-->

Esensi Penciptaan Manusia: Sebagai Abdullah dan Khalifatullah

Esensi Penciptaan Manusia: Sebagai Abdullah dan Khalifatullah
Share
Abdullah Fattah Jalal dalam bukunya Min al-Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam telah mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan alat-alat potensial yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia untuk meraih ilmu pengetahuan. Masing-masing alat itu saling berkaitan dan melengkapi dalam mencapai ilmu. Diantara alat-alat tersebut adalah:
1.      Al-lams dan al-syum (alat peraba dan alat penciuman/pembau), sebagaimana firman Allah dalam QS. al-An’am: 7 dan QS. Yusuf: 94.
2.      Al-sam’u (alat pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan penglihatan dan  qalbu, yang menunjukkan adanya saling melengkapi antara berbagai alat itu untuk mencapai ilmu pengetahuan, ada di QS. al-Isra’ (17): 36, QS. al-Mu’minun ( 23): 78, QS. al-Sajadah (32): 9, QS. al-Mulk (67 ): 23, dan sebagainya.
3.      Al-abshar (penglihatan). Banyak ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk melihat dan merenungkan apa yang dilihatnya, sehingga dapat mencapai hakekat. Sebagaimana firman Allah QS. al-A’raf (7): 185; QS. Yunus (10): 101; QS. al-Sajadah (32): 27 dan sebagainya.
4.      Al-‘aql (akal atau daya berpikir). Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan akal dalam berpikir, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran (3): 191. Al Qur’an menjelaskan bahwa Islam tegak di atas pemikiran sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-An’am (6): 50. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa penggunaan akal memungkinkan diri manusia untuk terus mengingat (al-Zikr) dan memikirkan atau merenungkan ciptaan-Nya sebagaimana dalam QS. al-Ra’d (13): 19. Penggunaan akal memungkinkan manusia mengetahui tanda-tanda (kebesaran atau keagungan) Allah serta mengambil pelajaran dari padanya.
5.      Al-Qalb (kalbu), hal ini termasuk alam ma’rifat yang digunakan manusia untuk dapat mencapai ilmu, sebagaimana firman-Nya QS. al-Hajj (22): 46. QS. Muhammad (47): 24 dan sebagainya. Kalbu ini mempunyai kedudukan khusus dalam ma’rifat Ilahiah, dengan kalbu manusia dapat meraih berbagai ilmu dan ma’rifat yang diserap dari sumber Ilahi dan wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam  kalbu Nabi Muhammad saw. sebagaimana firman-Nya QS. Al Syu’ara (26): 192-194.
Dari sumber materil potensi tersebut, tampak jelas bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk Tuhan lainnya di muka bumi ini. Keistimewaan itu bisa kita lihat dari sisi penciptaan fisik maupun personalitas karakternya. Karena keistimewaan itu manusia memiliki tugas dan kewajiban yang berbeda dengan makhluk yang lain. Al-Qur’an memberikan tinjauan yang jelas mengenai kedudukan dan tugas manusia di muka bumi.
Tinjauan al-Qur’an terhadap konsep manusia bisa dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut pandang hubungan manusia dengan Allah Swt. dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Atau dengan kata lain, kedudukan manusia menurut al-Qur’an terbagi dua, yaitu sebagai ‘abdullah dan sebagai khalifatullah.
Al-Qur’an telah menjelaskan eksistensi manusia sebagai ‘abd atau hamba Allah ini dalam kausa liya’buduun yang terdapat dalam firman Allah dalam QS. Azzariyat (51) ayat 56: yang artinya:
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku”
Kata ‘abd sendiri dalam al-Qur’an pertamakali ditemukan dalam QS. al-‘Alaq ayat 10, kemudian dalam bentuk kata kerja ditemukan dalam QS. al-Fatihah (1): 5. Dari kedua penggunaan kata ‘abd tersebut, terlihat bahwa konsep yang terkandung meliputi dua aspek, yaitu aspek subjek yang menyembah, atau manusia dan objek yang disembah.
Dari sisi terminologi, terdapat sejumlah perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang makna ibadah. Ibn Katsir, misalnya, mendefinisikan ibadah dengan menunjuk sifatnya sebagai perbuatan yang menghimpun rasa cinta, penyerahan diri yang sempurna dari seorang hamba kepada Tuhan dan rasa khawatir yang mendalam terhadap penolakan Tuhan. Sedangkan Rasyid Ridha mengemukakan bahwa ‘ibadah adalah kesadaran jiwa akan keagungan yang tidak diketahui sumbernya. Kekuatan, hakekat dan wujud sumber tersebut tak terjangkau oleh manusia.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kata ‘abd mengandung pengertian ibadah dalam makna penyerahan diri terhadap hukum-hukum Allah yang menciptakannya. Melalui kata ‘abd, Allah ingin menunjukkan salah satu kedudukan manusia sebagai hamba Allah yang mengemban tugas-tugas peribadatan.
Sedangkan mengenai kedudukan manusia sebagai khalifah dapat kita temukan firman Allah Swt dalam QS. al-Fathir (35) ayat 39: yang artinya:
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.”
Ayat tersebut memberikan penegasan terhadap informasi yang terkandung dalam ayat-ayat  sebelumnya. Kalau ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah mengetahui apa yang tidak terlihat  oleh manusia, maka ayat ini menjelaskan Allah menjadikan manusia sebagai  khalifah fil Ardh.
Dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai khalifah fil Ardh, Ensiklopedi Islam mengemukakan pengertian bahwa kata khalifah berarti wakil, pengganti  atau duta Tuhan di muka bumi atau pengganti Nabi Muhammad saw. dalam fungsinya sebagai kepala pemerintahan. Lebih jauh lagi, khalifah fil Ardh digambarkan sebagai kedudukan yang suci, yakni lill al-Allah fil Ardh (bayang-bayang Allah di muka bumi).
Karena itu istilah khalifah dapat berarti representasi Tuhan di muka bumi. Kedudukan sebagai khalifah meniscayakan manusia untuk mempertanggung-jawabkan di hadapan Allah segala perbuatannya menyangkut pelaksanaan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Karena itu, selama hidupnya manusia harus mengimplementasikan dirinya sebagai makhluk yang bermoral. Ia harus mempertimbangkan segala perilakunya, karena kedudukannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Khalifah dapat juga berarti pengganti Nabi Muhammad saw. dalam fungsinya sebagai kepala negara atau sebagai kepala pemerintahan, baik menyangkut urusan agama maupun urusan dunia.
Semua pandangan tentang khalifah di atas mengisyaratkan satu hal sama bahwa kata khalifah bermakna seseorang yang menggantikan yang lainnya. Hanya saja pada tataran ini terdapat perbedaan yang cukup tajam tentang siapa yang digantikan. Dalam hal ini, Shalih Abdullah mengklarifikasikan pandangan-pandangan itu ke dalam tiga kelompok, yaitu:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa manusia merupakan spesies yang menggantikan spesies yang pernah lebih dahulu hidup di bumi.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa istilah khalifah dipakai untuk menunjuk kelompok manusia yang menggantikan kelompok manusia lain.
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa khalifah tidak hanya merujuk kepada “seseorang pengganti” atau “pengikut jejak yang lain” namun lebih jauh, kata itu berarti “pengganti Allah”.
Untuk memperjelas konteks pemaknaan terhadap kata khalifah, berikut ini gambaran yang diungkapkan QS. al-Baqarah (2) ayat 30. Yang artinya;
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak  menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan berfirman “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Jika kita bisa melihat bagaimana hubungan antara manusia dengan Allah, sebagaimana digambarkan dalam surat al-Baqarah ayat 30 di atas, hubungan antara yang mencipta dan yang dicipta. Tampak jelas bahwa penunjukan istilah khalifah lebih cenderung pada pengertian sebagai pengganti Allah. Dengan kata lain, kata itu memiliki pengertian bahwa manusia mempunyai beban normatif untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh Allah swt.
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pengertian khalifah sebagai wakil Tuhan di muka bumi menuju pada pengertian individual yang dimiliki oleh setiap umat manusia. Semua manusia berhak mendapat predikat yang sama, hanya saja kualifikasi ke-khalifahannya akan ditunjukkan oleh sejauh mana hasil optimalisasi potensi kemanusiaannya masing-masing.
Konsep khalifah dan ‘abd, meski keduanya memiliki dimensi perbedaan yang cukup tegas, tidak lantas bisa dipertentangkan, sebab kedua konsep itu berada dalam mainstream pemikiran yang sama. Menarik untuk dikemukan di sini penjelasan Tobrono dan Samsul Arifin yang menyatakan bahwa fungsi manusia sebagai ‘abd dan khalifah dalam konteks yang lebih makro, atau minimal dalam paradigma tauhid, tidak dipandang kesatuan yang terpisah, tapi mengandung adanya hubungan dialektik yang akan mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi kemanusiaannya.
Hasan Langgulung menyatakan bahwa tugas manusia, bukan saja sekedar kesanggupan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya, tapi lebih jauh adalah kesanggupan manusia untuk mengurus sumber-sumber yang ada di bumi.
Dapat kita identifikasi beberapa tugas dan fungsi manusia, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, manusia sebagai khalifah dalam pengertian wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan dan sebagai hamba Allah, pada dasarnya mengandung implikasi moral sehingga kehidupannya harus dibatasi oleh nilai-nilai dan etika ketuhanan. Manusia tidak diperkenankan untuk  menentang hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, justru sebaliknya ia harus mendasarkan  seluruh kehidupannya atas nilai-nilai dan norma-norma universal dan eternal, yakni wahyu Ilahi. Dalam Bahasa ungkapan Tedi Priatna, seorang manusia harus dapat melaksanakan kode etik moralitas dalam mengendalikan nafsu hewaninya, sehingga ia bisa semakin dekat kepada Yang Maha Kuasa.
Kedua: manusia juga harus menginternalisasikan tugas kebudayaan yang memiliki ciri kreatifitas pada kehidupannya, agar ia senantiasa menciptakan sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Menurut Musa Asy’ari, tugas ini diemban manusia karena ia dipandang mempunyai kemampuan konseptual dengan watak keharusan eksperimen yang berkesinambungan sampai menunjukkan kemakmuran kesejahteraan hidup di muka bumi. Syahminan Zaini dalam bukunya Mengenal Manusia Lewat al-Qur’an menyatakan, bahwa sebagai khalifah dan ‘Abdullah, manusia bertugas mensyukuri segala nikmat itu sesuai dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat, yakni dengan berkarya kreatif, memakmurkan bumi, membudayakan alam atau mengkulturkan natur.
Tugas terakhir ini, pada dasarnya secara implisit menggambarkan konsep metafisis antropologis Islam tentang manusia dengan pandangan yang positif dan konstruktif. Dalam Islam manusia tidak ditempatkan secara simplikatif sebagai bagian sistematik dari realita makrokosmos. Lebih jauh Islam menuntut peran kreatif manusia untuk mengelola alam sebagai sumber daya material (material resource) dalam rangka mengejawantahkan tugas kemanusiaannya di muka bumi.
Dua tugas pokok di atas haruslah dijadikan sebagai paduan interaktif dan dialektif yang saling mempengaruhi dan saling mendukung, sehingga tercipta pribadi yang utuh dan sempurna dalam mengaktualisasikan nilai-nilai dalam rangka trilogi hubungan yang harmonis dan dinamis, yaitu hubungan antara manusia dengan masyarakat dan hubungannya dengan lingkungan alam sekitarnya.
Dari kajian tentang manusia yang dihadapkan juga terhadap tugas dan tanggung jawabnya, manusia itu terdiri atas dua substansi, yaitu substansi jasad atau materi, yang bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah Swt. dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya tunduk dan mengikuti sunnatullah (aturan, ketentuan hukum Allah yang berlaku di alam semesta); Substansi immateri non jasadi yaitu penghembusan atau peniupan ruh (ciptaan-Nya) ke dalam diri manusia sehingga manusia merupakan benda organik yang mempunyai hakekat kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah. Manusia yang terdiri dari dua substansi, telah dilengkapi dengan alat-alat potensial atau disebut fitrah, yang harus diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di dunia melalui proses pendidikan, untuk selanjutnya dipertanggung-jawabkan di hadapan-Nya kelak di akhirat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel