus yang berkualitas, berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku kehidupan masyarakat, dan akhirnya membawa kejayaan sebuah bangsa