Sebelum Perbedaan "Keyakinan" Terlanjur Mencabik, Mari Saling Menjauh!
Saturday, 15 October 2016
Layaknya sebuah pertandingan. Pasti ada yang menang dan kalah. Ada yang bahagia
dan sedih. Ada pula yang melukai dan dilukai. Segala yang ada didunia ini sudah
lazimnya diciptakan berpasangan. Begitu pula dengan kita. Aku dan kau. Kita
terjebak dalam sebuah cerita yang entah bagaimana awal mulanya. Namun, yang aku
pahami pasti. Dalam kisah ini tak ada yang melukai dan dilukai. Kita sama-sama
telah terluka.
Perkenalan kita adalah ketidakmungkinan yang menjadi nyata.
Meski pada awalnya aku tak menyapamu sepenuh hati
Kau tahu pada awalnya kita sama sekali tak saling mengenal.
Nyaris tak ada peluang yang memungkinkan kita untuk saling kenal. Kita tak
pernah satu lingkungan tempat tinggal. Kau juga bukan kakak angkatan atau adik
angkatanku. Bahkan tak ada satu pun temanku yang mengenalmu. Namun, Tuhan telah
menggariskan cara yang demikian sempurna untuk perkenalan kita. Salah satu
sepupu memperkenalkanku padamu.
Aku mencoba menyapamu lewat salah satu media sosial yang kau
miliki. Tentu saja Setelah sepupuku menceritakan kau sebagai laki-laki baik.
Lengkap dengan embel-embel pekerja keras dan bertanggung jawab. Tak ada niat
apapun sebenarnya. Aku hanya tak enak hati bila harus menolak permintaan
sepupuku itu. Toh, tak ada salahnya juga mencoba berteman denganmu. Begitu
pikirku saat itu. Dingin, itu kesan pertama yang ku tangkap darimu. Kau acuh
tak acuh padaku. Walaupun begitu kau tetep membalas pesan yang ku kirimkan
padamu.
Tak bisa dipungkiri kau memang sosok menyenangkan yang tahu
betul cara membuat perempuan merasa nyaman
Aku tak lantas menyerah. Paling tidak dengan berhasil
menjalin pertemanan denganmu aku berhasil menyenangkan hati sepupuku, begitu
pertimbanganku saat itu. Nyatanya, hasil yang didapatkan memang berbanding
lurus dengan yang kita lakukan. Kau mulai luluh. Aku mulai mengenalmu sebagai
sosok yang hangat.
Hingga suatu hari, pertemuan pertama itu kita rencanakan.
Tak ada yang istimewa dari pertemuan pertama itu. Namun, ada satu hal yang
membuatnya jadi spesial. Hari itu kau mengantarku hingga rumah. Bahkan kau juga
tak segan mengobrol lama dengan kedua orangtuaku. Aku hanya terbengong melihat
tingkahmu. Heran sekaligus bertanya-tanya. Namun, aku akui, aku bahagia
mendapat perlakukan seperti itu.
Kau mulai gemar berbagi cerita denganku. Membuka sisi
manusiawi dirimu. Nyatanya kau memang sosok pejuang hidup yang tangguh
Kita semakin dekat. Kau tak lagi segan bercerita tentang
lembar masa lalumu yang tak bisa dibilang indah. Ya, kau dibesarkan tanpa kasih
sayang orang tuamu. Ibumu meninggal saat berjuang melahirkanmu. Semenjak itu
Ayahmu menikah lagi dan tak pernah menemuimu sekalipun. Aku tahu, hidupmu sarat
perjuangan. Namun, setidaknya kau telah tumbuh menjadi sosok tegar. Bukankah
tak seharusnya kita menyesali hal yang diluar kemampuan kita?
Tak perlu waktu lama, kau berhasil merebut hatiku. Selamat,
aku telah jatuh cinta padamu!
Aku mulai menaruh simpati padamu. Nyatanya aku segera jatuh
hati. Kau dengan segala kelembutan dan perhatian yang membuatku leleh. Walaupun
kadang aku harus terkikik pelan dalam hati saat melihat kau bersikeras tak
mengijinkanku kelur malam sendiri. Tentu saja itu tak menjadi masalah bagiku.
Karena kau tak pernah membiarkan egomu menyakitiku.
Kau selalu berusaha
melibatkanku dalam acara keluargamu. Lengkap dengan fasilitas antar
jemput yang mumpuni. Wanita mana yang tak tersanjung diperlakukan seperti itu.
Aku memahami, walaupun tak sekali pun kau tidak pernah mengatakan secara
langsung tentang perasaanmu, kau menyimpan cinta di kedalaman hati.
Sikapmu berubah drastis, kau menjauhiku. Apa salahku padamu?
Hingga pada suatu sore yang redup. Ada yang terasa berbeda.
Kau mulai menjauhiku. Kau tak mau lagi menerima teleponku. Bahkan pada akhirnya
rekan kerjamu yang mengangkat teleponku. Memberi alasan bahwa kau tengah
berkutat dengan tumpukan pekerjaan. Aku terdiam kelu. Apa salahku padamu?
Beribu prasangka berkecamuk.
Cinta yang seharusnya tak pernah salah jadi satu-satunya
alasan untuk semua ini
Aku berusaha mencari jawaban. Melalui jasa seorang pamanmu
yang dulu sempat kau kenalkan padaku aku memperoleh jawaban. Kau menjauhiku
karena kau mencintaiku. Ya, karena kau mencintaiku! Cinta itu memang nyata
adanya, walaupun tak sekalipun terungkap. Kau hanya tak mau terjebak pada rasa
cinta yang begitu dalam kemudian hanya akan menyakitimu. Karena pada akhirnya,
kita terbentur pada perbedaan yang mungkin tidak bisa dikompromikan lagi.
Cinta yang seharusnya menjadi pengikat aku dan kau, nyatanya
tumbuh menjadi bumerang. Kita telah sama-sama dewasa. Sama-sama telah memahami
apa yang akan terjadi bila kita tetap memaksakan hubungan ini. Mau tak mau kita
harus mengakui, Cinta itu memang terbelenggu.
Bukannya aku segan berjuang. Bagiku agama adalah hal sakral
yang tak layak diotak-atik
Ya, aku dan kau memang berbeda keyakinan. Jurang yang besar
memisahkan kita. Perbedaan yang kemudian menjadi belenggu tajam. Sekalipun aku
dan kau telah saling mengenal keluarga masing-masing, bukan berarti mereka
merestui begitu kita akan melangkah menuju jenjang lebih serius.
Aku dan kau memang sama-sama telah menyadari perbedaan ini
sedari awal berkenalan. Namun saat itu kita hanya dua orang anak manusia yang
mungkin tengah di mabuk cinta. Mencoba menutup mata pada realita menyakitkan
yang mmenjadi batu besar penghalang hubungan kita. Tak mau tahu dengan
perbedaan itu. Kini, perbedaan itu memang telah menancapkan taringnya.
Mau tak mau kita harus mengakui, saling menjauh adalah hal
terbaik yang bisa dilakukan. Aku hanya
tak rela bila kau harus merasakan sakit yang kelewat perih
Mungkin lebih baik memang seperti ini. Kita sama-sama
menjauh. Sama-sama menahan diri untuk tidak mengungkapkan cinta itu. Sebelum
semuanya menjadi terlanjur. Sebelum cinta itu tertanam jauh, bukankah dia hanya
akan menyisakan lubang dan luka begitu harus tercerabut dengan paksa?
Selagi cinta belum
menjalar terlalu dalam, lebih baik memang begini
Mungkin akan lebih baik bila kita sama-sama menjauh. Bukan
kerena aku membencimu. Tapi ini adalah pilihan terbaik untuk kita. Agar kelak
tak ada luka yang terlalu dalam, Agar suatu saat kita masih bisa sama-sama
saling menyapa dengan hati yang lebih baik. Itu saja.
Mungkin suatu hari nanti kita bisa menjadi teman baik.
Saling memuji pasangan masing-masing dengan hati ikhlas. Tentu bukan sekarang.
Tenang saja!
Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu Sayang, selamat
tinggal!
Pada akhirnya terima kasih pernah membuatku merasa nyaman
disisimu. Aku tahu betul, kita sama-sama terluka. Semoga kelak, ada sosok yang
mampu memberikan kebahagiaan nyata untukmu. Selamat tinggal!