-->

Tinjauan Teoritis Gerakan Sosial Pedesaan dan Perkembangan Kapitalisme

Tinjauan Teoritis Gerakan Sosial Pedesaan dan Perkembangan Kapitalisme
Share
www.karebamalaqbi.com
Perlawanan petani terhadap ketidakadilan dalam berbagai bentuknya telah muncul menghiasi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya dimulai ketika gelombang kapitalisme dan kolonialisme mulai menggerus ke dalam kehidupan pedesaan yang sudah sarat dengan beragam tekanan dan eksploitasi feodalisme. Perlawanan-perlawanan yang berpangkal dari persoalan ketimpangan penguasaan tanah, eksploitasi berlebihan, kemiskinan, dan ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan penguasa dalam berbagai bidang kehidupan itu terus bermunculan hingga masa kini.

Politik ekonomi penguasaan tanah dan pembangunan pedesaan sejak kemerdekaan hingga saat, dengan segala pasang surutnya dan dinamikanya, telah menjadi bagian dari faktor-faktor eksternal yang memicu munculnya aksi-aksi perlawanan tersebut. Dinamika politik, perubahan-perubahan rejim yang berkuasa, dan proses demokratisasi serta globalisasi menjadi faktor-faktor eksternal lainnya yang mewarnai kemunculan-kematian dan dinamika gerakan-gerakan sosial pedesaan tersebut.

Jonathan Fox dalam pengantar editorial buku kumpulan tulisan tentang demokratisasi pedesaan di beberapa negara menulis ”sebagian besar literatur mengenai politik petani di dominasi oleh marak dan hangatnya diskusi mengenai pemberontakan dan revolusi kaum tani atau beragam bentuk perlawanan sehari-hari” (Fox 1990:3). Dalam hal ini Fox benar, penelitian tentang politik kaum tani berangkat dari proposisi mengenai lemahnya posisi petani secara ekonomi, sosial, politik dan budaya di tengah masyarakat luas, sebagaimana telah banyak ditunjukan melalui sejumlah kajian yang dilakukan oleh para antropolog, sejarawan dan ahli politik.

Lemahnya posisi kaum tani ini lah yang menyebabkan mereka melakukan perlawanan-perlawanan terhadap tuan tanah atau negara ketika ada sejumlah perubahan yang akan membuat hidup mereka makin sulit. Pertanyaannya adalah, siapa dan dalam kondisi  apa petani akan melakukan pemberontakan atau revolusi melawan  semua bentuk sub-ordinasi tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya bukan pertanyaan spesifik untuk memahami gerakan petani saja, melainkan topik utama hampir semua studi tentang segala bentuk gerakan (gerakan sosial, revolusi, gerakan politik, dan lainnya). Dalam konteks sosial politik yang seperti apa gerakan-gerakan itu muncul; perubahan-perubahan apa yang terjadi di dalam masyarakat yang menjadi pemicunya; mengapa gerakangerakan tertentu hanya muncul di wilayah-wilayah tertentu, tidak di wilayah lainnya; siapa para peserta dan pimpinan gerakan-gerakan itu, mengapa mereka terlibat dan mengapa ada yang berani mengambil kepemimpinan gerakan-gerakan tersebut?

Barrington More dalam penelitiannya tentang hubungan kekuasaan antara petani dan tuan tanah menyatakan bahwa, ”sebelum melakukan penelitian tentang petani, sangat penting untuk memahami kondisi masyarakat secara umum” (Moore 1966: 457). Sementara Landsberger dalam satu buku klasiknya mengatakan memahami kenyataan sosial dimana tidak atau belum ada perubahan-perubahan kelembagaan yang sangat penting dalam kehidupan petani adalah penting untuk memahami penyebab-penyebab munculnya aksi-aksi kolektif dari kaum tani.

Dalam konteks perdebatan mengenai gerakan sosial, sejumlah  teori menggunakan pengertian ‘revolusi petani’ atau ‘pemberontakan petani’ untuk merujuk pada akumulasi aksi-aksi kolektif kaum tani melawan tuan tanah, pihak berwenang atau Negara. Menurut Skocpol: “Penting untuk menekankan bahwa aksi-aksi petani dalam berbagai revolusi tidak lah berbeda dengan aksi-aksi petani yang sering disebut dengan pemberontakan atau kerusuhan kaun tani. Manakala petani terlibat dan bangkit pada masa krisis yang  mengarah kepada sebuah revolusi, sesungguhnya yang mereka lakukan sama polanya dengan pemberontakan-pemberontakan ‘tadisional’ lainnya, seperti: kerusuhan-kerusuhan pangan, ‘mempertahankan’ tanah-tanah komunal atau hak adat, kerusuhan-kerusuhan melawan pedagang-pedagang penimbun atau tuan-tuan tanah, maupun ‘perbanditan sosial’. Petani biasanya bersandar pada tema-tema kultural dan tradisi untuk membenarkan atau meyakinkan sebuah pemberontakan” (Skocpol 1994: 147-148).

Secara umum, teori-teori tentang perlawanan petani selama ini berkutat pada pertanyaan kelompok petani mana yang paling ‘revolusioner’ atau paling potensial untuk terlibat dalam pemberontakan dan/atau gerakan-gerakan revolusioner. Ada tiga perspektif yang selama ini sering ditengok untuk untuk menjelaskan hal itu, yakni: perspektif moral ekonomi, pilihan rasional, dan konflik kelas. Ketiga perspektif ini berangkat dari pengertian yang berbeda mengenai petani dan kehidupan kaum tani di tengah corak produksi yang berbeda-beda.

Dalam pandangan teori moral ekonomi, petani dilihat sebagai komunitas yang relatif homogen yang terikat dalam suatu struktur sosial dan kebiasaaan lokal yang menyediakan mekanisme budaya bagi terjaminnya subsistensi mereka. Kebutuhan akan jaminan subsitensi ini muncul karena petani terikat dalam suatu hubungan ekonomi dan politik dengan pihak lain yakni tuan tanah dan negara untuk menyerahkan sebagian dari hasil hasil kerja, panen dan surplus yang mereka hasilkan. Ketika tuntutan untuk menyerahkan sebagian hasil panen itu bertambah atau meningkat yang dapat mengancam, menghilangkan keberlanjutan atau mengurangi jaminan subsistensi tersebut, para petani biasanya akan langsung bereaksi dan melakukan sejumlah perlawanan, yang oleh James Scott disebut dengan perlawanan sehari-hari (Scott 1976 dan 1985). Perlawanan sehari-hari sifatnya individual, bukan aksi kolektif, dengan tujuan sekedar menyelamatkan kebutuhan subsistensi mereka. Posisi politik petani yang lemah dan ikatan-ikatan sosial ekonomi dan politiknya para patron (tuan tanah) yang sifatnya individual tidak memungkinkannya untuk melakukan suatu perlawanan atau konfrontasi dalam bentuk aksi-aksi kolektif; terkecuali para petani itu yang seringkali juga melalui para patronnya memperoleh dukungan dari pihak lain, yakni para politisi atau organisasi-organisasi gerakan yang berbasis di kota (Scott 1977: 268 dan 1985: 421), atau terlibat dalam pemberontakan pemberontakan yang langsung dipimpin oleh para patronnya (Radin 1995 dan 1999).

Dalam perspektif pilihan rasional, petani dilihat sebagai aktor yang rasional dan mampu membuat keputusan yang sudah tidak lagi tinggal di desa-desa yang terisolasi, melainkan desa-desa yang relatif sudah terbuka. Petani tidak lagi hidup dalam ikatan komunitas yang kuat, seperti pendapat kebanyakan antropolog. Sebagai individu pembuat keputusan, mereka mampu memilah berdasarkan kalkulasi rasional apakah harus bergabung atau tidak dengan aktivitas pemberontakan atau gerakan-gerakan revolusioner. Pendekatan mengikuti pandangan Mancur Olson (1966) tentang logika dan dilema dari aksi kolektif. Pandangan ini memberi perhatian pada pentingnya sejumlah insentif dan distribusi keuntungan secara pribadi yang dihasilkan ketika menggerakan atau terlibat aksi kolektif. Jika insentif dianggap tidak sepadan dengan resiko yang mungkin dihadapi, petani enggan untuk terlibat dalam aksi-aksi kolektif yang sifatnya menantang kekuasaan.

Perspektif konflik kelas dalam tradisi Marxis melihat petani dalam susunan kelas-kelas sosial di pedesaan. Petani-petani kecil yang menjadi pemilik lahan kecil, petani penggarap yang tak memiliki tanah maupun buruh tani termasuk buruh-buruh perkebunan yang terikat dan terksploitasi dalam corak-corak produksi tertentu di pedesaan merupakan kelompok petani yang berpotensi untuk melakukan revolusi. Buruh tani dan/atau para petani penggarap yang tak memiliki tanah adalah kaum proletar pedesaan yang paling sejati untuk menggerakan revolusi.

Berbeda dengan ketiga cara pandang di atas, pandangan strukturalis melihat adanya situasi-situasi sosial ekonomi politik tertentu yang menjadi pemicu munculnya perlawanan-perlawanan atau pemberontakan petani, termasuk revolusi yang melibatkan kaum tani sebagai ujung tombaknya. Dalam hal ini tidak terlalu tepat untuk memperdebatkan kelompok petani mana yang paling revolusioner atau lebih berpotensi untuk terlibat dalam aksi-aksi kolektif perlawanan kaum tani, karena pada kenyataanya beragam kelompok petani dapat terlibat dan menjadi aktor penting dalam sebuah revolusi sosial (Skocpol 1994: 16, Seligson 1996: 152). Jadi perhatian lebih harus diberikan pada konteks perubahan sosial politik dimana petani kemudian menjelaskan dan menempatkan dirinya sendiri (Skocpol 1979 dan 1994, khususnya hal. 213-239). Di atas konteks perubahan-perubahan sosial ekonomi politik itu kemudian bekerja suatu proses dimana terjadi ‘pertukaran kepentingan’ antara kelompok-kelompok petani yang terlibat dalam aksi-aksi kolektif dengan pihak-pihak yang di sini dapat disebut sebagai ‘non-petani’ (atau lebih jelasnya saya akan sebut dengan aktivis perkotaan yang terdidik).

Perkembangan-perkembangan dan perubahan-perubahan dalam sistem kapitalisme berikut hal-hal yang mengganggu dan merusak tatanan kehidupan masyarakat pedesaan di negara-negara berkembang dari waktu ke waktu sejak abad ke-17 secara terus-menerus telah membangkitkan beragam bentuk keresahan di pedesaan dan menjadi pemicu munculnya gerakan-gerakan petani di berbagai tempat dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, seperti ditegaskan oleh Mormont (1987) dan Woods (2003), munculnya gerakan-gerakan sosial pedesaan khususnya di negara berkembang sangat berhubungan dengan karakter struktural perubahan-perubahan wilayah, penggunaan tanah dan pengerahan tenaga kerja di pedesaan. Dalam perubahan-perubahan tersebut, yang seringkali juga disebut dengan ‘pembangunan’, tersimpan sejumlah kontradiksi ekonomi, politik dan sosial yang memunculkan bentukbentuk oposisi masyarakat pedesaan (Mormont 1987: 562).

Perubahan alami hubungan desa-kota juga memberi dampak yang besar bagi radikalisme petani (Ferguson 1976). Pearse (1971) dan Mormont (1987) mengingatkan untuk lebih memperhatikan pola hubungan aktivitas pembangunan di wilayah pedesaan sebagai faktor penting yang terkait dengan aspek-aspek kebangkitan protes pedesaan yang memiliki kemiripan dengan protes sosial di perkotaan. Tekanan institusi ekonomi metropolitan, proses urbanisasi, serta fenomena perpindahan penduduk di wilayah pedesaan telah membuat kaum petani makin mudah, bahkan beradaptasi, dengan gagasan perubahan sosial yang baru termasuk bentuk-bentuk perlawanan dan protes sosial yang muncul di wilayah perkotaan.

Lebih dari itu, kemunculan dan dinamika gerakan sosial pedesaan pada masa kini bahkan mencerminkan berkembang dan semakinmenguatnya jaringan aksi-aksi dan aktivisme di desa dan perkotaan yang saling terhubung satu sama lain, mengikuti perkembangan alamiah dan organis dari desa-kota itu sendiri. Sementara perkembangan mutakhir kapitalisme yang ditandai oleh peningkatan hutang-hutang luar negeri, pemberlakuan kebijakan-kebijakan perdagangan dan pasar bebas, demokratisasi dan desentralisasi serta penguatan masyarakat sipil secara global telah membuat gerakan petani dan perebutan hak atas tanah memainkan peran penting dan membuka jalan bagi arus baru gerakan sosial. Petras (1997) dan Veltemeyer (1997) secara provokatif malah mengatakan bahwa gerakan-gerakan dan perlawanan-perlawanan tersebut telah membuka jalan bagi ‘gelombang ketiga’ gerakan sosial politik yang berbasis dan dipimpin oleh kaum petani.

Meskipun demikian dalam mengamati gerakan sosial pedesaan, perlawan kaum tani dan keterlibatan petani dalam politik masa kini, sejumlah akademisi mengingatkan agar perhatian tidak terlalu terpatri hanya kepada perkembangan dan kekuatan destruktif kapitalisme yang telah melenyapkan ikatan tradisional dalam masyarakat pedesaan. Tidak kalah penting adalah melihat perluasan struktur politik dan dinamika perubahan dalam masyarakat yang lebih luas terutama di tingkat Negara yang menyediakan peluang-peluang politik bagi kemunculan gerakan-gerakan tersebut dan dinamika internal di dalam kelompok-kelompok petani serta kelompok-kelompok pengusung gerakan itu sendiri akan sangat menentukan dinamika perubahan-perubahan orientasi dan strategi gerakan selain keberlanjutannya. Morris (2000) mengatakan bahwa dialektika antara faktor-faktor eksternal dan faktor-faktor internal dalam gerakan akan tercermin pada bagaimana bentuk dan kualitas gerakan itu bangkit dan dikelola.

Skocpol (1994: 223) mengatakan, “kita harus menguji lebih jauh situasi kaum petani dan ekonomi agraria itu sendiri”. Sedangkan Midgal menekankan perlunya menganalisa bentuk pertukaran sosial antara radical outsiders dengan para petani lokal. Imperialisme kapitalis, menurutnya, adalah mediasi politik yang mendesak petani untuk berhadapan dengan krisis ekonomi  yang belum pernah mereka hadapi, namun partisipasi petani dalam  gerakan yang terorganisir masih sangat tergantung pada program yang ditawarkan oleh gerakan untuk menyelesaikan persoalan lokal mereka (Migdal 1974: 227). Seligson (1996) menyebutkan bahwa represi yang luar biasa lah yang membawa masyarakat petani untuk bergabung dengan gerakan. Sementara Fox (1990) melihatnya pada transisi politik yang terjadi, terutama transisi demokrasi, menjadi bagian penting dari kemunculan, penguatan dan dinamika gerakan sosial pedesaan. Selebihnya banyak studi tentang gerakan petani dan hubungannya dengan program-program land reform tercermin dari pelaksanaan kebijakan negara untuk merombak struktur agraria yang kemudian membuat kelompok-kelompok petani melakukan aksi-aksi kolektif dalam rangka menerjemahkan kembali pelaksanaan program tersebut berdasarkan tuntutan-tuntutan mereka.

Sekedar menempatkan perkembangan kapitalisme dalam konteks kemunculan dan pembentukan gerakan sosial pedesaaan masih belum dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan-perbedaan, baik orientasi, strategi maupun taktik, dalam melakukan perlawanan dan gerakan. Dalam hal ini, kumpulan studi dari berbagai negara yang dikoleksi oleh Moyo dan Yeros (2005), misalnya, gagal menunjukkan dengan jelas dinamika interaksi antara struktur peluang politik dan dinamika internal kelompok-kelompok gerakan dalam setiap kasus reklaiming yang dikajinya, meskipun mereka dapat menunjukkan dengan jelas bagaimana perkembangan kapitalisme neoliberal menjadi argumen pokok bagi sejumlah aksi reklaiming tanah di banyak negara.

0 Response

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel