Tinjauan Teoritis Gerakan Sosial Pedesaan dan Perkembangan Kapitalisme
Friday, 10 February 2017
Comment
www.karebamalaqbi.com |
Perlawanan petani
terhadap ketidakadilan dalam berbagai bentuknya telah muncul menghiasi perjalanan
sejarah bangsa Indonesia, khususnya dimulai ketika gelombang kapitalisme dan
kolonialisme mulai menggerus ke dalam kehidupan pedesaan yang sudah sarat
dengan beragam tekanan dan eksploitasi feodalisme. Perlawanan-perlawanan yang
berpangkal dari persoalan ketimpangan penguasaan tanah, eksploitasi berlebihan,
kemiskinan, dan ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan penguasa dalam
berbagai bidang kehidupan itu terus bermunculan hingga masa kini.
Politik ekonomi
penguasaan tanah dan pembangunan pedesaan sejak kemerdekaan hingga saat, dengan
segala pasang surutnya dan dinamikanya, telah menjadi bagian dari faktor-faktor
eksternal yang memicu munculnya aksi-aksi perlawanan tersebut. Dinamika
politik, perubahan-perubahan rejim yang berkuasa, dan proses demokratisasi
serta globalisasi menjadi faktor-faktor eksternal lainnya yang mewarnai kemunculan-kematian
dan dinamika gerakan-gerakan sosial pedesaan tersebut.
Jonathan Fox dalam
pengantar editorial buku kumpulan tulisan tentang demokratisasi pedesaan di
beberapa negara menulis ”sebagian besar literatur mengenai politik petani di
dominasi oleh marak dan hangatnya diskusi mengenai pemberontakan dan revolusi kaum
tani atau beragam bentuk perlawanan sehari-hari” (Fox 1990:3). Dalam hal ini
Fox benar, penelitian tentang politik kaum tani berangkat dari proposisi mengenai
lemahnya posisi petani secara ekonomi, sosial, politik dan budaya di tengah
masyarakat luas, sebagaimana telah banyak ditunjukan melalui sejumlah kajian yang
dilakukan oleh para antropolog, sejarawan dan ahli politik.
Lemahnya posisi kaum
tani ini lah yang menyebabkan mereka melakukan perlawanan-perlawanan terhadap
tuan tanah atau negara ketika ada sejumlah perubahan yang akan membuat hidup mereka
makin sulit. Pertanyaannya adalah, siapa dan dalam kondisi apa petani akan melakukan pemberontakan atau
revolusi melawan semua bentuk
sub-ordinasi tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya bukan pertanyaan
spesifik untuk memahami gerakan petani saja, melainkan topik utama hampir semua
studi tentang segala bentuk gerakan (gerakan sosial, revolusi, gerakan politik,
dan lainnya). Dalam konteks sosial politik yang seperti apa gerakan-gerakan itu
muncul; perubahan-perubahan apa yang terjadi di dalam masyarakat yang menjadi
pemicunya; mengapa gerakangerakan tertentu hanya muncul di wilayah-wilayah
tertentu, tidak di wilayah lainnya; siapa para peserta dan pimpinan gerakan-gerakan
itu, mengapa mereka terlibat dan mengapa ada yang berani mengambil kepemimpinan
gerakan-gerakan tersebut?
Barrington More dalam penelitiannya
tentang hubungan kekuasaan antara petani dan tuan tanah menyatakan bahwa, ”sebelum
melakukan penelitian tentang petani, sangat penting untuk memahami kondisi
masyarakat secara umum” (Moore 1966: 457). Sementara Landsberger dalam satu
buku klasiknya mengatakan memahami kenyataan sosial dimana tidak atau belum ada
perubahan-perubahan kelembagaan yang sangat penting dalam kehidupan petani
adalah penting untuk memahami penyebab-penyebab munculnya aksi-aksi kolektif
dari kaum tani.
Dalam konteks
perdebatan mengenai gerakan sosial, sejumlah
teori menggunakan pengertian ‘revolusi petani’ atau ‘pemberontakan petani’
untuk merujuk pada akumulasi aksi-aksi kolektif kaum tani melawan tuan tanah,
pihak berwenang atau Negara. Menurut Skocpol: “Penting untuk menekankan bahwa
aksi-aksi petani dalam berbagai revolusi tidak lah berbeda dengan aksi-aksi
petani yang sering disebut dengan pemberontakan atau kerusuhan kaun tani. Manakala
petani terlibat dan bangkit pada masa krisis yang mengarah kepada sebuah revolusi, sesungguhnya
yang mereka lakukan sama polanya dengan pemberontakan-pemberontakan ‘tadisional’
lainnya, seperti: kerusuhan-kerusuhan pangan, ‘mempertahankan’ tanah-tanah
komunal atau hak adat, kerusuhan-kerusuhan melawan pedagang-pedagang penimbun atau
tuan-tuan tanah, maupun ‘perbanditan sosial’. Petani biasanya bersandar pada
tema-tema kultural dan tradisi untuk membenarkan atau meyakinkan sebuah
pemberontakan” (Skocpol 1994: 147-148).
Secara umum,
teori-teori tentang perlawanan petani selama ini berkutat pada pertanyaan
kelompok petani mana yang paling ‘revolusioner’ atau paling potensial untuk
terlibat dalam pemberontakan dan/atau gerakan-gerakan revolusioner. Ada tiga perspektif
yang selama ini sering ditengok untuk untuk menjelaskan hal itu, yakni:
perspektif moral ekonomi, pilihan rasional, dan konflik kelas. Ketiga
perspektif ini berangkat dari pengertian yang berbeda mengenai petani dan kehidupan
kaum tani di tengah corak produksi yang berbeda-beda.
Dalam pandangan teori moral
ekonomi, petani dilihat sebagai komunitas yang relatif homogen yang terikat
dalam suatu struktur sosial dan kebiasaaan lokal yang menyediakan mekanisme budaya
bagi terjaminnya subsistensi mereka. Kebutuhan akan jaminan subsitensi ini
muncul karena petani terikat dalam suatu hubungan ekonomi dan politik dengan
pihak lain yakni tuan tanah dan negara untuk menyerahkan sebagian dari hasil
hasil kerja, panen dan surplus yang mereka hasilkan. Ketika tuntutan untuk
menyerahkan sebagian hasil panen itu bertambah atau meningkat yang dapat
mengancam, menghilangkan keberlanjutan atau mengurangi jaminan subsistensi
tersebut, para petani biasanya akan langsung bereaksi dan melakukan sejumlah perlawanan, yang oleh James Scott disebut dengan perlawanan sehari-hari (Scott 1976 dan 1985). Perlawanan sehari-hari sifatnya individual, bukan aksi kolektif, dengan tujuan sekedar menyelamatkan
kebutuhan subsistensi mereka. Posisi politik petani yang lemah dan ikatan-ikatan
sosial ekonomi dan politiknya para patron (tuan tanah) yang sifatnya individual
tidak memungkinkannya untuk melakukan suatu perlawanan atau konfrontasi dalam
bentuk aksi-aksi kolektif; terkecuali para petani itu yang seringkali juga
melalui para patronnya memperoleh dukungan dari pihak lain, yakni para politisi
atau organisasi-organisasi gerakan yang berbasis di kota (Scott 1977: 268 dan
1985: 421), atau terlibat dalam pemberontakan pemberontakan yang langsung
dipimpin oleh para patronnya (Radin 1995 dan 1999).
Dalam perspektif
pilihan rasional, petani dilihat sebagai aktor yang rasional dan mampu membuat keputusan
yang sudah tidak lagi tinggal di desa-desa yang terisolasi, melainkan desa-desa
yang relatif sudah terbuka. Petani tidak lagi hidup dalam ikatan komunitas yang
kuat, seperti pendapat kebanyakan antropolog. Sebagai individu pembuat
keputusan, mereka mampu memilah berdasarkan kalkulasi rasional apakah harus
bergabung atau tidak dengan aktivitas pemberontakan atau gerakan-gerakan
revolusioner. Pendekatan mengikuti pandangan Mancur Olson (1966) tentang logika
dan dilema dari aksi kolektif. Pandangan ini memberi perhatian pada pentingnya
sejumlah insentif dan distribusi keuntungan secara pribadi yang dihasilkan
ketika menggerakan atau terlibat aksi kolektif. Jika insentif dianggap tidak
sepadan dengan resiko yang mungkin dihadapi, petani enggan untuk terlibat dalam
aksi-aksi kolektif yang sifatnya menantang kekuasaan.
Perspektif konflik
kelas dalam tradisi Marxis melihat petani dalam susunan kelas-kelas sosial di
pedesaan. Petani-petani kecil yang menjadi pemilik lahan kecil, petani
penggarap yang tak memiliki tanah maupun buruh tani termasuk buruh-buruh perkebunan
yang terikat dan terksploitasi dalam corak-corak produksi tertentu di pedesaan
merupakan kelompok petani yang berpotensi untuk melakukan revolusi. Buruh tani
dan/atau para petani penggarap yang tak memiliki tanah adalah kaum proletar pedesaan
yang paling sejati untuk menggerakan revolusi.
Berbeda dengan ketiga cara
pandang di atas, pandangan strukturalis melihat adanya situasi-situasi sosial
ekonomi politik tertentu yang menjadi pemicu munculnya perlawanan-perlawanan atau
pemberontakan petani, termasuk revolusi yang melibatkan kaum tani sebagai ujung
tombaknya. Dalam hal ini tidak terlalu tepat untuk memperdebatkan kelompok
petani mana yang paling revolusioner atau lebih berpotensi untuk terlibat dalam
aksi-aksi kolektif perlawanan kaum tani, karena pada kenyataanya beragam kelompok
petani dapat terlibat dan menjadi aktor penting dalam sebuah revolusi sosial
(Skocpol 1994: 16, Seligson 1996: 152). Jadi perhatian lebih harus diberikan
pada konteks perubahan sosial politik dimana petani kemudian menjelaskan dan
menempatkan dirinya sendiri (Skocpol 1979 dan 1994, khususnya hal. 213-239). Di
atas konteks perubahan-perubahan sosial ekonomi politik itu kemudian bekerja
suatu proses dimana terjadi ‘pertukaran kepentingan’ antara kelompok-kelompok
petani yang terlibat dalam aksi-aksi kolektif dengan pihak-pihak yang di sini
dapat disebut sebagai ‘non-petani’ (atau lebih jelasnya saya akan sebut dengan
aktivis perkotaan yang terdidik).
Perkembangan-perkembangan
dan perubahan-perubahan dalam sistem kapitalisme berikut hal-hal yang
mengganggu dan merusak tatanan kehidupan masyarakat pedesaan di negara-negara berkembang
dari waktu ke waktu sejak abad ke-17 secara terus-menerus telah membangkitkan
beragam bentuk keresahan di pedesaan dan menjadi pemicu munculnya
gerakan-gerakan petani di berbagai tempat dari waktu ke waktu. Dengan kata
lain, seperti ditegaskan oleh Mormont (1987) dan Woods (2003), munculnya gerakan-gerakan
sosial pedesaan khususnya di negara berkembang sangat berhubungan dengan
karakter struktural perubahan-perubahan wilayah, penggunaan tanah dan
pengerahan tenaga kerja di pedesaan. Dalam perubahan-perubahan tersebut, yang seringkali
juga disebut dengan ‘pembangunan’, tersimpan sejumlah kontradiksi ekonomi,
politik dan sosial yang memunculkan bentukbentuk oposisi masyarakat pedesaan
(Mormont 1987: 562).
Perubahan alami hubungan desa-kota juga memberi dampak yang besar bagi radikalisme petani
(Ferguson 1976). Pearse (1971) dan Mormont (1987) mengingatkan untuk lebih
memperhatikan pola hubungan aktivitas pembangunan di wilayah pedesaan sebagai faktor
penting yang terkait dengan aspek-aspek kebangkitan protes pedesaan yang
memiliki kemiripan dengan protes sosial di perkotaan. Tekanan institusi ekonomi
metropolitan, proses urbanisasi, serta fenomena perpindahan penduduk di wilayah
pedesaan telah membuat kaum petani makin mudah, bahkan beradaptasi, dengan gagasan
perubahan sosial yang baru termasuk bentuk-bentuk perlawanan dan protes sosial
yang muncul di wilayah perkotaan.
Lebih dari itu,
kemunculan dan dinamika gerakan sosial pedesaan pada masa kini bahkan mencerminkan
berkembang dan semakinmenguatnya jaringan aksi-aksi dan aktivisme di desa dan
perkotaan yang saling terhubung satu sama lain, mengikuti perkembangan alamiah
dan organis dari desa-kota itu sendiri. Sementara perkembangan mutakhir
kapitalisme yang ditandai oleh peningkatan hutang-hutang luar negeri,
pemberlakuan kebijakan-kebijakan perdagangan dan pasar bebas, demokratisasi dan
desentralisasi serta penguatan masyarakat sipil secara global telah membuat
gerakan petani dan perebutan hak atas tanah memainkan peran penting dan membuka
jalan bagi arus baru gerakan sosial. Petras (1997) dan Veltemeyer (1997) secara
provokatif malah mengatakan bahwa gerakan-gerakan dan perlawanan-perlawanan tersebut
telah membuka jalan bagi ‘gelombang ketiga’ gerakan sosial politik yang
berbasis dan dipimpin oleh kaum petani.
Meskipun demikian dalam
mengamati gerakan sosial pedesaan, perlawan kaum tani dan keterlibatan petani
dalam politik masa kini, sejumlah akademisi mengingatkan agar perhatian tidak
terlalu terpatri hanya kepada perkembangan dan kekuatan destruktif kapitalisme
yang telah melenyapkan ikatan tradisional dalam masyarakat pedesaan. Tidak
kalah penting adalah melihat perluasan struktur politik dan dinamika perubahan
dalam masyarakat yang lebih luas terutama di tingkat Negara yang menyediakan peluang-peluang
politik bagi kemunculan gerakan-gerakan tersebut dan dinamika internal di dalam
kelompok-kelompok petani serta kelompok-kelompok pengusung gerakan itu sendiri
akan sangat menentukan dinamika perubahan-perubahan orientasi dan strategi gerakan
selain keberlanjutannya. Morris (2000) mengatakan bahwa dialektika antara
faktor-faktor eksternal dan faktor-faktor internal dalam gerakan akan tercermin
pada bagaimana bentuk dan kualitas gerakan itu bangkit dan dikelola.
Skocpol (1994: 223) mengatakan,
“kita harus menguji lebih jauh situasi kaum petani dan ekonomi agraria itu
sendiri”. Sedangkan Midgal menekankan perlunya menganalisa bentuk pertukaran
sosial antara radical outsiders
dengan para petani lokal. Imperialisme kapitalis, menurutnya, adalah mediasi
politik yang mendesak petani untuk berhadapan dengan krisis ekonomi yang belum pernah mereka hadapi, namun
partisipasi petani dalam gerakan yang
terorganisir masih sangat tergantung pada program yang ditawarkan oleh gerakan
untuk menyelesaikan persoalan lokal mereka (Migdal 1974: 227). Seligson (1996)
menyebutkan bahwa represi yang luar biasa lah yang membawa masyarakat petani
untuk bergabung dengan gerakan. Sementara Fox (1990) melihatnya pada transisi
politik yang terjadi, terutama transisi demokrasi, menjadi bagian penting dari
kemunculan, penguatan dan dinamika gerakan sosial pedesaan. Selebihnya banyak
studi tentang gerakan petani dan hubungannya dengan program-program land reform
tercermin dari pelaksanaan kebijakan negara untuk merombak struktur agraria
yang kemudian membuat kelompok-kelompok petani melakukan aksi-aksi kolektif
dalam rangka menerjemahkan kembali pelaksanaan program tersebut berdasarkan
tuntutan-tuntutan mereka.
Sekedar menempatkan
perkembangan kapitalisme dalam konteks kemunculan dan pembentukan gerakan
sosial pedesaaan masih belum dapat menjelaskan mengapa terdapat
perbedaan-perbedaan, baik orientasi, strategi maupun taktik, dalam melakukan
perlawanan dan gerakan. Dalam hal ini, kumpulan studi dari berbagai negara yang
dikoleksi oleh Moyo dan Yeros (2005), misalnya, gagal menunjukkan dengan jelas
dinamika interaksi antara struktur peluang politik dan dinamika internal
kelompok-kelompok gerakan dalam setiap kasus reklaiming yang dikajinya, meskipun
mereka dapat menunjukkan dengan jelas bagaimana perkembangan kapitalisme neoliberal
menjadi argumen pokok bagi sejumlah aksi reklaiming tanah di banyak negara.
0 Response
Post a Comment