-->

Hukum Pada Era Post-Modernisme

Hukum Pada Era Post-Modernisme
Share
Dengan konteks ini, perlu juga ditegaskan antar hubungan Barat yang modem dan peran Agama resmi yang berlaku di sana, yakni kristen. Ada sebagian orang beranggapan bahwa seluruh orang Barat menganut Agama Kristen, dengan perkecualian minoritas penganut Yahudi. Anggapan semacm ini seolah-olah Barat masih seperti Barat pada abad pertengahan, ketika terjadi perang salib yang peradabannya saat itu adalah disebut abad keimanan. Ada juga sebagian yang lain beranggapan sebaliknya, yaitu bahwa seluruh orang Barat bersifat materialik atau agnostik serta skeptik dan tidak menganut satu Agama apapun. Pandangan semacam ini bisa disebut keliru, karena yang terjadi tidaklah demikian. Pada Abad ke-17, bahkan sebelumnya, yaitu ketika renaissance, telah terjadi upaya membawa dunia Barat kearah sekularisme dan penipisan peran Agama dalam kehidupan sehari-hari manusia. Akhimya berakibat pada sejumlah orang Barat yang secara praktis tidak lagi menganut Agama Kristen atau Yahudi. Orang semacam Comte, yang pikiran-pikirannya begitu anti metafisis menjadi jalan mulus menuju kearah sekularisme dunia Barat. Ditambah dengan ajaran filsafat sosial (sosialisme), Marx (Marxisme) yang menegaskan bahwa Agama adalah candu masyarakat, yang karenanya ia harus ditinggalkan. Puncak penolakan terhadap Agama Kristen di Barat disuarakan oleh Nietzsche dengan statemennya yang banyak di kenal orang The God is dead.
Kemunculan gagasan-gagasan semacam itu mungkin diakibatkan adanya ketidakmampuan sistem keimanan yang berlaku disana untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat modern dengan ilmu pengetahuanya. Kemajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya pada iptek, akhimya berkembang lepas dari kontrol Agama. Iptek yang landasan pokoknya bersifat sekuler bagi sebagian besar orang di Barat akhimya menggantikan posisi Agama. Segala kebutuhan Agama seolah bisa terpenuhi dengan iptek. Namun dalam kurun waktu yang panjang iptek ternyata menghianati kepercayaan manusia, kemajuan iptek justru identik dengan bencana. Kondisi inilah yang tampaknya membuat masyarakat Barat mengalami apa yang disebut Cak Nur (Or. Nurkholis Madjid) yang dikutipnya dari Baigent, Krisis Epistimologis, yakni masyarakat Barat tidak lagi mengetahui tentang makna dan tujuan hidup (Meaning and Purpose oF Life).
Manusia modem melihat segala sesuatu hanya dari pinggiran eksistensinya saja , tidak pada pusat spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Memang dengan apa yang dilakukannya sekarang-memberi perhatian pada dirinya yang secara kuantitatif sangat mengagumkan, tapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya menyangkut pengertian-pengertian mengenai dirinya sendiri ternyata dangkal. Dekadensi atau kejatuhan manusia di zaman modern ini terjadi karena mansuia kehilangan 'pengetahuan langsung' mengenai dirinya itu, dan menjadi bergantung berhubungan dengan dirinya. Itu sebabnya, dunia ini menurut pandangan manusia adalah dunia yang memang tak memiliki dimensi transedental. Dengan demikian menjadi wajar jika peradaban modern yang dibangun selama ini tidak menyertakan hal yang paling esensial dalam kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual. Belakangan ini baru disadari adanya krisis spiritual dan krisis pengenalan diri.
Menyadari kondisi masyarakat modern yang sedemikian, pada abad ke-20, terutama sejak beberapa dekade terakhir ini, muncul suatu gerakan yang mencoba menggugat dan mengkritik teori-teori modernisasi, Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang diharapkan membawa kesadaran dan pola kehidupan baru. Hingga kemudian mulai bermunculan gerakan-gerakan responsif altematif sebagai respon balik terhadap perilaku masyarakat modern yang tidak lagi mengenal dunia metafisik. Termasuk didalamnya tradisonalisme Islam yang dihidupkan Nasr, atau gerakan New Age di Barat pada akhir dewasa ini.
Kritik terhadap modernisme dan usaha pencarian ini sering disebut dengan masa pasca modernisme (post-modernisme). Masa ini seperti yang dikatakan Jurgen Habermes seorang Sosiolog dan Filosof Jerman tidak hanya ditandai dengan kehidupan yang semakin materialistik dan hedonistik, tetapi juga telah mengakibatkan terjadinya intrusi massif dan krisis yang mendalam pada berbagai aspek kehidupan. Masyarakat pada Era Post-Modernisme mencoba untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut dengan kembali pada hikmah spiritual yang terdapat dalam semua Agama otentik. Manusia perlu untuk memikirkan kembali hubungan antara Yang Suci (Sacred) dan yang sekuler (Profany).
Gerakan ini dikenal dengan sebutan perenneialisme atau tradisionalisme: adalah sebuah gerakan yang ingin mengembalikan bibit Yang Asal, Cahaya Yang Asal, ataupun prinsip-prinsip yang asal, yang sekarang hilang dari tradisi pemikiran manusia modern. Untuk menyebut beberapa nama tokoh yang melopori gerakan-gerakan tersebut antara lain; Louis Massignon (1962), Rene Guenon, Ananda K. Coomaraswamy, Titus Burckhart, Henry Corbin (1978), Martin Lings, Fritcjof Schoun, dan masih banyak lagi.
Sementara di kalangan modemis Islam gerakan pembaharuan dan pemikiran dalam Islam sejak fase 60-an hingga dewasa ini mencoba bersikap lebih kritis terhadap ide-ide modernisasi sebelumnya, dan bahkan terhadap sebagian kelompok pemikir Islam yang mencoba mencari altematif non-Barat. Kelompok yang disebut terakhir misalnya Hasan Albana (1949), Abul A'al al-Maududi (1979), Sayyid Quthub (1965), dan pemuka-pemuka Al-Ikhwan (sering disebut kelompok fundamentalis, atau lebih tepat 'Neo-Revivalis Islam') menghendaki agar semua persoalan kemoderenan selalu dikembalikan kepada acuan al-Quran, as-Sunnah dan kehidupan para Sahabat dalam pengertian tekstual. Fazlur Rahman (1989), Muhammad Arkoun (1928), dan Isma'il Raji al-Faruqi (1986) yang sering disebut kelompok Neo-Modernis berusaha mcncari relevansi Islam bagi dunia modern Islam, bagi mereka, adalah al-Qur'an dan as-Sunnah yang meski ditangkap pesan-pesan tersebut. Kelompok ini dalam pembaharuannya berkecenderungan ke arah humanistik, rasionalistik, dan liberalistik. Sedang tokoh-tokoh muslim lain seperti Ali Syari'ati (1979), Hassan Hannafi (1935), dan AbdiIlah Larraui (sering disebut penyebar paham Kiri Islam) berkepentingan membela massa, rakyat tertindas dan menampilkan Islam sebagai kekuatan revolusione politik. Oleh karenanya kelompok terkhir ini, sering juga disebut sebagai penyebar sosialisme Islam dan Marxisme Islam sebagai model pembangunan di dunia Islam. Mereka mengutuk westernisasi dan sekulerisasi masyarakat Islam, nasionalisme, dan akses-akses kapitalisme, demikian juga materialisme serta ketakbertuhanan Marxisme.
Kemudian selanjutnya lahir tokoh-tokoh pemikir kontemporer lain sebagai pemikir alternatif, yakni Sayyed Hussein Nasr yang mencoba menawarkan konsep nilai-nilai keislarnan yang kemudian terkenal dengan sebutan "Tradisionalisme Islam”. Merupakan gerakan respon terhadap kekacauan Barat mod ern yang sedang mengalami kebobrokan spiritual, dimana menurut penilaian Nasr menyarankan agar Timur menjadikan Barat sebagai case study guna mengambil hikmah dan pelajaran sehingga Timur tidak mengulangi kesalahan­kesalahan Barat. Sayyed Hussein Nasr beranggapan, sejauh ini gerakan-gerakan fundamentalis atau revivalis Islam tak lebih merupakan dikotorni tradisionalisme modernisme, keberadaannya justru menjadi terlalu radikal dan terlalu mengarah kepada misi politis dari pada normatik religius (nilai-nilai keagamaan). Sekalipun gerakan-gerakan seperti itu, atas nama pembaharuan-pembaharuan tradisional Islam.
Pada momen sejarah ini pulalah saat yang tepat untuk membedakan gerakan-gerakan yang disebut sebagai Fundamentalisme Islam dari Islam Tradisional yang sering dikelirukan siapapun yang telah membaca karya-karya yang bercorak tradisional tentang Islam dan membandingkannya dengan perjuangan aliran-aliran ' fundarnentalis tersebut segera dapat melihat perbedaan-perbedaan mendasar diantara mereka, tidak saja di dalam kandungan tetapi juga di dalam iklim yang mereka nafaskan. Malahan yang dijuluki sebagai fundamentalisme mencakup satu spektrum yang luas, yang bagian-bagiannya dekat sekali dengan interpretasi tradisional tentang Islam. Tetapi tekanan utama macam gerakan politik religius yang sekarang ini disebut fundamentalisme itu mempunyai perbedaan yang mendasar dengan Islam Tradisional. Dengan demikian perbedaan yang tajam antara keduanya terjustifikasi, sekalipun terdapat wilayah-wilayah tertentu, dimana beberapa jenis fundamentalisme dan dimensi-dimensi khusus Islam Tradisonal bersesuaian.

Gerakan Tradisonalisme Islam yang diidekan dan dikembangkan Nasr, merupakan gerakan untuk mengajak kembali ke 'akar tradisi’ yang merupakan kebenaran dan sumber asal segala sesuatu; dengan mencoba menghubungkan antara sekuler (Barat) dengan dimensi ke-Ilahiahan yang bersumber pada wahyu Agama. Tradisionalisme Islam adalah gambaran awal sebuah konsepsi pemikiran dalam sebuah bentuk Sophia Perenueis (keabadian). Tradisionalisme Islam boleh dikatakan juga disebut sebagai gerakan intelektual secara universal untuk mampu merespon arus pemikiran Barat modern (merupakan efek dari filsafat modern) yang eenderung bersifat profanik, dan selanjutnya untuk sekaligus dapat membedakan gerakan Tradisionalisme Islam tersebut dengan gerakan Fundamentalisme Islam, seperti halnya yang dilakukan di Iran, Turki dan kelornpok­kelompok fundamentalis lain. Usaha Nasr untuk menelorkan ide semacam itu paling tidak merupakan tawaran alternatif sebuah nilai­nilai hidup bagi manusia modern maupun sebuah negara yang telah terjangkit pola pikir modern (yang cenderung bersifat profanik dengan gaya sekuleristiknya) untuk kemudian kembali pada sebuah akar tradisi yang bersifat transedental.

0 Response

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel