-->

Belenggu Pemikiran Individual Terhadap Takdir Atas Manusia

Belenggu Pemikiran Individual Terhadap Takdir Atas Manusia
Share
Permasalahan ini sangat berhubungan dengan alam metafisis dan filsafat ketuhanan, namun ia termasuk di antara masalah-masalah sosial praktis yang salah satunya disebabkan karena reaksi intuitif yang berkaitan dengan bentuk pemikiran individual dari setiap pembahas problem ini terhadap kehidupan praktisnya, serta cara penanganannya terhadap segala peristiwa yang terjadi. Wajarlah jika terdapat perbedaan dalam mental dan perilaku antara seseorang yang percaya bahwa dirinya adalah wujud yang terbelenggu, dengan orang lain yang meyakini bahwa dia sendirilah yang berkuasa sepenuhnya atas masa depan serta nasibnya.
Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa problem ini menimbulkan implikasi praktis dan sosial yang tidak terdapat dalam masalah-masalah filosofis lainnya seperti misalnya, tentang "baru atau azalinya kemunculan alam ini", dan "terbatas atau tidak terbatasnya penjuru-penjuru alam ini", "sistem kausalitas dan kemustahilan timbulnya yang banyak dari yang tunggal", "malah Zat dan Sifat pada diri Sebab Pertama dan Utama Subhanahu wa Ta'ala", dan berbagai masalah lainnya yang tidak mempunyai pengaruh praktis atas perilaku individual ataupun sosial mereka.
Selanjutnya juga pengaruh penting yang ditimbulkan atas pemikiran yang mau tak mau hinggap dengan sendirinya ke dalam pemikiran siapa saja, yang memiliki kapasitas yang minim sekalipun dalam hal pemikiran masalah-masalah yang integral. Sebab, setiap orang sangat ingin memiliki perasaan bahwa ia mampu menentukan masa depannya sendiri. Apakah terikat erat kepada takdir yang pasti (deterministis) dan tak mungkin lag dielakkan dalam perjalanan hidupnya, sehingga tak ada lagi pilihan lain baginya, bagaikan daun kering dalam hembusan badai? Ataukah keadaannya tidak seperti itu, yakni bahwa ia mampu menentukan perjalanan hidupnya?
Dengan adanya aspek tersebut dapatlah masalah ini digolongkan ke dalam persoalan-persoalan praktis dan sosial.  Akan tetapi, para ahli yang pada masa-masa lalu telah membahas masalah ini, tidak cukup memperhatikan aspek ini. Mereka lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada aspek filosofis dan teologinya semata-mata. Sebaliknya, para pembahas masa kini telah menyimpang dari cara lama itu, dan mereka kini mencurahkan perhatian yang sebesarbesarnya kepada aspek praktis dan sosialnya saja.
Bahkan kini kita dapat melihat sebagian para pengecam Islam menganggap masalah qadha dan qadar serta pandangan Islam tentangnya sebagai faktor-faktor terbesar penyebab kemunduran kaum Muslimin. Berdasarkan itu, mungkin akan timbul beberapa pertanyaan:Jika kepercayaan kepada qadha dan qadar merupakan penyebab kemalasan dan kemunduran individu ataupun masyarakat, mengapa tidak demikian pula kondisi kaum Muslimin dari generasi-generasi pertama? Apakah persoalan ini tidak terdapat dalam ajaran-ajaran asasi dan inti akidah Islam, seperti yang dituduhkan oleh beberapa ahli Barat? Ataukah bentuk kredo mereka tentang takdir adalah sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan kebebasan serta tanggung jawab manusia sehubungan dengan perbuatannya? Dengan kata lain, sementara mereka percaya dan yakin tentang takdir dan ketentuan-ketentuan umumnya, apakah di waktu yang sama, mereka juga percaya dan yakin bahwa nasib dapat diubah atau diganti, dan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk itu? Dan sekiranya mereka memiliki pemikiran seperti ini, bagaimana hal ini dapat dijelaskan?
Terlepas dari bentuk ijtihad yang digunakan orang dalam memahami problem ini, di masa lalu, wajiblah atas kita, pertama-tama, berpaling ke arah logika Al-Quran al-Karim mengenai masalah ini, kemudian menelaah segala yang sampai kepada kita dari Rasul  teragung saw. Dan para Imam, dan setelah itu berusaha meneliti berbagai jenis pendapat yang bertumpu atas logika yang sepatutnya kita pilih.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel