Keuntungan Politis Dalam Polemik Teologis
Tuesday, 19 April 2016
Sejarah menunjukkan dengan pasti
bahwa Bani Umayyah telah mengalihkan persoalan qadha dan qadar
menjadi suatu pegangan yang amat kokoh setelah mendukungnya dengan segala daya
dan kekuatan, sambil menumpas habis-habisan semua pendukung aliran kebebasan
manusia, dengan dalih bahwa itu merupakan kepercayaan yang berlawanan dengan
akidah-akidah Islam. Sehingga di suatu saat tersiar secara luas bahwa "jabr
dan tasybih adalah dua pikiran yang berasal dari Bani Umayyah, sedangkan
'adl dan tauhid adalah dua pikiran yang berasal dari kaum Alawiyin" (pengikut Ali bin Abi
Thalib).
Orang yang paling dahulu melontarkan masalah ikhtiar manusia ke tengah-tengah masyarakat untuk dibahas, seraya mempertahankan akidah-akidah tentang kebebasan ini, di masa kekuasaan Bani Umayyah, ialah seorang dari Irak bemama Ma'bad al-Juhani dan seorang lagi dari Syam bemama Ghilan ad-Dimasyqi. Kedua orang ini dikenal dengan sifat-sifat istiqamah, ketulusan dan keimanan yang kuat. Ma'bad ikut dalam pemberontakan bersama Ibnul Asy'ats dan kemudian dibunuh oleh al-Hajjaj (seorang pejabat Bani Umayyah); sedangkan Ghilan, setelah pahamnya itu sampai ke pendengaran Hisyam bin Abdul Malik, segera dijatuhi hukuman kejam potong kedua tangan dan kaki kemudian disalib.
Kendati situasi dan kondisi masa itu memang mendorong ke arah timbulnya berbagai pertentangan dalam soal-soal akidah, namun semuanya itu bermula dari sesuatu yang bersifat politis dan berdasarkan kepentingankepentingan pemerintah dalam negeri. Sebab, sehubungan dengan sifat pemerintahan Bani Umayyah yang menjalankan kekuasaannya dengan "besi dan api", wajarlah jika api revolusi bergejolak dalam dada rakyat. Akan tetapi, secepat keluarnya keluhan tentang keadaan, secepat itu pula para penguasa mengalihkannya kepada takdir, dan bahwa yang terjadi itu telah ditakdirkan dan diridhai oleh Allah SWT; dan karena itu tak ada yang dapat dibenarkan kecuali ucapan: "Kami beriman kepada takdir, baiknya maupun buruknya."
Salah satau cerita dari Ma'bad al-Juhani, yang dikenal sebagai seorang tabi' yang tulus, pernah bertanya kepada gurunya, Hasan al-Bashri: "Sejauh mana kebenaran ucapan kaum Umawiyyin (Bani Umayyah) mengenai persoalan qadha dan qadar?" Hasan al Bashri menjawab: "Mereka itu adalah para pendusta dan musuh-musuh Allah SWT."
Adapun kaum Abbasiyyin (Bani Abbas), kecuali beberapa khalifah seperti al-Makmun dan al-Mu'tashim yang membela kaum Mu'tazilah yang mempercayai adanya kebebasan manusia, menentang politik pemerintahan kaum Bani Umayyah.
Namun, sejak masa berkuasanya al-Mutawakkil dan seterusnya, mereka telah berbalik seratus delapan puluh derajat dan menjadi pembela paham kaum Jabariyah. Sejak saat itu, mazhab Asy'ariyah merupakan mazhab yang berlaku secara umum di dunia Islam. Tersebarnya mazhab Asy'ariah dan kekuasaannya atas dunia Islam telah menimbulkan pula dampak yang luas. Sehingga kelompok-kelompok lainnya, seperti Syi'ah misalnya, yang sebelum itu sama sekali menolak aliran Asy'ariyah, tidak sepenuhnya berhasil melepaskan diri dari dampak tersebut. Itulah sebabnya kita dapat melihat kendati paham Syi'ah bertentangan dengan Asy'ariyah, meski tidak sepenuhnya pula bersesuaian dengan Mu'tazilah bahwa paham Jabariyah ini telah menyelusup ke dalam kesusasteraan kaum Syi'ah, baik yang berbahasa Arab ataupun Persi.
Berbagai hasil karya sastra mereka lebih banyak berbicara mengenai keterpaksaan manusia di hadapan takdir ketimbang tentang kebebasan manusia. Padahal ucapan-ucapan para pemimpin kaum Syi'ah, para Imam ahlul bait, menandaskan bahwa qadha dan qadar yang menyeluruh sama sekali tidak bertentangan dengan kemerdekaan manusia. Rahasia yang telah menjadikan kata-kata qadha dan qadar sebagai sesuatu yang menakutkan ialah beralihnya arti kata tersebut sehingga menjadi padanan kata jabr atau jabariyah (determinisme) dan ketiadaan kebebasan, serta kekuasaan tidak logis, yang berasal dari suatu kekuatan tersembunyi, atas diri manusia dan segala perbuatannya. Hal itu disebabkan tersebarnya mazhab Asy'ariyah di seluruh dunia Islam serta pengaruhnya yang amat kuat atas kebudayaan Islam secara umum.
Orang yang paling dahulu melontarkan masalah ikhtiar manusia ke tengah-tengah masyarakat untuk dibahas, seraya mempertahankan akidah-akidah tentang kebebasan ini, di masa kekuasaan Bani Umayyah, ialah seorang dari Irak bemama Ma'bad al-Juhani dan seorang lagi dari Syam bemama Ghilan ad-Dimasyqi. Kedua orang ini dikenal dengan sifat-sifat istiqamah, ketulusan dan keimanan yang kuat. Ma'bad ikut dalam pemberontakan bersama Ibnul Asy'ats dan kemudian dibunuh oleh al-Hajjaj (seorang pejabat Bani Umayyah); sedangkan Ghilan, setelah pahamnya itu sampai ke pendengaran Hisyam bin Abdul Malik, segera dijatuhi hukuman kejam potong kedua tangan dan kaki kemudian disalib.
Kendati situasi dan kondisi masa itu memang mendorong ke arah timbulnya berbagai pertentangan dalam soal-soal akidah, namun semuanya itu bermula dari sesuatu yang bersifat politis dan berdasarkan kepentingankepentingan pemerintah dalam negeri. Sebab, sehubungan dengan sifat pemerintahan Bani Umayyah yang menjalankan kekuasaannya dengan "besi dan api", wajarlah jika api revolusi bergejolak dalam dada rakyat. Akan tetapi, secepat keluarnya keluhan tentang keadaan, secepat itu pula para penguasa mengalihkannya kepada takdir, dan bahwa yang terjadi itu telah ditakdirkan dan diridhai oleh Allah SWT; dan karena itu tak ada yang dapat dibenarkan kecuali ucapan: "Kami beriman kepada takdir, baiknya maupun buruknya."
Salah satau cerita dari Ma'bad al-Juhani, yang dikenal sebagai seorang tabi' yang tulus, pernah bertanya kepada gurunya, Hasan al-Bashri: "Sejauh mana kebenaran ucapan kaum Umawiyyin (Bani Umayyah) mengenai persoalan qadha dan qadar?" Hasan al Bashri menjawab: "Mereka itu adalah para pendusta dan musuh-musuh Allah SWT."
Adapun kaum Abbasiyyin (Bani Abbas), kecuali beberapa khalifah seperti al-Makmun dan al-Mu'tashim yang membela kaum Mu'tazilah yang mempercayai adanya kebebasan manusia, menentang politik pemerintahan kaum Bani Umayyah.
Namun, sejak masa berkuasanya al-Mutawakkil dan seterusnya, mereka telah berbalik seratus delapan puluh derajat dan menjadi pembela paham kaum Jabariyah. Sejak saat itu, mazhab Asy'ariyah merupakan mazhab yang berlaku secara umum di dunia Islam. Tersebarnya mazhab Asy'ariah dan kekuasaannya atas dunia Islam telah menimbulkan pula dampak yang luas. Sehingga kelompok-kelompok lainnya, seperti Syi'ah misalnya, yang sebelum itu sama sekali menolak aliran Asy'ariyah, tidak sepenuhnya berhasil melepaskan diri dari dampak tersebut. Itulah sebabnya kita dapat melihat kendati paham Syi'ah bertentangan dengan Asy'ariyah, meski tidak sepenuhnya pula bersesuaian dengan Mu'tazilah bahwa paham Jabariyah ini telah menyelusup ke dalam kesusasteraan kaum Syi'ah, baik yang berbahasa Arab ataupun Persi.
Berbagai hasil karya sastra mereka lebih banyak berbicara mengenai keterpaksaan manusia di hadapan takdir ketimbang tentang kebebasan manusia. Padahal ucapan-ucapan para pemimpin kaum Syi'ah, para Imam ahlul bait, menandaskan bahwa qadha dan qadar yang menyeluruh sama sekali tidak bertentangan dengan kemerdekaan manusia. Rahasia yang telah menjadikan kata-kata qadha dan qadar sebagai sesuatu yang menakutkan ialah beralihnya arti kata tersebut sehingga menjadi padanan kata jabr atau jabariyah (determinisme) dan ketiadaan kebebasan, serta kekuasaan tidak logis, yang berasal dari suatu kekuatan tersembunyi, atas diri manusia dan segala perbuatannya. Hal itu disebabkan tersebarnya mazhab Asy'ariyah di seluruh dunia Islam serta pengaruhnya yang amat kuat atas kebudayaan Islam secara umum.