-->

Petani Menjerit di Musim Panen

Petani Menjerit di Musim Panen
Share

Suatu hal yang tak mengherankan lagi bagi petani Indonesia dalam setiap musim panen pasti harga hasil panen itu terjual murah, Seperti halnya harga padi hasil panen (gabah) dalam setiap musim panen padi di tingkat petani ini terus anjlok hingga pasca musim panen tahun ini.

Kondisi seperti ini membuat petani makin menjerit dan mengharapkan harga gabah hasil panen tetap stabil. Sebagaimana petani di daerah Kab. Tuban Jawa Timur tempat penulis dilahirkan, mengeluhkan harga gabah yang dihasilkannya terus merosot. Padahal diawal musim panen dulu harga jual gabah masih di kisaran Rp 4.200. Masuk panen raya, harga anjlok di kisaran Rp 3.500, lalu turun lagi Rp 3.200 per kilo, dan sekarang anjlok lagi di kisaran Rp 3.000 per kilonya.

Akibat terus anjloknya harga jual gabah hasil panen, petani merugi dan tidak cukup untuk membiayai musim tanam kedua atau untuk bercocok tanam yang selanjutnya. Belum lagi hasil panen padi di lahan sawah banyak yang tidak maksimal akibat serangan hama. Kalau dalam hitungan normal, sebenarnya satu hektare lahan sawah itu mampu menghasilkan 7-8 ton gabah.

Dengan kondisi harga gabah yang semakin menurun, tak hayal tengkulak gabah banyak mengincar hasil panen padi di Kabupaten Tuban. Mereka tak hanya orang Tuban sendiri tetapi juga berasal dari berbagai daerah, seperti Jombang, Gresik, Banyuwangi, Blora, dan Pati, dan Jawa Tengah. Para tengkulak mengincar hasil panen padi di Tuban, karena dikenal sebagai daerah lumbung pangan. Sedangkan Bulog sendiri enggan menerima hasil panen petani setempat sehingga banyak gabah dibeli tengkulak dari luar daerah.

Sebenarnya rendahnya harga gabah ini karena permainan para tengkulak. Bahkan, tengkulak itu masih menyetorkan gabah dari sini ke tengkulak lainnya, bisa sampai ketiga tengkulak, setelah itu entah ke mana? Bulog sendiri dalam hal ini kurang memainkan perannya untuk menyerap gabah petani sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) yang sudah ditetapkan pemerintah sebesar Rp3.700 per kilogram berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2015. Maka dari situ timbul pertanyaan mendasah dari penulis Dimanakah peranan Bulog saat ini?

Mungkin saja petani enggan berurusan dengan Bulog dikarenakan persyaratan dari Bulog terlalu memberatkan para petani yang rata-rata areal sawah garapannya kecil. Sementara itu syarat dari Bulog, misalnya kualitas kadar air gabah tidak boleh terlalu tinggi dan jumlah produksi yang disetorkan harus banyak.

Mungkin karena inilah banyak petani yang merasa enggan dan banyak yang tidak mau berurusan dengan bulog karena memang banyak petani hanya memiliki sawah garapan yang relatif kecil.

Jika petani bisa memenuhi syarat itu baru gabah dibeli Bulog dengan menandatangani kontrak. Tapi, di sini rata-rata yang dihasilkan petani tidak bisa memenuhi persyaratan itu. Jadi apa daya petani kecil di Tuban yang mayoritas penduduknya adalah petani.

Dalam penyerapan yang dilakukan oleh Bulog di lapangan memang masih belum maksimal karena terkendalakualitas gabah dan beras yang tidak sesuai ketentuan Inpres. Sebagai contoh, berdasarkan Inpres No.5/2015, HPP berlaku untuk GKP dengan kadar air maksimum 25%, sementara banyak beras petani yang kadar airnya di atas 25%, bahkan di atas 30%.

Petani menilai, proses yang berbelit-belit tersebut membuat petani lebih memilih menjual hasil panennya ke tengkulak meski harga rendah. Karena memang petani terdesak dengan modal untuk mengejar tanam berikutnya.

Swharusnya Bulog lebih kreatif lagi dalam menyerap gabah petani. Hal itu perlu dilakukan supaya harga gabah para petani tidak terjun hingga di bawah HPP yang ditetapkan pemerintah. Bulog harus cepat turun ke lapangan untuk menyerap gabah petani dengan harga sesuai HPP agar para petani tak merugi. ujar Mentan.

Disisi lain Bulog seharusnya bisa menyiasati masalah ini melalui kerjasama dengan penggilingan-penggilingan berskala kecil. Gabah gabah yang masih basah bisa saja ditingkatkan kualitasnya di penggilingan-penggilingan padi yang memiliki banyak alat pengering (dryer). Karena kadar air kan bisa disiasati, dan Bulog harus kreatif menyerap produksi petani, janganlah menunggu patani.

Sampai kapan derita petani Indonesia akan berakhir kalau tak ada peran serta dari pemegang kewenangan. Karena tak hanya ini penderitaan petani, mulai dari awal bercocok tanam banyak menuai keresahan seperti sulitnya pupuk dan magalnya harga pupuk hingga pasca panen harga jual yang relatif rendah.

0 Response

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel