Belenggu Pemikiran Individual Terhadap Takdir Atas Manusia
Sunday, 24 April 2016
Permasalahan
ini sangat berhubungan dengan alam metafisis dan filsafat ketuhanan, namun ia
termasuk di antara masalah-masalah sosial praktis yang salah satunya disebabkan
karena reaksi intuitif yang berkaitan dengan bentuk pemikiran individual dari
setiap pembahas problem ini terhadap kehidupan praktisnya, serta cara
penanganannya terhadap segala peristiwa yang terjadi. Wajarlah jika terdapat
perbedaan dalam mental dan perilaku antara seseorang yang percaya bahwa dirinya
adalah wujud yang terbelenggu, dengan orang lain yang meyakini bahwa dia
sendirilah yang berkuasa sepenuhnya atas masa depan serta nasibnya.
Dengan
demikian, kita dapat melihat bahwa problem ini menimbulkan implikasi praktis
dan sosial yang tidak terdapat dalam masalah-masalah filosofis lainnya seperti
misalnya, tentang "baru
atau azalinya kemunculan alam ini", dan "terbatas atau tidak
terbatasnya penjuru-penjuru alam ini", "sistem kausalitas dan
kemustahilan timbulnya yang banyak dari yang tunggal", "malah Zat dan
Sifat pada diri Sebab Pertama dan Utama Subhanahu wa Ta'ala", dan berbagai
masalah lainnya yang tidak mempunyai pengaruh praktis atas perilaku individual
ataupun sosial mereka.
Selanjutnya juga
pengaruh penting yang ditimbulkan atas pemikiran yang mau tak mau hinggap
dengan sendirinya ke dalam pemikiran siapa saja, yang memiliki kapasitas yang
minim sekalipun dalam hal pemikiran masalah-masalah yang integral. Sebab,
setiap orang sangat ingin memiliki perasaan bahwa ia mampu menentukan masa
depannya sendiri. Apakah terikat erat kepada takdir yang pasti (deterministis)
dan tak mungkin lag dielakkan dalam perjalanan hidupnya, sehingga tak ada lagi
pilihan lain baginya, bagaikan daun kering dalam hembusan badai? Ataukah keadaannya
tidak seperti itu, yakni bahwa ia mampu menentukan perjalanan hidupnya?
Dengan adanya aspek
tersebut dapatlah masalah ini digolongkan ke dalam persoalan-persoalan praktis
dan sosial. Akan tetapi, para ahli yang
pada masa-masa lalu telah membahas masalah ini, tidak cukup memperhatikan aspek
ini. Mereka lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada aspek filosofis dan
teologinya semata-mata. Sebaliknya, para pembahas masa kini telah menyimpang
dari cara lama itu, dan mereka kini mencurahkan perhatian yang sebesarbesarnya
kepada aspek praktis dan sosialnya saja.
Bahkan kini kita
dapat melihat sebagian para pengecam Islam menganggap masalah qadha dan qadar
serta pandangan Islam tentangnya sebagai faktor-faktor terbesar penyebab
kemunduran kaum Muslimin. Berdasarkan itu, mungkin akan timbul beberapa
pertanyaan:Jika kepercayaan kepada qadha dan qadar merupakan
penyebab kemalasan dan kemunduran individu ataupun masyarakat, mengapa tidak
demikian pula kondisi kaum Muslimin dari generasi-generasi pertama? Apakah
persoalan ini tidak terdapat dalam ajaran-ajaran asasi dan inti akidah Islam,
seperti yang dituduhkan oleh beberapa ahli Barat? Ataukah bentuk kredo mereka
tentang takdir adalah sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan
kebebasan serta tanggung jawab manusia sehubungan dengan perbuatannya? Dengan
kata lain, sementara mereka percaya dan yakin tentang takdir dan
ketentuan-ketentuan umumnya, apakah di waktu yang sama, mereka juga percaya dan
yakin bahwa nasib dapat diubah atau diganti, dan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk itu? Dan sekiranya mereka memiliki pemikiran seperti ini,
bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Terlepas dari bentuk ijtihad
yang digunakan orang dalam memahami problem ini, di masa lalu, wajiblah atas
kita, pertama-tama, berpaling ke arah logika Al-Quran al-Karim mengenai masalah
ini, kemudian menelaah segala yang sampai kepada kita dari Rasul teragung saw. Dan para Imam, dan setelah itu
berusaha meneliti berbagai jenis pendapat yang bertumpu atas logika yang
sepatutnya kita pilih.