Esensi Penciptaan Manusia: Sebagai Abdullah dan Khalifatullah
Sunday, 24 April 2016
Abdullah Fattah Jalal dalam bukunya Min al-Ushul al-Tarbiyah fi al-Islam telah mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan
alat-alat potensial yang dianugerahkan oleh
Allah kepada manusia untuk meraih ilmu pengetahuan. Masing-masing alat itu saling berkaitan dan melengkapi dalam mencapai ilmu. Diantara alat-alat
tersebut adalah:
1. Al-lams
dan al-syum (alat peraba dan alat penciuman/pembau),
sebagaimana firman Allah
dalam QS. al-An’am: 7 dan QS. Yusuf: 94.
2. Al-sam’u
(alat pendengaran). Penyebutan alat ini dihubungkan dengan
penglihatan dan qalbu, yang menunjukkan adanya saling melengkapi antara berbagai
alat itu untuk mencapai ilmu pengetahuan, ada
di QS. al-Isra’ (17): 36, QS. al-Mu’minun ( 23): 78, QS. al-Sajadah (32): 9,
QS. al-Mulk (67 ): 23, dan sebagainya.
3. Al-abshar
(penglihatan). Banyak ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk
melihat dan
merenungkan apa yang dilihatnya, sehingga dapat
mencapai hakekat. Sebagaimana firman Allah QS. al-A’raf
(7): 185; QS. Yunus (10): 101; QS. al-Sajadah (32): 27 dan sebagainya.
4. Al-‘aql
(akal atau daya berpikir). Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan akal dalam berpikir, sebagaimana firman Allah
dalam QS. Ali Imran (3): 191. Al Qur’an menjelaskan
bahwa Islam tegak di atas pemikiran sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-An’am
(6): 50. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa
penggunaan akal memungkinkan diri manusia untuk terus mengingat (al-Zikr)
dan memikirkan atau merenungkan ciptaan-Nya sebagaimana dalam QS. al-Ra’d (13):
19. Penggunaan akal memungkinkan manusia mengetahui tanda-tanda (kebesaran atau
keagungan) Allah serta mengambil pelajaran dari padanya.
5. Al-Qalb
(kalbu), hal ini termasuk alam ma’rifat yang digunakan manusia untuk
dapat mencapai ilmu, sebagaimana firman-Nya QS. al-Hajj (22): 46. QS. Muhammad
(47): 24 dan sebagainya. Kalbu ini mempunyai kedudukan khusus dalam ma’rifat
Ilahiah, dengan kalbu manusia dapat meraih berbagai ilmu dan ma’rifat yang
diserap dari sumber Ilahi dan wahyu itu sendiri diturunkan ke dalam kalbu Nabi Muhammad saw. sebagaimana
firman-Nya QS. Al Syu’ara (26): 192-194.
Dari sumber materil potensi tersebut, tampak jelas bahwa manusia
memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk Tuhan lainnya di muka bumi ini.
Keistimewaan itu bisa kita lihat dari sisi penciptaan fisik maupun personalitas
karakternya. Karena keistimewaan itu manusia memiliki tugas dan kewajiban yang
berbeda dengan makhluk yang lain. Al-Qur’an memberikan tinjauan yang jelas
mengenai kedudukan dan tugas manusia di muka bumi.
Tinjauan al-Qur’an terhadap konsep manusia bisa dilihat dari dua
sudut pandang yang berbeda, yaitu dari sudut pandang hubungan manusia dengan
Allah Swt. dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Atau dengan kata lain,
kedudukan manusia menurut al-Qur’an terbagi dua, yaitu sebagai ‘abdullah
dan sebagai khalifatullah.
Al-Qur’an telah menjelaskan eksistensi manusia sebagai ‘abd
atau hamba Allah ini dalam kausa liya’buduun yang terdapat dalam firman Allah dalam QS. Azzariyat (51) ayat
56: yang artinya:
“Dan
tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku”
Kata ‘abd sendiri dalam al-Qur’an pertamakali ditemukan
dalam QS. al-‘Alaq ayat 10, kemudian dalam bentuk kata kerja ditemukan dalam
QS. al-Fatihah (1): 5. Dari kedua penggunaan kata ‘abd tersebut,
terlihat bahwa konsep yang terkandung meliputi dua aspek, yaitu aspek subjek yang
menyembah, atau manusia dan objek yang disembah.
Dari sisi terminologi, terdapat sejumlah perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang makna ibadah. Ibn
Katsir, misalnya, mendefinisikan ibadah
dengan menunjuk sifatnya sebagai perbuatan yang menghimpun rasa cinta,
penyerahan diri yang sempurna dari seorang hamba kepada Tuhan dan rasa khawatir
yang mendalam terhadap penolakan Tuhan. Sedangkan Rasyid Ridha mengemukakan
bahwa ‘ibadah adalah kesadaran jiwa akan keagungan yang tidak diketahui sumbernya.
Kekuatan, hakekat dan wujud sumber tersebut tak terjangkau oleh manusia.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
kata ‘abd mengandung pengertian ibadah dalam makna penyerahan diri terhadap
hukum-hukum Allah yang menciptakannya. Melalui kata ‘abd, Allah ingin menunjukkan
salah satu kedudukan manusia sebagai hamba Allah yang mengemban tugas-tugas
peribadatan.
Sedangkan mengenai kedudukan manusia sebagai khalifah dapat
kita temukan firman Allah Swt dalam QS. al-Fathir (35) ayat 39: yang artinya:
“Dialah
yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.”
Ayat tersebut memberikan penegasan terhadap informasi yang
terkandung dalam ayat-ayat sebelumnya.
Kalau ayat sebelumnya menjelaskan bahwa Allah mengetahui apa yang tidak
terlihat oleh manusia, maka ayat ini
menjelaskan Allah menjadikan manusia sebagai
khalifah fil Ardh.
Dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai khalifah fil
Ardh, Ensiklopedi Islam mengemukakan
pengertian bahwa kata khalifah berarti wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi atau pengganti Nabi Muhammad
saw. dalam fungsinya sebagai kepala pemerintahan. Lebih jauh lagi, khalifah fil Ardh digambarkan sebagai
kedudukan yang suci, yakni lill al-Allah fil Ardh (bayang-bayang Allah di muka bumi).
Karena itu istilah khalifah dapat berarti representasi Tuhan di muka bumi.
Kedudukan sebagai khalifah meniscayakan manusia untuk mempertanggung-jawabkan
di hadapan Allah segala
perbuatannya menyangkut pelaksanaan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Karena itu, selama
hidupnya manusia harus mengimplementasikan dirinya sebagai makhluk yang bermoral. Ia harus
mempertimbangkan segala perilakunya, karena kedudukannya sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Khalifah dapat juga berarti pengganti Nabi Muhammad saw.
dalam fungsinya sebagai kepala
negara atau sebagai kepala pemerintahan, baik menyangkut urusan agama maupun urusan dunia.
Semua pandangan tentang khalifah di atas mengisyaratkan
satu hal sama bahwa kata khalifah bermakna seseorang yang menggantikan
yang lainnya. Hanya saja pada tataran ini terdapat perbedaan yang cukup tajam tentang siapa yang digantikan. Dalam
hal ini, Shalih Abdullah mengklarifikasikan
pandangan-pandangan itu ke dalam tiga kelompok, yaitu:
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa manusia merupakan spesies yang menggantikan
spesies yang pernah lebih dahulu hidup
di bumi.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa istilah khalifah dipakai
untuk menunjuk kelompok manusia
yang menggantikan kelompok manusia lain.
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa khalifah tidak hanya
merujuk kepada “seseorang pengganti” atau “pengikut jejak yang lain” namun
lebih jauh, kata itu berarti “pengganti Allah”.
Untuk memperjelas konteks pemaknaan terhadap kata khalifah, berikut
ini gambaran yang diungkapkan QS. al-Baqarah (2) ayat 30. Yang artinya;
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan engkau?” Tuhan
berfirman “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Jika kita bisa melihat bagaimana hubungan antara manusia dengan
Allah, sebagaimana digambarkan dalam
surat al-Baqarah ayat 30 di atas, hubungan antara yang mencipta dan yang dicipta. Tampak jelas bahwa penunjukan
istilah khalifah lebih cenderung pada pengertian sebagai pengganti
Allah. Dengan kata lain, kata itu memiliki pengertian bahwa manusia mempunyai
beban normatif untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh Allah swt.
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa pengertian khalifah sebagai
wakil Tuhan di muka bumi menuju pada pengertian individual yang dimiliki oleh
setiap umat manusia. Semua manusia
berhak mendapat predikat yang sama, hanya saja kualifikasi ke-khalifahannya akan
ditunjukkan oleh sejauh mana hasil optimalisasi potensi kemanusiaannya masing-masing.
Konsep khalifah dan ‘abd, meski keduanya memiliki
dimensi perbedaan yang cukup tegas, tidak lantas bisa dipertentangkan, sebab
kedua konsep itu berada dalam mainstream
pemikiran yang sama. Menarik untuk dikemukan di sini penjelasan Tobrono dan
Samsul Arifin yang menyatakan bahwa fungsi manusia sebagai ‘abd dan khalifah
dalam konteks yang lebih makro, atau minimal dalam paradigma tauhid, tidak
dipandang kesatuan yang terpisah, tapi mengandung adanya hubungan dialektik
yang akan mengantarkan manusia kepada puncak eksistensi kemanusiaannya.
Hasan Langgulung menyatakan bahwa tugas manusia, bukan saja
sekedar kesanggupan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan pada dirinya, tapi
lebih jauh adalah kesanggupan manusia untuk mengurus sumber-sumber yang ada di
bumi.
Dapat kita identifikasi beberapa tugas dan fungsi manusia, di
antaranya sebagai berikut:
Pertama, manusia sebagai khalifah dalam
pengertian wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan dan sebagai hamba
Allah, pada dasarnya mengandung implikasi moral sehingga kehidupannya harus
dibatasi oleh nilai-nilai dan etika ketuhanan. Manusia tidak diperkenankan untuk
menentang hukum-hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah, justru sebaliknya ia harus mendasarkan seluruh kehidupannya atas nilai-nilai dan norma-norma
universal dan eternal, yakni wahyu Ilahi. Dalam Bahasa ungkapan Tedi Priatna,
seorang manusia harus dapat melaksanakan kode etik moralitas dalam
mengendalikan nafsu hewaninya, sehingga ia bisa semakin dekat kepada Yang Maha Kuasa.
Kedua: manusia juga harus menginternalisasikan tugas kebudayaan yang
memiliki ciri kreatifitas pada kehidupannya, agar ia senantiasa menciptakan sesuatu
yang baru sesuai dengan kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Menurut
Musa Asy’ari, tugas ini diemban manusia karena ia dipandang mempunyai kemampuan
konseptual dengan watak keharusan eksperimen yang berkesinambungan sampai
menunjukkan kemakmuran kesejahteraan hidup di muka bumi. Syahminan Zaini dalam
bukunya Mengenal Manusia Lewat al-Qur’an menyatakan, bahwa sebagai khalifah dan ‘Abdullah, manusia
bertugas mensyukuri segala nikmat itu sesuai dengan kehendak Sang Pemberi
Nikmat, yakni dengan berkarya kreatif, memakmurkan bumi, membudayakan alam atau
mengkulturkan natur.
Tugas terakhir ini, pada dasarnya secara implisit menggambarkan
konsep metafisis antropologis Islam
tentang manusia dengan pandangan yang positif dan konstruktif. Dalam Islam manusia
tidak ditempatkan secara simplikatif sebagai bagian sistematik dari realita
makrokosmos. Lebih jauh Islam menuntut peran kreatif manusia untuk mengelola
alam sebagai sumber daya material (material resource) dalam rangka
mengejawantahkan tugas kemanusiaannya di muka bumi.
Dua tugas pokok di atas haruslah dijadikan sebagai paduan
interaktif dan dialektif yang saling mempengaruhi dan saling mendukung,
sehingga tercipta pribadi yang utuh dan sempurna dalam mengaktualisasikan
nilai-nilai dalam rangka trilogi hubungan yang harmonis dan dinamis, yaitu
hubungan antara manusia dengan masyarakat dan hubungannya dengan lingkungan
alam sekitarnya.
Dari kajian tentang manusia yang dihadapkan juga terhadap tugas
dan tanggung jawabnya, manusia itu terdiri atas dua substansi, yaitu substansi jasad atau materi, yang bahan
dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan
Allah Swt. dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya tunduk dan mengikuti sunnatullah
(aturan, ketentuan hukum Allah yang berlaku di alam semesta); Substansi immateri
non jasadi yaitu penghembusan atau peniupan ruh (ciptaan-Nya) ke dalam diri
manusia sehingga manusia merupakan benda organik yang mempunyai hakekat kemanusiaan
serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah. Manusia yang terdiri dari
dua substansi, telah dilengkapi dengan alat-alat potensial atau disebut fitrah,
yang harus diaktualisasikan dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan nyata di
dunia melalui proses pendidikan, untuk selanjutnya dipertanggung-jawabkan di
hadapan-Nya kelak di akhirat.