-->

Aparat Penegak Hukum: Rekonstruksi Penegakan Hukum Di Indonesia

Aparat Penegak Hukum: Rekonstruksi Penegakan Hukum Di Indonesia
Share
Profesionalitas penegak hukum di negeri ini seolah berada pada titik nadir. Mewabahnya judicial corruption membuat hal ini menjadi aktual dan relevan. Penegak hukum didengungkan sebagai profesi luhur (honorable profession), namun di sisi lain diperburuk citranya dengan perilaku koruptif penyandang profesi tersebut. Jual beli perkara tidak lagi dipandang aneh, apalagi buruk, tetapi dianggap wajar. Semua menjadi pertanda, bahwa berbagai peraturan hukum yang secara normatif mengatur seluruh proses peradilan akhirnya tak berdaya mengatasi judicial corruption. Sebagai nilai yang menjadi jiwa (core value) hukum, keadilan tidak benar-benar diperjuangkan.

Oleh kebanyakan penegak hukum, profesi penegak hukum direduksi menjadi sekadar pekerjaan guna mendapat materi. Pemahaman seperti itu mengabaikan dimensi pelayanan sebagai unsur esensial profesi itu. Para profesional penegak hukum lupa, profesi adalah peran sosial yang eksistensi dan fungsinya tergantung pelayanan yang fair atas kepentingan masyarakat.

Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah, pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantahkannya dalam sikap, tindak sebagai serangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk  menciptakan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum. Kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan.

Penegakan hukum di Indonesia saat ini sangatlah jauh dari konsep negara hukum (rechtsstaat) dimana idealnya hukum merupakan yang utama, diatas politik dan ekonomi. Suburnya judicial corruption dalam proses peradilan ini yang mengakibatkan hancurnya sistem hukum dan lembaga peradilan menjadi tercemar karena keacuhan aparat penegak hukum akan penegakan hukum yang efektif, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia baik secara intelektualitas maupun spiritual, birokrasi peradilan yang berjenjang, pengawasan internal yang sangat lemah, dan rendahnya integritas pimpinan lembaga penegak hukum menjadi sebab terpuruknya penegakan hukum di Indonesia.

Hal tersebut dapat dilihat dalam pelaksanaannya di pengadilan, hakim melakukan penyelewengan berupa penyelesaian perkara yang tidak adil dan juga menghasilkan putusan-putusan yang dapat diintervensi. Hal tersebut bisa muncul karena adanya faktor-faktor penyebab antara lain seperti: gaji hakim yang kecil, minimnya kesejahteraan sosial, tekanan dari kekuasaan yang lebih tinggi, intervensi politik dan ekonomi, dan juga berhubungan dengan integritas hakim itu sendiri.

Dalam institusi kepolisian juga masih banyak pelanggaran yang dilakukan seperti adanya pungutan-pungutan liar, kasus suap oknum Polri, dan tindakan main hakim sendiri yang  dilakukan oknum polisi kepada masyarakat sipil seperti pembubaran paksa dan penembakan terhadap aksi demonstran. Kemudian ada oknum Jaksa tertentu yang memanfaatkan posisi lemah tersangka atau terdakwa dalam persidangan untuk mengeruk keuntungan. Dapat dibayangkan, ketika seseorang ditetapkan jadi tersangka, tidak jelas sampai kapan dirinya menjadi tersangka, meskipun KUHAP sudah membatasi jangka waktunya. Bisa menghabiskan waktu sangat lama, melelahkan, dan tidak pasti. Selama proses itu berlangsung, oknum penegak hukum memanfaatkan posisi lemah tersangka atau terdakwa untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri.

Kemudian, yang lebih lanjut adalah profesi advokat. Penyalahgunaan profesi advokat terjadi secara terang-terangan. Masyarakat disuguhi secara terbuka di media cetak dan elektronik pengungkapan rahasia klien oleh advokat yang membela tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi secara terbuka. Dalam hal ini advokat tidak melindungi kepentingan dan rahasia klien yang dipercayakan kepadanya baik itu dalam wawancara atau talk-show yang ditayangkan.
Diduga pengungkapan rahasia klien ini dalam perkara tindak pidana korupsi dilakukan karena kepentingan politik bukan kepentingan pembelaan, bisa juga karena unsur mencari popularitas atau sensasi atau karena konflik kepentingan. Kepentingan klien tidak lagi menjadi prioritas malahan jadi komoditi untuk memperkaya diri.

Selain pelanggaran-pelanggaran profesi yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum tersebut, maraknya praktik judicial corruption yang terjadi di Indonesia juga sudah lama menjadi keprihatinan di Indonesia. Pengertian judicial corruption menurut International Bar Association adalah sebagai berikut:
“According to International Bar Association, the judicial system may be corrupted when any act or omission occurs which is calculated to, or does, result in the loss of impartiality of the judiciary; Specifically, corruption occurs whenever a judge or court officer seeks or receives a benefit of any kind or promise of a benefit of any kind in respect of an exercise of power or other action. Such acts usually constitute criminal offences undernational law; Examples of criminal corrupt conduct are: Bribery; Fraud; Utilisation of public resources for private gain; Deliberate loss of court records; and Deliberate alteration of court records”.

Menurut pengertian tersebut, “sistem hukum dapat menjadi korup ketika adanya suatu tindakan atau kelalaian yang diperhitungkan akan mengakibatkan hilangnya sifat imparsial peradilan. Secara khusus, korupsi terjadi manakala seorang hakim atau pejabat pengadilan mencari atau menerima keuntungan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan kekuasaan atau tindakan lainnya. Tindakan tersebut biasanya merupakan tindak pidana berdasarkan hukum nasional; contoh tindak pidana korupsi adalah: Penyuapan; Penipuan; Penggunaan sarana publik untuk kepentingan pribadi; Penghilangan dengan sengaja dokumen pengadilan; dan Perubahan dengan sengaja dokumen pengadilan”.

International Commission of Jurists (”ICJ”) dalam papernya berjudul Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption menyatakan bahwa dari seluruh jenis-jenis korupsi, judicial corruption merupakan kategori yang paling berbahaya (insidious) dan menjijikan (odious), sebagaimana dinyatakan berikut:

”...of all types of corruption, judicial corruption is perhaps the most insidious and odious because this type of corruption gnaws and destroys a most important pillar of a democratic government. Much has been written about the topic of corruption, but judicial corruption tops the list of the condemned. Corruption adulterates, clogs, pollutes, perverts and distorts the dispensation of justice.”

Melihat makna yang terkandung dari yang disampaikan oleh ICJ ini, diketahui bahwa judicial corruption merupakan jenis korupsi yang paling tinggi untuk kategori kejahatan yang terkutuk (condemned) karena judicial corruption menghancurkan bagian dari pilar-pilar pemerintahan yang demokratis. Usaha untuk memberantas korupsi yang sudah mengakar dan membudaya ini harus melibatkan berbagai elemen atau pihak, yaitu dari polisi, jaksa, hakim, masyarakat, serta advokat. Fenomena berupa jual-beli kasus, jual-beli penangguhan penahanan, jual beli SP3, tawar-menawar tuntutan, pengacara “hitam”, dan praktik-praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) lain yang masih jalan terus juga harus segera dibasmi.

Istilah judicial corruption juga sering disamakan dengan mafia peradilan. Mafia peradilan merupakan suatu pola atau struktur yang berproses yang memungkinkan oknum yang terlibat melakukan jual beli perkara secara terorganisir. Mafia peradilan dapat terjadi karena sistem dan budaya penegakan hukum yang dijalankan oleh para penegak hukum memberikan peluang untuk diselewengkan. Hukum dan keadilan tidak berjalan sebagaimana mestinya serta dapat diperdagangkan seperti ‘komoditas’.

Mafia peradilan di Indonesia telah mencapai tingkat parah dan hampir mematikan lembaga peradilan itu sendiri. Dari penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dapat diperoleh pengertian tentang Mafia Peradilan:

Mafia peradilan merupakan korupsi yang sistematik yang melibatkan seluruh pelaku yang berhubungan atau berkaitan dengan lembaga peradilan mulai dari polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim sampai petugas di Lembaga Pemasyarakatan.”

Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya praktik mafia peradilan, yaitu karena watak dari institusi penegak hukum yang korup dan sudah mendarah daging, dan lemahnya pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam produk hukum pidana di Indonesia terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kita jarang melihat putusan-putusan pengadilan yang mengacu kepada penghormatan atas hak asasi manusia, baik itu hak hidup, kebebasan dan perlindungan atas harta benda.

Masalah-masalah hukum dan keadilan bukan lagi sekedar masalah teknis prosedural untuk menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan, atau apakah sesuai atau tidak dengan hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Pola-pola transaksional dalam hukum marak terjadi. Namun, profesionalisme aparat penegak hukum bukanlah merupakan harapan semu bagi bangsa ini.

Hukum memang belum berjalan dengan baik dan belum menunjukkan taringnya bagi para penyeleweng keadilan. Di satu sisi, masih ada golongan masyarakat yang memiliki keyakinan kuat bahwa hukum masih dapat ditegakkan di bumi Indonesia ini. Etika dan moral yang baik belum mengakar dalam darah aparat penegak hukum, sehingga menyebabkan kurangnya rasa percaya dari masyarakat terhadap penegakan hukum itu sendiri. Padahal etika dan moral merupakan bagian yang paling terpenting dalam menjalankan profesi apapun.

Kondisi penegakan hukum sekarang dapat diibaratkan sebagai benang ruwet yang harus segera diurai. Pada dasarnya perlu ada reformasi internal aparat penegak hukum secara konsisten, profesional dan berkelanjutan berkaitan dengan penegakan etika profesi hukum. Dalam mengurai keruwetan tersebut diperlukan kesungguhan dari pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, serta elemen masyarakat sendiri.

Persoalan yang kompleks di lapangan harus dihadapi dengan integritas tinggi aparat penegak hukum berkaitan dengan reformasi sistem yang harus segera diwujudkan. Persoalan yang kompleks tersebut antara lain judicial corruption yang telah membudaya dan pola berpikir aparat penegak hukum yang harus dilepaskan dari kultur lama. Hukum yang berkembang menunjukkan degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan yang diperlihatkan dengan aksi kekerasan, pressure massa, anarkisme, melawan petugas, dan lain-lain. Hal tersebut dapat terjadi karena penegakan hukum tak berjalan sesuai dengan harapan sehingga masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentuk-bentuk pengadilan massa.

Berbicara mengenai rekonstruksi hukum di Indonesia tidak bisa hanya dengan meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum saja, atau dengan melakukan pemecatan Hakim, Jaksa, Polisi, dan/atau pencabutan pemberian kuasa kepada seorang Advokat sebagai pembela hak-hak hukum seseorang. Proses pembersihan institusi hukum harus dimulai dari level atas ke bawah, dan juga sebaliknya. Pendidikan yang menitikberatkan kepada pemahaman kode etik adalah yang terpenting. Kemudian harus ada upaya peningkatan dalam penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan (CLE/ Continuous Legal Education) bagi para aparat penegak hukum dalam rangka peningkatan kapasitas dan kapabilitas para penegak hukum. Tidak kalah pentingnya adalah adanya perbaikan sistem remunerasi dan jaminan sosial karena tidak ada negara yang memberi gaji kecil tetapi dapat menghasilkan penegak hukum yang berintegritas. Meskipun ini terkesan klise namun begitulah kenyataannya. Dan saat ini dan samapai kapanpun harus ada yang namanya rekonstruksi hukum di Indonesia melalui aparat penegak hukum atau para pelaku penegakan hukum di Indonesia.


Bahwasanya rekonstruksi hukum di Indonesia akan berhasil ketika “Good law enforcement agencies are not born but made”. Dalam artian harus ada tekad yang kuat, reformasi sistem penegakan hukum di Indonesia dapat dicapai, dan keadilan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak akan menjadi impian belaka.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel