Aparat Penegak Hukum: Rekonstruksi Penegakan Hukum Di Indonesia
Friday, 23 December 2016
![Aparat Penegak Hukum: Rekonstruksi Penegakan Hukum Di Indonesia Aparat Penegak Hukum: Rekonstruksi Penegakan Hukum Di Indonesia](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjguGaUQPyFsLaKZGQE0ol9zDFgV4_dbhc1n7Rhwyw8VgLTJBIyF19izfKAc2ulabZsw9xhNBuaMCvu9q2j-0Fg5jqyvU5ay35knKi0txx4mo-mBPc_27YW8qKyM6U3z2ScubClm4Z7ZoDw/w600/1035275620X285.jpg)
Profesionalitas penegak
hukum di negeri ini seolah berada pada titik nadir. Mewabahnya judicial corruption membuat hal ini
menjadi aktual dan relevan. Penegak hukum didengungkan sebagai profesi luhur (honorable profession), namun di sisi
lain diperburuk citranya dengan perilaku koruptif penyandang profesi tersebut.
Jual beli perkara tidak lagi dipandang aneh, apalagi buruk, tetapi dianggap
wajar. Semua menjadi pertanda, bahwa berbagai peraturan hukum yang secara normatif
mengatur seluruh proses peradilan akhirnya tak berdaya mengatasi judicial corruption. Sebagai nilai yang
menjadi jiwa (core value) hukum,
keadilan tidak benar-benar diperjuangkan.
Oleh kebanyakan penegak
hukum, profesi penegak hukum direduksi menjadi sekadar pekerjaan guna mendapat
materi. Pemahaman seperti itu mengabaikan dimensi pelayanan sebagai unsur esensial
profesi itu. Para profesional penegak hukum lupa, profesi adalah peran sosial
yang eksistensi dan fungsinya tergantung pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat.
Penegakan hukum adalah
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah,
pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak
sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum dalam
arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta
melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum. Kegiatan
penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum
sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan
sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan
hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.
Penegakan hukum di
Indonesia saat ini sangatlah jauh dari konsep negara hukum (rechtsstaat) dimana idealnya hukum merupakan yang utama, diatas
politik dan ekonomi. Suburnya judicial corruption
dalam proses peradilan ini yang mengakibatkan hancurnya sistem hukum dan lembaga
peradilan menjadi tercemar karena keacuhan aparat penegak hukum akan penegakan hukum
yang efektif, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia baik secara
intelektualitas maupun spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan
internal yang sangat lemah, dan rendahnya integritas pimpinan lembaga penegak hukum
menjadi sebab terpuruknya penegakan hukum di Indonesia.
Hal tersebut dapat
dilihat dalam pelaksanaannya di pengadilan, hakim melakukan penyelewengan
berupa penyelesaian perkara yang tidak adil dan juga menghasilkan putusan-putusan
yang dapat diintervensi. Hal tersebut bisa muncul karena adanya faktor-faktor penyebab
antara lain seperti: gaji hakim yang kecil, minimnya kesejahteraan sosial,
tekanan dari kekuasaan yang lebih tinggi, intervensi politik dan ekonomi, dan
juga berhubungan dengan integritas hakim itu sendiri.
Dalam institusi
kepolisian juga masih banyak pelanggaran yang dilakukan seperti adanya
pungutan-pungutan liar, kasus suap oknum Polri, dan tindakan main hakim sendiri
yang dilakukan oknum polisi kepada
masyarakat sipil seperti pembubaran paksa dan penembakan terhadap aksi
demonstran. Kemudian ada oknum Jaksa tertentu yang memanfaatkan posisi lemah tersangka
atau terdakwa dalam persidangan untuk mengeruk keuntungan. Dapat dibayangkan, ketika
seseorang ditetapkan jadi tersangka, tidak jelas sampai kapan dirinya menjadi
tersangka, meskipun KUHAP sudah membatasi jangka waktunya. Bisa menghabiskan
waktu sangat lama, melelahkan, dan tidak pasti. Selama proses itu berlangsung,
oknum penegak hukum memanfaatkan posisi lemah tersangka atau terdakwa untuk kepentingan
pribadi dan memperkaya diri.
Kemudian, yang lebih
lanjut adalah profesi advokat. Penyalahgunaan profesi advokat terjadi secara
terang-terangan. Masyarakat disuguhi secara terbuka di media cetak dan elektronik
pengungkapan rahasia klien oleh advokat yang membela tersangka atau terdakwa
tindak pidana korupsi secara terbuka. Dalam hal ini advokat tidak melindungi
kepentingan dan rahasia klien yang dipercayakan kepadanya baik itu dalam
wawancara atau talk-show yang
ditayangkan.
Diduga pengungkapan
rahasia klien ini dalam perkara tindak pidana korupsi dilakukan karena kepentingan
politik bukan kepentingan pembelaan, bisa juga karena unsur mencari popularitas
atau sensasi atau karena konflik kepentingan. Kepentingan klien tidak lagi
menjadi prioritas malahan jadi komoditi untuk memperkaya diri.
Selain
pelanggaran-pelanggaran profesi yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum tersebut,
maraknya praktik judicial corruption
yang terjadi di Indonesia juga sudah lama menjadi keprihatinan di Indonesia.
Pengertian judicial corruption menurut
International Bar Association adalah
sebagai berikut:
“According
to International Bar Association, the judicial system may be corrupted when any
act or omission occurs which is calculated to, or does, result in the loss of impartiality of the judiciary;
Specifically, corruption occurs whenever a judge or court officer seeks or
receives a benefit of any kind or promise of a benefit of any kind in respect
of an exercise of power or other action. Such acts usually constitute criminal offences
undernational law; Examples of criminal corrupt conduct are: Bribery; Fraud; Utilisation of public
resources for private gain; Deliberate loss of court records; and Deliberate
alteration of court records”.
Menurut pengertian
tersebut, “sistem hukum dapat menjadi korup ketika adanya suatu tindakan atau kelalaian yang diperhitungkan akan
mengakibatkan hilangnya sifat imparsial peradilan. Secara khusus, korupsi terjadi manakala seorang hakim
atau pejabat pengadilan mencari atau menerima keuntungan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan kekuasaan atau
tindakan lainnya. Tindakan tersebut
biasanya merupakan tindak pidana berdasarkan hukum nasional; contoh tindak pidana
korupsi adalah: Penyuapan; Penipuan;
Penggunaan sarana publik untuk kepentingan pribadi; Penghilangan dengan sengaja dokumen pengadilan; dan
Perubahan dengan sengaja dokumen pengadilan”.
International
Commission of Jurists (”ICJ”) dalam papernya
berjudul Reviewing Measures to Prevent
and Combat Judicial Corruption menyatakan bahwa dari seluruh jenis-jenis
korupsi, judicial corruption
merupakan kategori yang paling berbahaya (insidious)
dan menjijikan (odious), sebagaimana
dinyatakan berikut:
”...of
all types of corruption, judicial corruption is perhaps the most insidious and
odious because this
type of corruption gnaws and destroys a most important pillar of a democratic government. Much has been written
about the topic of corruption, but judicial corruption tops the list of the condemned. Corruption adulterates,
clogs, pollutes, perverts and
distorts the dispensation of justice.”
Melihat makna yang
terkandung dari yang disampaikan oleh ICJ ini, diketahui bahwa judicial corruption merupakan jenis
korupsi yang paling tinggi untuk kategori kejahatan yang terkutuk (condemned) karena judicial corruption menghancurkan bagian dari pilar-pilar
pemerintahan yang demokratis. Usaha untuk memberantas korupsi yang sudah
mengakar dan membudaya ini harus melibatkan berbagai elemen atau pihak, yaitu
dari polisi, jaksa, hakim, masyarakat, serta advokat. Fenomena berupa jual-beli
kasus, jual-beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar-menawar tuntutan,
pengacara “hitam”, dan praktik-praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) lain
yang masih jalan terus juga harus segera dibasmi.
Istilah judicial corruption juga sering
disamakan dengan mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan suatu pola atau
struktur yang berproses yang memungkinkan oknum yang terlibat melakukan jual beli
perkara secara terorganisir. Mafia peradilan dapat terjadi karena sistem dan budaya
penegakan hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum memberikan peluang
untuk diselewengkan. Hukum dan keadilan tidak berjalan sebagaimana mestinya
serta dapat diperdagangkan seperti ‘komoditas’.
Mafia peradilan di
Indonesia telah mencapai tingkat parah dan hampir mematikan lembaga peradilan
itu sendiri. Dari penelitian yang dilakukan Indonesia
Corruption Watch (ICW) dapat diperoleh pengertian tentang Mafia Peradilan:
“Mafia
peradilan merupakan korupsi yang sistematik yang melibatkan seluruh pelaku
yang berhubungan atau berkaitan dengan lembaga
peradilan mulai dari polisi, jaksa, advokat,
panitera, hakim sampai petugas di Lembaga Pemasyarakatan.”
Ada
beberapa hal yang menyebabkan terjadinya praktik mafia peradilan, yaitu karena
watak dari institusi penegak hukum
yang korup dan sudah mendarah daging, dan lemahnya pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM)
dalam produk hukum pidana di Indonesia terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kita jarang melihat
putusan-putusan pengadilan yang mengacu kepada
penghormatan atas hak asasi manusia, baik itu hak hidup, kebebasan dan perlindungan atas harta benda.
Masalah-masalah
hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis prosedural untuk
menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan
perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat Indonesia. Pola-pola transaksional dalam hukum marak
terjadi. Namun, profesionalisme aparat penegak hukum bukanlah merupakan harapan
semu bagi bangsa ini.
Hukum
memang belum berjalan dengan baik dan belum menunjukkan taringnya bagi para
penyeleweng keadilan. Di satu sisi, masih ada golongan masyarakat yang memiliki
keyakinan kuat bahwa hukum masih dapat ditegakkan di bumi Indonesia ini. Etika
dan moral yang baik belum mengakar dalam darah aparat penegak hukum, sehingga
menyebabkan kurangnya rasa percaya dari masyarakat terhadap penegakan hukum itu
sendiri. Padahal etika dan moral merupakan bagian yang paling terpenting dalam
menjalankan profesi apapun.
Kondisi
penegakan hukum sekarang dapat diibaratkan sebagai benang ruwet yang harus
segera diurai. Pada dasarnya perlu ada reformasi internal aparat penegak hukum
secara konsisten, profesional dan berkelanjutan berkaitan dengan penegakan
etika profesi hukum. Dalam mengurai keruwetan tersebut diperlukan kesungguhan
dari pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, serta elemen masyarakat
sendiri.
Persoalan
yang kompleks di lapangan harus dihadapi dengan integritas tinggi aparat
penegak hukum berkaitan dengan reformasi sistem yang harus segera diwujudkan.
Persoalan yang kompleks tersebut antara lain judicial corruption yang telah
membudaya dan pola berpikir aparat penegak hukum yang harus dilepaskan dari
kultur lama. Hukum yang berkembang menunjukkan degradasi nilai-nilai
kemanusiaan yang mencemaskan yang diperlihatkan dengan aksi kekerasan, pressure
massa, anarkisme, melawan petugas, dan lain-lain. Hal tersebut dapat
terjadi karena penegakan hukum tak berjalan sesuai dengan harapan sehingga
masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentuk-bentuk
pengadilan massa.
Berbicara mengenai
rekonstruksi hukum di Indonesia tidak bisa hanya dengan
meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum saja, atau dengan melakukan pemecatan Hakim, Jaksa, Polisi, dan/atau pencabutan pemberian kuasa kepada
seorang Advokat sebagai pembela hak-hak hukum seseorang. Proses pembersihan institusi
hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, dan juga sebaliknya. Pendidikan
yang menitikberatkan kepada pemahaman kode etik adalah yang terpenting.
Kemudian harus ada upaya peningkatan dalam penyelenggaraan pendidikan
berkelanjutan (CLE/ Continuous Legal Education) bagi para aparat
penegak hukum dalam rangka peningkatan kapasitas dan kapabilitas para penegak
hukum. Tidak kalah pentingnya adalah adanya perbaikan sistem remunerasi dan jaminan
sosial karena tidak ada negara yang memberi gaji kecil tetapi dapat menghasilkan
penegak hukum yang berintegritas. Meskipun ini terkesan klise namun begitulah
kenyataannya. Dan saat ini dan samapai kapanpun harus ada yang namanya rekonstruksi hukum di Indonesia melalui aparat penegak hukum atau para pelaku penegakan hukum di Indonesia.
Bahwasanya
rekonstruksi hukum di Indonesia akan berhasil ketika “Good law enforcement agencies are not born but
made”. Dalam artian harus ada tekad yang kuat, reformasi sistem penegakan hukum di
Indonesia dapat dicapai, dan keadilan dalam segala aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia tidak akan menjadi impian belaka.