-->

Kepongahan PT. Freeport Indonesia

Kepongahan PT. Freeport Indonesia
Share
“The world has enough for everyone’s need, but not enough for everyone’s greed,” ujar Mahatma Gandi tiga perempat abad yang lalu. Kurang lebih perkataan pejuang kemanusiaan India tersebut terlihat sangat relevan dengan kontekstualiasasi saat ini. Saat kesejahteraan atas sumber daya alam hanya bisa dinikmati segelintir orang saja. Sementara jutaan warga lainnya ternyata harus hidup dalam jurang kemiskinan yang amat parah.
Tengok saja laporan yang diturunkan INFID baru-baru ini, yang menunjukkan bahwa kekayaan 85 orang di negeri ini ternyata berbanding lurus dengan kekayaan 3,5 miliar orang miskin. Konsolidasi kapital ini merentang di banyak ceruk ekonomi. Salah satu yang menjadi sorotan panas minggu-minggu ini adalah penguasaan kekayaan sumber daya alam di Papua oleh PT Freeport Indonesia.
Jika kita membaca lintasan sejarah, centang perenang penguasaan sumber daya alam di Papua oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) ini sudah dimulai sejak awal Pemerintahan Orde Baru. Pada masa awal Pemerintahan Soeharto, 5 April 1967, ditandatanganilah kontrak karya Freeport untuk pertama kalinya dengan berlandaskan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing selama 30 tahun ke depan.
Salah satu pejabat pemerintah yang berperan besar atas beroperasinya Freeport di Ertsberg adalah Jenderal Ibnu Sutowo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Penandatanganan Kontrak Karya dengan PTFI ini akhirnya menjadi penanda perubahan wajah perekonomian Indonesia dari sistem ekonomi tertutup di era Soekarno menjadi terbuka di era Soeharto.
Pada tahun 1991 akhirnya ditandatangani perjanjian perpanjangan Kontrak Karya antara pemerintah Indonesia dengan PTFI. Ini adalah penandatanganan untuk yang kedua kalinya. Penandatanganan ini sengaja dilakukan sebelum masa kontrak habis pada tahun 1997, tujuannya adalah untuk memastikan bahwa PTFI bisa terus beroperasi untuk menjalankan bisnis pengerukan di tanah Papua.
Orde Reformasi bergulir, regulasipun berubah. Dengan semangat kesejahteraan yang berkeadilan, akhirnya lahirlah UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dengan adanya undang-undang ini, maka setidaknya ada beberapa konsekuensi atas eksistensi Kontrak Karya yang banyak merugikan Indonesia.
Pertama, PTFI diwajibkan membangun smelter untuk pemurnian hasil produksi. Celakanya, sampai saat ini tidak pernah ada itikad baik dari perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat tersebut untuk membangun smelter seperti yang diamanatkan dalam undang-undang. Kedua, jika perpanjangan Kontrak Karya gagal, maka skema operasi PTFI harus menggunakan IUP (Ijin Usaha Pertambangan).
Hal ini tentu menjadi angin segar bagi kedaulatan NKRI, mengingat Kontrak Karya mendudukan PTFI setara dengan Pemerintah Indonesia karena menggunakan pola Goverment To Business (G2B). Berbeda jauh dengan skema IUP, yang mengubah pola G2B menjadi B2B (Business to Business) dan artinya PTFI berkedudukan subordinatif terhadap pemerintah.
Dengan skema ini tentu marwah negeri tercinta ini bisa terjaga dengan baik di mata Internasional. Belum lagi keuntungan penyelamatan sisa aset SDA yang bisa didapatkan oleh negara ini. Dengan skema IUP ini, maka (mengacu pada Pasal 53 UU no 4 Tahun 2009) luasan wilayah yang diizinkan untuk operasi produksi maksimal seluas 25.000 Ha.  Artinya akan ada penyempitan luasan operasi produksi dari yang saat ini dikerjakan oleh PTFI, dari 167.000 Ha menjadi hanya 25.000 Ha.
Permasalahan lain yang juga tidak kalah penting terkait dengan proses divestasi yang sampai saat ini hanya berjalan di tempat saja. Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi pada tahun ini juga menerbitkan PP No. 1 Tahun 2017, yang salah satu amanatnya adalah adanya proses divestasi 51 persen untuk Pemerintah Indonesia secara bertahap.
Terbitnya peraturan ini adalah salah satu langkah strategis untuk mengembalikan kekayaan kepada Negara yang selama beberapa dasawarsa telah dikuasai pihak asing. Dan ini juga sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33.
Kedaulatan hukum tentulah menjadi tujuan utama dalam beberapa permasalahan yang terjadi dalam kasus ini. Freeport seringkali melakukan tindakan yang sewenang-wenang dengan mengabaikan aturan-aturan yang berlaku. Freeport selalu mengeluarkan ancaman yang membuat Pemerintah Indonesia tidak berkutik dan selalu mengalah.
Sudah sewajarnya jika Pemerintah Indonesia dengan tegas mengambil sikap terhadap Freeport. Cukup sudah PT. Freeport Indonesia mempecundangi negeri kita selama setengah abad. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tidak boleh lagi mengalah mengingat emas merupakan bahan mineral yang tidak dapat diperbaharui. Selain itu akan menimbulkan kecemburuan dari perusahaan tambang yang lain, mengingat Freeport seakan-akan selalu mendapat keistimewaan dengan kelonggaran aturan.
Sebagai negara yang berdaulat secara hukum dan politik, langkah atau kebijakan melalui PP No. 1 Tahun 2017 yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah tepat. Mengingat sudah lebih dari tiga dasawarsa dihadapkan oleh kegamangan untuk mengambil kebijakan karena terbentur oleh ikatan kontrak dengan Freeport.
Sebagai pimpinan tertinggi negara yang telah dipilih secara langsung oleh rakyatnya, kini nasib kekayaan dan aset Negara bergantung pada political will pemerintah dan jajarannya. Dukungan atau support juga telah berdatangan dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj yang tentunya merupakan perwakilan dari warga Nahdliyin di Indonesia sebagai ormas Islam dengan jumlah anggota terbesar di NKRI.
Sebagai aktivis PMII, penulis menganggap bahwa ini merupakan langkah ‘jihad’ sesungguhnya yang disuarakan oleh NU. Menjaga dan melindungi kepentingan negara adalah salah satu platform PMII dalam bernegara dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai bahan perbandingan, ketika menjabat sebagai presiden, KH. Abdurrahman Wahid yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, berani mengeluarkan PP No. 13 Tahun 2000 yang berisi tentang peningkatan royalti yang harus dibayarkan oleh Freeport menjadi 4 persen untuk tembaga dan 3,75 persen untuk emas.
Hari ini, hampir seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke sedang menunggu dan memperhatikan bagaimana langkah Presiden Jokowi sebagai nakhoda dari kapal induk yang sangat besar ini dalam melindungi dan menjaga aset NKRI. Tentunya, banyak konsekuensi yang akan diterima ke depan. Belum lagi kepentingan-kepentingan para pengusaha dan pejabat-pejabat pemerintah yang selama ini ‘bermain’ di balik layar.
Namun, adakah kepentingan yang lebih besar selain melindungi aset Negara demi kepentingan generasi di masa yang akan datang? Pemerintah Indonesia harus konsisten dengan penegakan aturan-aturan yang telah disahkan tanpa terpengaruh pihak asing. Mengingat wilayah pertambangan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Pemerintah harus segera melakukan penyesuaian-penyesuaian legal formal kerjasama investasi dengan Freeport. Apabila sudah benar-benar tidak dapat ditemukan kesepakatan yang menguntungkan Indonesia, maka tidak memperpanjang kerjasama dengan Freeport hingga berakhinya KK Freeport di tahun 2021, merupakan salah satu alternatif pilihan yang harus dipertimbangkan.
Hal ini mungkin tidak mudah bagi pemerintah, melihat tekanan politik dan ekonomi baik dari dalam maupun luar negeri yang akan terjadi jika pemerintah mengambil kebijakan ini. Namun, sebagai negara yang berdaulat, Indonesia tidak boleh kalah dengan perusahaan asing yang mencoba mengkerdilkan negara ini. Masih cukup waktu bagi pemerintah untuk mempersiapkan strategi dan sumber daya manusia terbaik di negeri ini untuk mengelola tambang emas di Bumi Cendrawasih.
Iden Robert Ulum (Calon Ketua Umum/Ketum PB PMII 2017)

0 Response

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel