Hukum Pada Era Post-Modernisme
Saturday, 14 May 2016
Comment
Dengan
konteks ini, perlu juga ditegaskan antar hubungan Barat yang modem dan peran Agama
resmi yang berlaku di sana, yakni kristen. Ada sebagian orang beranggapan bahwa
seluruh orang Barat menganut Agama Kristen, dengan perkecualian minoritas
penganut Yahudi. Anggapan semacm ini seolah-olah Barat masih seperti Barat pada
abad pertengahan, ketika terjadi perang salib yang peradabannya saat itu adalah
disebut abad keimanan. Ada juga sebagian yang lain beranggapan sebaliknya,
yaitu bahwa seluruh orang Barat bersifat materialik atau agnostik serta skeptik
dan tidak menganut satu Agama apapun. Pandangan semacam ini bisa disebut
keliru, karena yang terjadi tidaklah demikian. Pada Abad ke-17, bahkan
sebelumnya, yaitu ketika renaissance, telah terjadi upaya membawa dunia Barat
kearah sekularisme dan penipisan peran Agama dalam kehidupan sehari-hari
manusia. Akhimya berakibat pada sejumlah orang Barat yang secara praktis tidak
lagi menganut Agama Kristen atau Yahudi. Orang semacam Comte, yang
pikiran-pikirannya begitu anti metafisis menjadi jalan mulus menuju kearah
sekularisme dunia Barat. Ditambah dengan ajaran filsafat sosial (sosialisme),
Marx (Marxisme) yang menegaskan bahwa Agama adalah candu masyarakat, yang
karenanya ia harus ditinggalkan. Puncak penolakan terhadap Agama Kristen di Barat
disuarakan oleh Nietzsche dengan statemennya yang banyak di kenal orang The God is dead.
Kemunculan
gagasan-gagasan semacam itu mungkin diakibatkan adanya ketidakmampuan sistem
keimanan yang berlaku disana untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat
modern dengan ilmu pengetahuanya. Kemajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu
percaya pada iptek, akhimya berkembang lepas dari kontrol Agama. Iptek yang
landasan pokoknya bersifat sekuler bagi sebagian besar orang di Barat akhimya
menggantikan posisi Agama. Segala kebutuhan Agama seolah bisa terpenuhi dengan
iptek. Namun dalam kurun waktu yang panjang iptek ternyata menghianati
kepercayaan manusia, kemajuan iptek justru identik dengan bencana. Kondisi inilah
yang tampaknya membuat masyarakat Barat mengalami apa yang disebut Cak Nur (Or.
Nurkholis Madjid) yang dikutipnya dari Baigent, Krisis Epistimologis, yakni masyarakat
Barat tidak lagi mengetahui tentang makna dan tujuan hidup (Meaning and Purpose
oF Life).
Manusia
modem melihat segala sesuatu hanya dari pinggiran eksistensinya saja , tidak
pada pusat spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya.
Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang-memberi perhatian pada dirinya
yang secara kuantitatif sangat mengagumkan, tapi secara kualitatif dan
keseluruhan tujuan hidupnya menyangkut pengertian-pengertian mengenai dirinya
sendiri ternyata dangkal. Dekadensi atau kejatuhan manusia di zaman modern ini
terjadi karena mansuia kehilangan 'pengetahuan langsung' mengenai dirinya itu,
dan menjadi bergantung berhubungan dengan dirinya. Itu sebabnya, dunia ini
menurut pandangan manusia adalah dunia yang memang tak memiliki dimensi
transedental. Dengan demikian menjadi wajar jika peradaban modern yang dibangun
selama ini tidak menyertakan hal yang paling esensial dalam kehidupan manusia,
yaitu dimensi spiritual. Belakangan ini baru disadari adanya krisis spiritual
dan krisis pengenalan diri.
Menyadari
kondisi masyarakat modern yang sedemikian, pada abad ke-20, terutama sejak beberapa
dekade terakhir ini, muncul suatu gerakan yang mencoba menggugat dan mengkritik
teori-teori modernisasi, Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang
diharapkan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Hingga kemudian mulai
bermunculan gerakan-gerakan responsif altematif sebagai respon balik terhadap
perilaku masyarakat modern yang tidak lagi mengenal dunia metafisik. Termasuk
didalamnya tradisonalisme Islam yang dihidupkan Nasr, atau gerakan New Age di Barat pada akhir dewasa ini.
Kritik
terhadap modernisme dan usaha pencarian ini sering disebut dengan masa pasca
modernisme (post-modernisme). Masa ini seperti yang dikatakan Jurgen Habermes
seorang Sosiolog dan Filosof Jerman tidak hanya ditandai dengan kehidupan yang
semakin materialistik dan hedonistik, tetapi juga telah mengakibatkan
terjadinya intrusi massif dan krisis yang mendalam pada berbagai aspek
kehidupan. Masyarakat pada Era Post-Modernisme mencoba untuk keluar dari lingkaran
krisis tersebut dengan kembali pada hikmah spiritual yang terdapat dalam semua
Agama otentik. Manusia perlu untuk memikirkan kembali hubungan antara Yang Suci
(Sacred) dan yang sekuler (Profany).
Gerakan
ini dikenal dengan sebutan perenneialisme
atau tradisionalisme: adalah sebuah gerakan yang ingin mengembalikan bibit Yang
Asal, Cahaya Yang Asal, ataupun prinsip-prinsip yang asal, yang sekarang hilang
dari tradisi pemikiran manusia modern. Untuk menyebut beberapa nama tokoh yang
melopori gerakan-gerakan tersebut antara lain; Louis Massignon (1962), Rene
Guenon, Ananda K. Coomaraswamy, Titus Burckhart, Henry Corbin (1978), Martin Lings,
Fritcjof Schoun, dan masih banyak lagi.
Sementara
di kalangan modemis Islam gerakan pembaharuan dan pemikiran dalam Islam sejak fase
60-an hingga dewasa ini mencoba bersikap lebih kritis terhadap ide-ide
modernisasi sebelumnya, dan bahkan terhadap sebagian kelompok pemikir Islam
yang mencoba mencari altematif non-Barat. Kelompok yang disebut terakhir
misalnya Hasan Albana (1949), Abul A'al al-Maududi (1979), Sayyid Quthub
(1965), dan pemuka-pemuka Al-Ikhwan (sering disebut kelompok fundamentalis, atau
lebih tepat 'Neo-Revivalis Islam') menghendaki agar semua persoalan kemoderenan
selalu dikembalikan kepada acuan al-Quran, as-Sunnah dan kehidupan para Sahabat
dalam pengertian tekstual. Fazlur Rahman (1989), Muhammad Arkoun (1928), dan
Isma'il Raji al-Faruqi (1986) yang sering disebut kelompok Neo-Modernis
berusaha mcncari relevansi Islam bagi dunia modern Islam, bagi mereka, adalah
al-Qur'an dan as-Sunnah yang meski ditangkap pesan-pesan tersebut. Kelompok ini
dalam pembaharuannya berkecenderungan ke arah humanistik, rasionalistik, dan
liberalistik. Sedang tokoh-tokoh muslim lain seperti Ali Syari'ati (1979), Hassan
Hannafi (1935), dan AbdiIlah Larraui (sering disebut penyebar paham Kiri Islam)
berkepentingan membela massa, rakyat tertindas dan menampilkan Islam sebagai
kekuatan revolusione politik. Oleh karenanya kelompok terkhir ini, sering juga
disebut sebagai penyebar sosialisme Islam dan Marxisme Islam sebagai model
pembangunan di dunia Islam. Mereka mengutuk westernisasi dan sekulerisasi
masyarakat Islam, nasionalisme, dan akses-akses kapitalisme, demikian juga materialisme
serta ketakbertuhanan Marxisme.
Kemudian
selanjutnya lahir tokoh-tokoh pemikir kontemporer lain sebagai pemikir
alternatif, yakni Sayyed Hussein Nasr yang mencoba menawarkan konsep
nilai-nilai keislarnan yang kemudian terkenal dengan sebutan "Tradisionalisme Islam”. Merupakan
gerakan respon terhadap kekacauan Barat mod ern yang sedang mengalami kebobrokan
spiritual, dimana menurut penilaian Nasr menyarankan agar Timur menjadikan
Barat sebagai case study guna
mengambil hikmah dan pelajaran sehingga Timur tidak mengulangi
kesalahankesalahan Barat. Sayyed Hussein Nasr beranggapan, sejauh ini gerakan-gerakan
fundamentalis atau revivalis Islam tak lebih merupakan dikotorni
tradisionalisme modernisme, keberadaannya justru menjadi terlalu radikal dan
terlalu mengarah kepada misi politis dari pada normatik religius (nilai-nilai
keagamaan). Sekalipun gerakan-gerakan seperti itu, atas nama pembaharuan-pembaharuan
tradisional Islam.
Pada
momen sejarah ini pulalah saat yang tepat untuk membedakan gerakan-gerakan yang
disebut sebagai Fundamentalisme Islam dari Islam Tradisional yang sering
dikelirukan siapapun yang telah membaca karya-karya yang bercorak tradisional
tentang Islam dan membandingkannya dengan perjuangan aliran-aliran '
fundarnentalis tersebut segera dapat melihat perbedaan-perbedaan mendasar
diantara mereka, tidak saja di dalam kandungan tetapi juga di dalam iklim yang
mereka nafaskan. Malahan yang dijuluki sebagai fundamentalisme mencakup satu
spektrum yang luas, yang bagian-bagiannya dekat sekali dengan interpretasi
tradisional tentang Islam. Tetapi tekanan utama macam gerakan politik religius
yang sekarang ini disebut fundamentalisme itu mempunyai perbedaan yang mendasar
dengan Islam Tradisional. Dengan demikian perbedaan yang tajam antara keduanya
terjustifikasi, sekalipun terdapat wilayah-wilayah tertentu, dimana beberapa jenis
fundamentalisme dan dimensi-dimensi khusus Islam Tradisonal bersesuaian.
Gerakan
Tradisonalisme Islam yang diidekan dan dikembangkan Nasr, merupakan gerakan
untuk mengajak kembali ke 'akar tradisi’ yang merupakan kebenaran dan sumber
asal segala sesuatu; dengan mencoba menghubungkan antara sekuler (Barat) dengan
dimensi ke-Ilahiahan yang bersumber pada wahyu Agama. Tradisionalisme Islam
adalah gambaran awal sebuah konsepsi pemikiran dalam sebuah bentuk Sophia Perenueis (keabadian).
Tradisionalisme Islam boleh dikatakan juga disebut sebagai gerakan intelektual
secara universal untuk mampu merespon arus pemikiran Barat modern (merupakan
efek dari filsafat modern) yang eenderung bersifat profanik, dan selanjutnya
untuk sekaligus dapat membedakan gerakan Tradisionalisme Islam tersebut dengan
gerakan Fundamentalisme Islam, seperti halnya yang dilakukan di Iran, Turki dan
kelornpokkelompok fundamentalis lain. Usaha Nasr untuk menelorkan ide semacam
itu paling tidak merupakan tawaran alternatif sebuah nilainilai hidup bagi
manusia modern maupun sebuah negara yang telah terjangkit pola pikir modern
(yang cenderung bersifat profanik dengan gaya sekuleristiknya) untuk kemudian
kembali pada sebuah akar tradisi yang bersifat transedental.
0 Response
Post a Comment